Budak Organisasi Adalah Cerminan Sindrom Stockholm yang Sesungguhnya

Budak Organisasi Adalah Cerminan Sindrom Stockholm yang Sesungguhnya

Siapa sih mahasiswa di luar sana yang tidak bangga kalau punya curriculum vitae (CV) yang panjang berlembar-lembar? Kalau diperhatikan, salah satu kolom paling laris yang banyak di-highlight dalam CV adalah pengalaman berorganisasi. Bukan suatu rahasia kalau banyak mahasiswa yang berlomba-lomba aktif di organisasi sana-sini. Ini dilakukan hanya untuk membuat staf human resource di calon tempat kerjanya kelak terpukau dengan CV-nya yang berkilauan.

Aktif di organisasi maupun kepanitiaan banyak digaungkan oleh para senior-senior yang pada hakikatnya adalah sarana promosi, supaya organisasi atau kepanitiaannya banyak pamor. Tentu saja, dengan berkedok menyediakan pembelajaran softskill yang nggak bakal didapatkan di kelas.

Organisasi memang sarana yang paling mudah dijangkau oleh mahasiswa untuk mengembangkan minat bakat dan kemampuan softskill-nya. Namun yang patut digarisbawahi adalah kebanyakan mahasiswa yang aktif di organisasi atau kepanitiaan lupa bahwa tugas utama mereka adalah belajar sungguh-sungguh. Sehingga tak jarang belajar pelajaran kuliah jadi dinomorduakan, dan tidur sebagai kebutuhan dasar manusia bakal dinomorsekiankan.

Ditambah lagi dengan banyaknya program kerja atau dikenal sebagai ‘proker’ yang harus segera dirampungkan dalam masa jabatan. Kondisi ini membuat para mahasiswa merasa terpenjara dan tersandera di dalam organisasi secara sukarela. Belum lagi jika mereka dihadapkan dengan perbudakan post-modern yang bernama ‘danusan’ alias jualan risol mayo dan bakso tusuk di kelas-kelas yang kalau dagangannya tidak habis ya kudu dibeli sendiri agar segera kejar target.

Sikap submissive para budak organisasi ini tampaknya banyak menimbulkan tanda tanya bermunculan. Apakah mereka tidak capek? Mereka masih sempat tidur, kan? Pasti mereka nggak pernah main? Karena nyinyiran-nyinyiran tersebut, tidak jarang para budak organisasi ini sering dicap sebagai kaum fakir piknik.

Penghambaan diri mahasiswa pada suatu organisasi atau kepanitiaan patut diberi apresiasi. Karena mereka melakukannya dengan kerelaan hati dan bangga dengan institusi yang sedang “menculiknya”. Kalau dipikir, sikap para budak organisasi ini terlihat mirip dengan istilah populer Stockholm syndrome.

Sindrom Stockholm dicetuskan oleh Nils Bejerot, seorang psikiater dan kriminolog yang membantu polisi menyelesaikan suatu kasus penyanderaan di salah satu bank di kota Stockhlom pada tahun 1973. Ia menemukan respon unik dari korban sandera berupa tanda-tanda afeksi dan kesetiaan pada pelaku penyanderanya tanpa mempedulikan risiko atau bahaya yang telah dialami oleh si korban dan juga adanya pembelaan korban bagi si penyandera. Bahkan kabarnya, setelah bebas salah satu korban jatuh cinta dengan penyanderanya.

Respons psikologis yang unik ini sangat cocok jika dipersandingkan dengan fenomena para mahasiswa yang dengan rela hati menyanderakan diri ke suatu organisasi atau kepanitiaan. Bahkan mereka cenderung membangga-banggakan organisasi tempatnya bernaung. Walaupun jika boleh jujur, sudah dapat dipastikan mereka tertekan dengan segala target program kerja dan tekanan organisasional yang mereka terima selama masa jabatan.

Menjadi budak organisasi bukanlah suatu pilihan tanpa risiko. Jika kembali ke dasar, pada hakikatnya mahasiswa dikaruniai tiga pilihan untuk menghabiskan waktunya, yaitu untuk belajar, waktu untuk aktif di luar kuliah seperti berorganisasi, dan waktu untuk istirahat serta rekreasi. Namun sayangnya, waktu 24 jam bagi mahasiswa tidaklah cukup. Dari tiga pilihan itu, nyatanya hanya 2 pilihan yang bisa dikerjakan dengan sepenuh hati dan mengorbankan satunya. Itu pun kadang sering kerepotan dalam membagi waktu.

Lalu memangnya dengan risiko mengorbankan kuliah, waktu tidur dan waktu mainnya, apakah hasilnya akan sepadan? Jelas semua hal butuh pengorbanan. Banyak orang sukses yang merelakan waktu tidurnya berkurang habis-habisan demi merampungkan segala target dan cita-citanya. Menjadi aktif di organisasi memang menjadi jalan yang pas jika sesuai dengan minat dan kemampuan mahasiswa.

Namun yang patut diingat adalah, percuma juga aktif di suatu organisasi tetapi ternyata kesehatan mahasiswa terganggu akibat kerjaan yang tidak pernah habis ditambah lingkungan kerja yang penuh tekanan. Kondisi ini bisa menimbulkan toxicity bagi mahasiswa yang tertekan dan lebih jauh lagi akan menyebabkan para budak organisasi ini burnout baik secara fisik maupun mental. Tak ayal lagi kondisi tersebut akan berpengaruh pada semangat belajar, nilai IP semester, dan kondisi kesehatan mereka.

Maka satu pesan yang getol pingin disampaikan kepada para budak organisasi yang berbahagia, jangan lupa tidur, jangan lupa istirahat. Ya nggak apa-apa sih aktif sana-sini, tapi ya kesehatanmu itu, lho.

BACA JUGA Divisi Danus Memang Harus Pelit atau tulisan Dicky C. Anggoro lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version