Braga menjelang kumuh, julukan yang rasanya pantas disematkan pada Jalan Braga saat ini. Saya tak sedang mengada-ngada, julukan ini memang pas setelah melihat kondisi terkini jalan yang dulu bernama Pedati Weg ini. Bagi yang belum tahu, Braga merupakan salah satu ruas jalan di Kota Bandung, Jawa Barat. Jalan ini tergolong jalan tertua di Kota Kembang. Hal ini dibuktikan dari deretan bangunan kolonial yang mengawasi setiap jengkal jalanan Braga.
Minggu lalu saya singgah ke Braga. Tentu persinggahan ini saya harapkan bisa menumpas rindu akan kehangatan Kota Bandung. Sebelum pandemi, saya cukup sering singgah ke Braga. Entah sekadar nongkrong atau memandu para wisatawan domestik. Bersama dua kawan, saya berniat melihat dan merasakan suasana Jalan Braga di sore hari. Namun, saya merasa tak nyaman dengan kondisi Braga kiwari. Dia tak lagi hangat nan ramah, seperti yang saya rasakan dulu.
Hal pertama yang menganggu kenyamanan ketika nongkrong di Braga adalah kehadiran para pengamen. Rasanya saya jadi tak bisa merasakan kehangatan Braga lantaran pengamen silih berganti berdatangan. Para pengamen bernyanyi persis di depan muka. Iya, tepat di depan muka. Tak peduli apa yang sedang kita lakukan, mereka bernyanyi dan enggan pergi sebelum mendapatkan bayaran.
Saya melihat ada tiga orang yang melakukan pemotretan di Jalan Braga. Orang-orang ini pun tak luput dari gangguan para pengamen. Padahal mereka sudah memberikan isyarat untuk menolak kehadiran pengamen, namun pengamen tetap bernyanyi. Saya sebenarnya tidak anti dengan pengamen. Selama mereka menyuguhkan lagu yang enak dan tak memaksa, saya rasa mereka perlu diapresiasi.
Dulu saya pernah mendengar kisah tentang pengamen tersohor di Jalan Braga, yakni Braga Stone. Braga Stone merupakan pemain kecapi suling dan harmonika asal Kota Bandung. Pria yang memiliki nama asli Supeno ini merupakan seorang tunanetra, namun kepiawaiannya dalam bermusik tak terbantahkan lagi.
Semasa hidup, blio mengawali karier dengan mengamen di Braga. Saat itu lagu yang banyak dimainkan adalah lagu-lagu Rolling Stone. Ketenarannya kian melejit dari seorang pengamen menjadi musisi profesional. Bahkan beberapa kali Braga Stone sempat manggung bersama Bimbo. Saya pikir seharusnya pengamen di Braga bisa hadir lebih eksklusif dan tak dianggap gangguan. Caranya dengan menempatkan mereka pada spot-spot berupa kantong musik di ruas Jalan Braga. Para pengamen bisa mengamen bergantian pada kantong-kantong musik tersebut.
Hal kedua yang membuat Braga seolah kumuh adalah kemunculan pedagang kaki lima (PKL) di sana. Setidaknya saya menemukan 5 sampai 6 PKL di Braga. Mulai dari gerobak cimol, cilor, hingga kerak telor. Saya khawatir jika dibiarkan, PKL bakal menjamur di area Braga. Alhasil hak dan kenyamanan pejalan kaki kembali sirna.
Saya pikir pemerintah kota dan pihak terkait harus hadir dalam persoalan ini. Pembiaran hanya akan menguatkan permasalahan dan malah kelak merugikan para PKL. Pemerintah kota melalui Satpol PP harus mulai giat melakukan patroli dan tidak tebang pilih dalam mendisiplinkan PKL. Lantaran masyarakat kita bukan masyarakat yang cukup dengan diingatkan, melainkan harus ditindak juga.
Atau pemerintah kota bisa juga mengambil keputusan untuk menempatkan para PKL di tempat lebih layak dan tak melanggaar aturan. Misalnya, menutup Jalan Braga untuk dialihfungsikan sebagai area kuliner yang dijajakan para PKL. Terakhir kali Braga ditutup bagi kendaraan saat acara car free night. Cara ini malah bisa lebih banyak mendatangkan orang-orang.
Jujur saja, saya yang hidup di Bandung merasa malu jika harus mengajak wisatawan ke daerah Braga saat ini. Jika dulu Braga populer dengan fesyen ala Paris, maka kiwari yang tertinggal hanya kekumuhan.
Sumber Gambar: Unsplash