Mendaki gunung itu mestinya soal berhadapan sama alam, menikmati pemandangan, menghirup udara segar, dan tidur di tenda sambil dengerin suara jangkrik. Tapi belakangan, pendakian di beberapa gunung Indonesia malah berubah jadi drama rebutan lahan camp, karena ada tren aneh: booking lahan camp oleh open trip. Iya, kamu nggak salah baca, ada yang ngaku-ngaku bisa “booking” tempat tenda duluan kayak booking hotel, bahkan sebelum kita nyampe.
Drama ini meledak di Gunung Merbabu beberapa waktu lalu. Viral video pendaki mandiri yang udah duluan pasang tenda tiba-tiba disuruh pindah. Kenapa? Karena spot itu katanya sudah “dibooking” sama rombongan open trip yang datang belakangan. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Pak Nandang, dengan tegas bilang, “Tidak ada aturan yang membolehkan booking tempat tenda.” Jadi, dari mana datangnya istilah “booking lahan camp” ini?
Kalau dipikir-pikir, ini mirip drama sinetron: ada pihak yang datang duluan, tapi karena mereka bukan bagian dari open trip, mereka ‘digusur’ demi kepentingan rombongan yang dateng belakangan. Ini bukan cuma soal berebut lahan, tapi juga soal etika dan hak sebagai pendaki. Bukannya gunung itu ruang publik, milik bersama yang harusnya bisa dinikmati semua orang tanpa diskriminasi?
Open trip dan praktik booking lahan camp: antara wajar dan berlebihan
Buat kamu yang belum tahu, open trip adalah layanan pendakian yang diorganisasi oleh biro perjalanan. Mereka biasanya punya jadwal, guide, porter, dan peserta yang sudah didaftarkan. Karena mereka bawa rombongan besar, kadang ada strategi: kirim porter atau pendaki lebih dulu ke lokasi camp buat “booking” tempat.
Musisi sekaligus pegiat alam, Fiersa Besari, pernah ngomong soal ini. Menurut dia, praktik porter datang duluan untuk mendirikan tenda bagi peserta open trip itu biasa. Tapi, yang nggak boleh itu adalah mengusir pendaki mandiri yang udah duluan di spot tersebut.
Masalahnya, open trip yang makin marak bikin gunung jadi ‘ladang perang’ rebutan lahan camp. Pendaki mandiri yang cuma mau menikmati alam dengan santai sering jadi korban “booking dadakan” ini. Bukannya dibiarkan tenang, mereka malah harus geser-geser tenda dan cari tempat baru yang belum tentu aman atau nyaman.
Kenapa harus susah-susah booking? Bukannya gunung itu milik bersama?
Praktik booking lahan camp ini sebenarnya muncul karena terbatasnya kapasitas lahan camp yang ada di banyak gunung. Pihak pengelola memang membatasi jumlah pendaki demi menjaga kelestarian alam. Tapi sistem “booking” ilegal ini bikin kacau, karena nggak ada aturan resmi yang mengatur hal tersebut.
Kalau kamu perhatiin, ngurus izin pendakian itu sudah ribet. Ditambah harus ribet juga urusan lahan camp, pendaki bisa jadi stres sendiri. Pendaki mandiri malah jadi pihak yang dirugikan, karena mereka nggak bisa “booking” dan harus bersaing dengan open trip yang sudah punya jaringan.
Camping ground resmi: solusi anti drama?
Kalau kamu mau camping dengan nyaman, aman, dan nggak ribet, ada alternatif yang lebih baik: camping ground resmi. Contohnya Bukit Cita Cita Camping Ground di Cisarua, Bogor. Tempat ini menyediakan lahan camping yang rapi, fasilitas memadai, dan pastinya bebas drama rebutan spot.
Di camping ground resmi, kamu bisa booking lahan dengan harga wajar, fasilitas lengkap seperti kamar mandi, musholla, dan akses mudah. Ini solusi buat kamu yang pengen suasana camping yang adem dan tanpa drama.
Apa kata pemerintah?
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Pak Nandang, sudah menegaskan bahwa tidak ada aturan resmi yang mengizinkan booking lahan camp di area pendakian. Pihaknya bahkan sudah menegur operator open trip Tiga Dewa Adventure Indonesia yang kedapatan melakukan praktik tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengingatkan agar semua pihak mematuhi aturan demi menjaga kelestarian alam dan kenyamanan bersama.
Data dari pengelola taman nasional menunjukkan bahwa kapasitas lahan camping memang terbatas, sehingga sistem pendakian harus mengedepankan prinsip first come first served. Praktik booking ilegal berpotensi menimbulkan ketegangan antar pendaki dan memperparah dampak kerusakan lingkungan akibat penumpukan tenda.
Gunung itu bukan pasar swalayan yang bisa kamu booking seenaknya
Jadi, buat kamu para pendaki mandiri, jangan baper kalau tiba-tiba disuruh pindah tenda oleh rombongan open trip yang ‘booking’ lahan duluan. Anggap saja itu ujian kesabaran dan jiwa petualang. Tapi, buat operator open trip, tolong hargai pendaki lain dan jangan sok jagoan booking lahan.
Gunung itu milik kita bersama. Tempatnya untuk menikmati alam, bukan untuk diperebutkan dengan cara yang nggak etis. Kalau mau booking, mending ke camping ground resmi yang sudah ada izin dan fasilitas.
Jadi, yuk jaga gunung dan etika mendaki. Karena mendaki itu soal menikmati alam, bukan rebutan lahan camp yang bikin suasana jadi panas. Ingat, di gunung, kita bukan cuma bertemu dengan puncak, tapi juga dengan sesama pendaki.
Penulis: Kevin Nandya Kalawa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menggugat Alasan Mendaki Gunung Para Pemula: Sebuah Percakapan Nyinyir
