Dulu, saya sempat bingung setiap ditanya kuliner apa yang menjadi makanan oleh-oleh khas Karawang. Mau bilang Soto Gempol, lah itu cuma nama restorannya saja, yang disajikan di sana soto berkuah santan mirip soto Betawi. Mau bilang pepes jambal, hampir semua wilayah di Tanah Pasundan punya pepes jambal. Mau bilang sayur terubuk, sayur terubuk keburu diakui sebagai makanan khas Sidamulih, Banyumas. Imbasnya, ketika bertukar oleh-oleh dengan sanak famili dari luar kota, saya hanya membawa bolu kukus atau kue semprong kalengan saja.
Sebenarnya saya cukup minder juga, ketika orang Tegal bertandang ke rumah saya dengan tahu aci, kacang klithik, dan telur asinnya; atau orang Jogja membawakan saya Bakpia 88; atau ketika orang Bandung menyuguhkan peuyeum, saya hanya bisa membarter bawaan dengan mereka sesuatu yang mungkin bisa ditemukan di mana saja. Apalagi mereka menerimanya dengan sorot mata yang menyiratkan tengah mempertanyakan keautentikan kota saya. Rasanya seperti kepengin masuk ke dalam lubang semut saja.
Namun, itu cerita lama bin usang. Berkat internet, kegundahan saya bisa diredakan. Setelah bergabung dengan grup Facebook Kuliner Karawang, saya menemukan sesuatu yang sempat dipandang sebelah mata yang menjelma menjadi makanan oleh-oleh yang bisa dibanggakan oleh kota yang berjuluk Kota Pangkal Perjuangan ini: bontot.
Apa itu bontot?
Bontot adalah penganan yang terbuat dari tepung dan ikan/udang. Asal tepatnya dari Kecamatan Rengasdengklok. Bontot diproduksi secara massal di pabrik pembuatan kerupuk udang. Cara pembuatannya sama seperti pembuatan adonan kerupuk udang. Singkatnya, bontot adalah bahan setengah jadi dari kerupuk udang. Bentuknya berupa adonan yang digulung membentuk tabung sepanjang dua jengkal dengan diameter sekitar sepuluh sentimeter. Warnanya terkadang sedikit oranye. Orang yang belum mengenalnya secara up close mungkin menyangka itu adalah pepaya.
Perihal rasa, bontot tidak mengecewakan. Rasanya gurih, ya mirip kerupuk udang. Bedanya, teksturnya sedikit mirip dengan makanan khas Palembang, pempek. Cara memasaknya biasanya dengan dipotong-potong melintang—seperti memotong kue bolu gulung—kemudian digoreng. Oleh penduduk setempat, bontot goreng kerap dijadikan lauk peneman nasi. Bontot goreng juga cocok dijadikan hidangan untuk menjamu tamu dan camilan ketika sedang arisan, kumpul di pos ronda, atau nonton bola. Dan menurut saya, bontot goreng lebih enak jika disantap dengan dicocol ke dalam sambal atau saus cabai, supaya menghasilkan sensasi crunchy-crunchy kenyal gurih pedas.
Oh iya, hampir saya lupa, perihal nama bontot sendiri ada ceritanya. Dalam bahasa Sunda, kata bontot berarti “bungsu”. Asal muasalnya, bontot merupakan sisa potongan adonan kerupuk udang, jadi bukan limbah buangan yang diolah ulang apalagi ampas. Oleh karena tidak memungkinkan untuk dipotong (karena hasilnya akan jelek) akhirnya bagian sisa itu dikonsumsi sendiri oleh produsen dan pekerjanya. Berhubung rasanya enak, banyak yang suka dan akhirnya dijual per gulungan. Dan nama itu kadung melekat hingga sekarang.
Soal harga, jangan khawatir. Bontot adalah makanan yang membumi alias murah meriah. Satu gulung bontot hanya dibandrol sepuluh ribu rupiah, paling mahal 20 ribu rupiah. Satu gulung bisa dipotong menjadi 12 sampai 15 potong. Artinya satu potong bisa dihargai seribu rupiah, sama murahnya dengan sepotong bakwan, tapi dengan rasa yang sedikit lebih mewah. Kalau mau mengonsumsi bontot sambil menerapkan gaya hidup anak kos, bisa-bisa saja, tinggal dipotong lebih tipis lagi dan jadilah kerupuk udang setengah lembek. Sekarang, bontot sudah populer, diakui keberadaannya, dan sudah dijual di toko-toko oleh-oleh. Meski begitu, terkadang ia diproduksi di rumah-rumah dan dijual secara gerilya dengan sistem COD oleh ibu-ibu yang ingin menambah uang belanja.
Makanan from zero to hero ini sangat layak dijadikan kebanggaan Karawang dan didistribusikan dalam skala nasional. Pasalnya, beberapa kawan dan sanak famili dari luar kota mengaku cocok ketika mencicipi bontot. Dari ekspresi dan frekuensi mengunyah mereka, saya bisa memastikan bahwa mereka amat puas. Bahkan beberapa dari mereka meminta dikirimi bontot.
Mendapati itu, saya gembira. Terima kasih, bontot, engkau adalah pahlawanku, berkat dirimu saya jadi tidak minder lagi ketika bertukar oleh-oleh.
BACA JUGA Garut Bukan Cuma Dodol dan Makam Hitler, Ada 10 Makanan Khas Garut yang Enaknya Nauzubillah dan tulisan Agung Setoaji lainnya.