Membicarakan tempat menepi yang jauh dari hiruk pikuk kota di Jawa Timur, Malang mungkin jadi tempat paling populer. Padahal selain Malang, Bondowoso layak menjadi pertimbangan.
Selama 3 tahun terakhir, rasanya hampir tiap seminggu sekali saya melancong ke Bondowoso. Kabupaten ini terpaut 34 km dari tempat tinggal saya di Jember. Setidaknya perlu 1 jam berkendara untuk bisa sampai ke daerah yang sering disebut sebagai “Kota Mati” itu.
Menurut beberapa orang yang saya temui, sebutan ini didasari karena kota ini tampak kurang ramai dan terisolasi dibandingkan kota-kota sekitarnya. Padahal, menurut saya yang sudah bolak-balik ke sana, Bondowoso kurang tepat disebut sebagai “Kota Mati”. Daerah ini lebih cocok disebut “tempat menepi” dari hiruk kota.
Sudah menenangkan sejak dari perjalanan menuju ke sana
Jalanan menuju Bondowoso terbilang mudah. Dari daerah saya, Jember, kalian hanya perlu lurus, tidak ada kelokan maupun tanjakan. Jika dibandingkan dengan perjalanan ke arah Lumajang, jalanan ke Bondowoso terasa lebih lengang dan tidak dipadati truk-truk besar.
Sepanjang perjalanan menuju kota ini, pengendara akan dimanjakan oleh lanskap perkebunan karet dan pinus. Saya rasa padatnya pepohonan membuat hawa perjalanan menjadi sedikit dingin. Bahkan, dingin sekali sampai dapat menembus ke dalam jaket. Jarang ada hawa panas menyengat kepala meski saya berkendara saat siang hari.
Manakala selepas hujan, padatnya pepohonan tak jarang menghadirkan kabut embun yang membuat jalanan Jember-Bondowoso terasa magis dan tenang. Samar aroma pinus, ditambah tetesan embun yang membasahi pipi. Alih-alih memberikan kesan ramai dan macet, jalan menuju Bondowoso menawarkan pengalaman yang menenangkan.
Daerah yang tertata, cocok untuk merenung sambil menyusuri kota
Bondowoso cenderung lebih tertata dibanding daerah lain. Wilayah yang tidak terlalu luas, membuat jalan-jalan di sana mudah diingat. Itu mengapa, pendatang baru atau wisatawan tidak perlu takut tersesat ketika menyusuri Bondowoso.
Pepohonan yang rindang juga menjadi pemanis sepanjang jalan menuju alun-alun kota. Tatkala musim kemarau tiba, daun yang berguguran membuatnya seperti salah satu daerah di Eropa. Kesannya jadi hening, teratur, dan damai. Benar-benar suasa yang mendukung untuk kalian yang sedang menghindari hiruk-pikuk kota.
Baca halaman selanjutnya: Bangunan lawas …
Bangunan lawas menambah romantis suasana Bondowoso
Hal yang paling saya sukai dari Bondowoso adalah masih banyak bangunan atau rumah bergaya jengki dan indis di sana. Bangunan lawas begitu cocok dengan suasana Bondowoso, apalagi ketika sore hari. Sangat romantis.
Suasana tambah romantis ketika malam hari. Ketika mampir ke Bondowoso, saya senang memandangi langit malam di sana. Cahaya bintang kadang masih terlihat, tidak seperti di Jember. Lampu-lampu di kota kadang menutupi gemerlap bintang di langit.
Pernah suatu malam di Bondowoso, tepatnya selepas salat Isya, saya menyadari jalan utama di dekat alun-alun terasa begitu lengang dan sepi. Saya pun bertanya-tanya, ke mana perginya semua orang. Setelah berkeliling di sekitar kota, saya mendapati bahwa Bondowoso memang telah sepi begitu adzan Isya usai berkumandang. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Hampir setiap malam selama saya berkunjung, Bondowoso selepas Isya terasa seperti kampung yang sepi.
Bondowoso minim gejolak
Bondowoso yang jauh dari hiruk-pikuk mungkin karena kebanyakan penduduknya memilih merantau ke Bali atau Kalimantan untuk bekerja. Memang tidak banyak pilihan di sini. Selama berkunjung, saya kerap menemui berbagai keterbatasan. Tak banyak pilihan makanan, tempat hiburan, maupun ruang publik. Bahkan, transportasi dalam kota pun nyaris tak tersedia. Variasi yang minim membuat siapa pun perlu beradaptasi dengan apa yang ada, menerima keadaan sebagaimana adanya.
Menariknya, di tengah segala keterbatasan itu, Bondowoso terasa nyaris tanpa gejolak. Saya hanya mengingat dua peristiwa besar yang pernah terjadi di Bondowoso: kasus korupsi yang melibatkan mantan wakil bupati dan konflik agraria di Kaligedang, Ijen. Keduanya tergolong serius, namun respons masyarakat di sini jauh dari gaduh.
Hidup di Bondowoso memang terasa statis. Nyaris tanpa gelombang besar. Barangkali suasana yang ideal untuk menepi. Bukankah itu impian banyak orang kota? Jalanan yang tak ramai, udara yang sejuk, serta suasana yang romantis dan adem ayem.
Penulis: Titania Elsa Eka Hikmatullah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Keunggulan Bogor yang Sebenarnya Sederhana, tapi Sulit Dijumpai di Jakarta.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
