Baru-baru ini viral ucapan BKKBN Hasto Wardoyo yang mengatakan bahwa BKKBN menargetkan 1 perempuan untuk memiliki minimal 1 anak perempuan. Hal ini dinilai dapat meningkatkan angka kelahiran yang saat ini tengah mengalami penurunan.
“Kami punya target 1 perempuan rata-rata melahirkan 1 anak perempuan,” kata Hasto mengutip Kompas.com.
Ucapannya tersebut lantas menjadi bulan-bulanan warganet. Bukan saja karena dinilai tak masuk akal untuk menargetkan kelahiran anak dengan gender tertentu. Tetapi juga karena negara melalui BKKBN seolah memandang perempuan hanya sebagai pabrik bayi. Ungkapan Hasto tersebut memang tak layak diucapkan oleh kepala lembaga yang salah satu tugasnya adalah meningkatkan kualitas SDM.
Perempuan yang sejak kecil sudah banyak terdoktrin untuk menjadi ibu tanpa pilihan untuk menolak, sekarang justru semakin dipaksa oleh lembaga negara. Perempuan sama sekali tidak dihargai sebagai makhluk yang berhak atas keputusan ketubuhannya. Melainkan hanya dinilai sebagai mesin pencetak calon buruh murah demi memenuhi target-target negara. Bahkan di tengah isu menurunnya angka kelahiran, angka pengangguran juga masih tak terbendung, yang artinya negara masih gagal memberikan jaminan hidup layak bagi seluruh masyarakatnya, ini kok malah disuruh nambah anak.
BKKBN memperkeruh air yang sudah butek
BKKBN yang seharusnya memahami dinamika sosial di tengah keluarga-keluarga di Indonesia. Bukannya mengedukasi keluarga supaya menerapkan nilai-nilai kesetaraan, yang ada malah seolah memperkeruh sungai yang sudah tercemar.
Bukan sekali dua kali pejabat negara melontarkan pernyataan tak sensitif gender. Sebelumnya, Menkominfo Budi Arie juga sempat memberikan stereotip gender terhadap kasus pembunuhan akibat judi online. Kali ini kembali terulang dengan lebih memalukan, karena pernyataan tersebut keluar dari Kepala BKKBN yang seolah berlindung di balik kewenangannya untuk mengatur hak reproduksi perempuan atas nama peningkatan populasi.
Alih-alih menjadi solusi dari permasalahan penurunan angka kelahiran, ungkapan Hasto tersebut hanya menunjukkan betapa BKKBN tidak memahami akar permasalahan dan tidak memiliki sensitivitas gender yang baik sebagai lembaga negara. Pernyataan tersebut mengabaikan fakta terhadap minimnya intervensi negara dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan perempuan. Pernyataan tersebut juga melanggengkan stigma bahwa perempuan memang hanya bertugas melahirkan anak. Alih-alih berkoar meningkatkan kualitas SDM, tampaknya SDM di BKKBN masih perlu banyak pendidikan terkait keluarga. Juga, belajar berbagai isu yang menyertainya supaya tidak ada lagi cara berpikir shortcut dalam menyelesaikan masalah. Seperti meminta masyarakat melahirkan lebih banyak anak perempuan.
Pernyataan Kepala BKKBN tersebut juga menunjukkan bahwa dirinya (dan barangkali lembaganya) tak memahami alasan di balik penurunan angka kelahiran. Padahal ada banyak faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya penurunan angka kelahiran tersebut. Misalnya faktor kerentanan ekonomi, tingginya angka stunting, sulit dan mahalnya akses pendidikan dan kesehatan untuk anak, krisis ruang hidup, minimnya jaminan hidup layak, stunting, disfungsi keluarga, siklus kekerasan domestik dan lain-lain.
Harusnya lebih kritis
BKKBN juga seharusnya lebih kritis dalam memahami persoalan. Misalkan dengan mempertanyakan alasan populasi perempuan usia produktif enggan memiliki (banyak) anak. Faktor minimnya dukungan sosial seperti beban pengasuhan yang masih kerap dijadikan tanggung jawab ibu seorang diri dapat juga digali lebih lanjut oleh BKKBN. Padahal kita mengenal baik sebuah adagium yang menyebut bahwa butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak, namun fakta di lapangan berbicara lain. Hal ini hendaknya juga menjadi perhatian khusus BKKBN, alih-alih memberi arahan sembari memakai kacamata kuda.
Jika masalah-masalah kompleks tersebut dapat dipahami oleh BKKBN, saya yakin ujaran ngawur tanpa perhitungan untuk serta merta menganjurkan masyarakat menambah anak perempuan tidak akan terucap. Sayangnya, berharap pejabat di negeri ini untuk benar-benar bekerja melalui kajian masalah yang komprehensif sepertinya nyaris mustahil diwujudkan.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Terima Kasih Kampanye BKKBN, Kini Kami Punya Alasan Enggan Menikah