Tomoro Coffee boleh saja punya ratusan gerai coffee shop di seluruh Indonesia, menggandeng barista-barista paling top di negeri ini, juga harus diakui menu-menu mereka enak. Meski begitu, mereka melakukan permainan yang relatif berbahaya yakni valuation game.
Apakah itu salah?
Tidak juga. Justru dengan cara seperti ini bisa memunculkan model bisnis lain di luar sebatas jualan kopi. Kenapa bisa begitu? Mari kita bahas.
Daftar Isi
Kebangkitan Tomoro Coffee
Brand ini mulai berdiri sejak 2022 lalu. Konsepnya adalah menghadirkan coffee shop berkonsep semi working space dengan sajian kopi yang luar biasa. Tak tanggung-tanggung, Tomoro Coffee menggandeng dua barista yang namanya sudah dikenal di Indonesia bahkan dunia. Para barista itu adalah Dale Harris, sang Juara Dunia Barista 2017, dan Muhammad Aga, sang Juara Barista Indonesia 2018. Keduanya menjadi Coffee Master di Tomoro Coffee, dan sukses menciptakan menu-menu kopi yang rasanya tak perlu dipertanyakan lagi.
Di tahun 2022 itu juga, Tomoro Coffee melakukan ekspansi besar dan membuka dua ratus gerai di seluruh Indonesia. Tak lama setelahnya, mereka menerima pendanaan alias Funding dari Venture Capital senilai 10 juta USD. Dengan pendanaan itu, ekspansi yang dilakukan Tomoro Coffee menjadi semakin masif.
Sampai pada pembahasan ini saja sudah terlibat jelas bahwa brand yang satu ini melakukan permainan yang sangat berbeda dibandingkan bisnis coffee shop pada umumnya. Pendekatan yang mereka lakukan persis seperti kebanyakan startup teknologi di Indonesia, bahkan dunia. Valuation Game. Dan ya, bakar duit.
Valuation Game
Saya pernah membahas lebih detail mengenai permainan valuation game pada startup coffee shop di artikel yang satu ini. Intinya adalah, sebuah brand coffee shop akan terus menaikkan valuasi mereka, agar bisa mengajukan pendanaan lebih besar lagi, dan hanya menjual lebih sedikit jumlah saham.
Sepertinya, hal yang sama juga berlaku pada Tomoro Coffee. Setelah melakukan ekspansi secara masif, mengajak dua barista ternama yang luar biasa, melakukan promo besar di seluruh gerai, serta mendesain media sosial mereka sedemikian rupa, maka orang-orang akan lebih tertarik untuk datang dan membeli kopi di sana.
Setelahnya, pihak Tomoro Coffee akan menganjurkan para pelanggan mendownload aplikasi khusus milik mereka, diiming-imingi promo lebih besar lagi. Bagi pelanggan, mereka senang mendapatkan promo besar. Bagi brand, dalam hal ini adalah Tomoro Coffee, mereka lebih senang lagi karena bisa mengumpulkan ratusan ribu data pelanggan dari seluruh Indonesia.
Semua upaya yang dilakukan itu, akan menjadi nilai tawar besar bagi jajaran direksi Tomoro Coffee untuk mencari pendanaan. Uang yang didapat dari pendanaan itu, digunakan untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, dengan skala yang jauh lebih masif. Untuk apa? Agar valuasi perusahaan semakin naik, dan bisa mengajukan pendanaan tahap berikutnya. Valuasi naik, harga saham naik, maka pendanaan yang didapat bisa jauh lebih besar, dengan hanya menjual lebih sedikit saham.
Sampai kapan hal itu dilakukan? Sampai akhirnya perusahaan bisa mendapatkan profit. Atau, sampai para pemenang saham awal merasa sudah puas dengan harga saham saat ini, dan melakukan exit dengan IPO.
Bisakah bertahan berapa lama?
Dengan permainan seperti yang sudah kita bahas itu, lantas akankah Tomoro Coffee bisa bertahan lama? Jawabannya bisa. Selama, mereka masih menerima pendanaan dari investor. Di sinilah berbahayanya. Perusahaan ini sudah melakukan ekspansi secara gila-gilaan, dengan peralatan kopi yang juga tidak main-main.
Rasanya mustahil untuk mendapatkan profit dalam waktu dekat. Bisnis coffee shop normal saja, memerlukan waktu tiga sampai empat tahun untuk BEP. Itu pun belum profit. Itu pun jumlahnya sedikit yang bisa BEP. Kebanyakan menghilang di tengah jalan. Lantas bagaimana sebuah coffee shop dengan ratusan gerai di seluruh Indonesia, yang per gerai bisa menghabiskan ratusan bahkan miliaran juta rupiah, bisa mendapatkan profit dalam waktu singkat?
Selama Tomoro Coffee bisa menjaga ritme permainan dan tidak kehabisan uang di tengah jalan, atau kehabisan uang tetapi bisa mendapatkan pendanaan lagi, harusnya brand yang satu ini masih akan bertahan sampai bertahun-tahun lagi. Tidak bisa dimungkiri, saat ini orang-orang membeli sesuatu berdasarkan emosi, bukan logika. Sama hanya dengan membeli kopi. Produk Tomoro Coffee memang enak, tetapi harus diakui bukan yang terenak.
Tomoro Coffee memang menawarkan tempat yang bisa untuk bekerja, tetapi bukanlah tempat lain juga menyediakan? Lantas kenapa orang-orang harus datang dan membeli kopi di Tomoro Coffee? Ya karena emosi yang mereka jual. Emosi itu bisa datang dari branding di media sosial yang oke. Bisa dari rasa penasaran karena ada dua barista besar di balik menu-menunya. Bisa karena di aplikasi Tomoro Coffee rajin memberi notifikasi personal. Atau dari hal-hal lain yang berhubungan dengan emosi.
Apabila Tomoro Coffee bisa mempertahankan hal tersebut, seharusnya bisa terus ramai sih. Beda cerita kalau mendadak ada kompetitor dengan level yang sama muncul dan mencuri pasar ya.
Tomoro Coffee, bisnis perbankan berkedok coffee shop?
Tomoro Coffee, dan coffee shop sejenisnya, bisa saja memiliki bisnis terselubung lain yang jauh lebih menguntungkan. Secara, sulit rasanya menggantungkan pemasukan hanya dari berjualan kopi, mengingat betapa besar uang yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan ekspansi. Dan bisnis terselubung yang sangat mungkin dilakukan adalah perbankan.
Semuanya berawal dari aplikasi yang didownload oleh pelanggan. Semakin banyak kemudahan dan keuntungan yang diperoleh pelanggan, maka aplikasi dari Tomoro Coffee, atau coffee shop sejenisnya, akan semakin marak digunakan.
Pelan-pelan, biasanya brand coffee shop itu akan mengembangkan fitur digital payment di aplikasinya. Entah bikin e-wallet sendiri atau kerja sama dengan pihak lain. Dan para pengguna aplikasi, akan diarahkan melakukan pembayaran via aplikasi tersebut.
Model bisnis seperti ini sudah dilakukan oleh Starbucks. Melalui digital payment mereka, starbucks mengumpulkan Rp24,38 T. Itu memang saldo pengguna, tetapi saldo itu hanya bisa digunakan untuk bertransaksi di starbucks. Belum lagi pasti ada saldo mengendap yang tidak bisa digunakan sama sekali.
Katakanlah ada pengguna mau beli kopi seharga empat puluh ribu. Dia punya saldo tiga puluh ribu, sedangkan minimal top up lima puluh ribu. Artinya ada nominal yang tidak bisa dibelanjakan, kan? Tidak bisa ditarik juga. Saldo-saldo seperti itu akhirnya murni menjadi milik coffee shop itu!
Dan rasanya, model bisnis seperti ini sangat disayangkan kalau tidak ditiru coffee shop di Indonesia, yang punya ratusan gerai itu. Bahkan jangan-jangan, sejak awal bisnis mereka memang itu, dan coffee shop, plus aplikasi yang dibikin itu, cuma gimmick untuk mendapatkan nasabah, eh pelanggan.
Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rasa Minuman Tomoro Coffee Sama dengan Starbucks? Ya Enakan Starbucks ke Mana-mana, lah, Situ Halu?