Indonesia itu keberagamannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Apalagi keberagaman kulinernya, jan buanyak banget. Ambil contoh jenis kue tradisional Indonesia atau yang biasa disebut dengan jajanan pasar. Jajanan ini seperti yang kita sudah ketahui memang memiliki jenis yang sangat beragam. Jika kita pernah mengunjungi pasar atau stand penjual jajanan pasar, mata kita akan dimanjakan dengan berbagai jenis jajanan pasar yang tersedia.
Jajanan pasar sering kali digunakan sebagai hantaran atau berkat slametan. Pulang dari slametan, tahlilan, atau walima’an tentu pasti kita akan diberi kotakan yang berisi nasi lengkap dengan lauknya dan aneka jajanan pasar. Namun dengan banyaknya jenis jajanan tradisional Indonesia, kok nggak ada satu pun yang mendunia ya?
Kue-kue yang hits pasti berasal dari luar negeri. Sebut saja rainbow cake yang berasal dari Amerika Serikat, macaron yang terkenal dari Perancis, atau kue brownies yang juga berasal dari Amerika Serikat. Kue-kue ini begitu terkenal hingga kita yang berada jauh dari negeri asalnya saja sampai tahu, bahkan juga bisa merasakannya.
Namun kue tradisional Indonesia seperti nagasari a.k.a sumpil, putu ayu, roti kukus, madumongso, tidak menjadi fenomena global. Pertanyaannya, mengapa?
Saya sering menonton channel Asian Food Network dan channel masakan lainnya. Biasanya saya nonton sambil makan, meskipun tidak mengubah rasa makanan yang saya makan. Selama pengalaman saya menonton channel tersebut, jarang saya temui masakan Indonesia apalagi kuenya. Memang ada beberapa episode yang menayangkan masakan Indonesia, tapi sangat jarang.
Bahkan di channel Asian Food Network yang memang fokus terhadap kuliner Asia, masakan Indonesia juga cukup jarang ditayangkan. Lebih banyak kuliner Jepang, Cina, dan Korea. Asia Tenggara sendiri banyak diwakilkan oleh Malaysia dan Singapura. Bahkan cukup banyak program yang bertemakan kuliner Singapura dan Malaysia di channel ini. Ya mungkin juga karena memang basis Asian Food Network di Singapura.
Bahkan ketenaran kuliner Indonesia di mata dunia masih kalah dengan ketenaran kuliner Thailand dan Vietnam. Dan itu semua ada sebabnya: gastrodiplomasi.
Singkatnya, gastrodiplomasi adalah diplomasi dengan media makanan. Bisa dalam bentuk jamuan, atau promosi ke dalam film. Khusus untuk Thailand, mereka punya cara yang unik.
Pemerintah Thailand membiayai masyarakat Thailand yang tinggal di luar negeri yang ingin membuka restoran khas Thailand. Hal ini bertujuan agar kuliner mereka dikenal, yang nantinya akan mengenalkan Thailand, lalu menarik mereka untuk berwisata.
Meski terdengar sepele, nyatanya cara itu berhasil. Kuliner selalu jadi daya tarik yang kuat. Orang jadi tertarik mengunjungi suatu negara karena penasaran akan pengalaman makan langsung di negara asalnya.
Kalian masih nggak percaya hal ini efeknya besar? Sekarang gini aja, berapa dari kalian yang pengin makan ramen gara-gara Naruto? Nah, paham kalian.
Cara yang sama sebaiknya ditempuh Indonesia. Dari segi rasa, tak mungkin Indonesia kalah dengan negara lain. Wong rendang saja pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia kok. Hal itu saja cukup memberi bukti bahwa makanan Indonesia bisa diterima secara universal.
Tapi, rendang memang populer. Rasanya tak sepadan jika dibandingkan dengan jajanan tradisional. Tapi, dengan promosi yang niat juga masif, saya yakin kepopuleran jajanan tradisional Indonesia bisa satu tingkat dengan rendang.
Saya kira, kita perlu lebih giat dalam mengenalkan kuliner Indonesia. Perlu sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku media, juga influencer yang cukup berpengaruh. Memang butuh waktu lama, tapi ketika berhasil, saya rasa semua bisa mendapatkan buahnya. Seperti kuliner Korea Selatan, yang dikenalkan masif lewat drakor, hingga bikin Indonesia dipenuhi banyak kedai makanan Korea.
Jadi,yang perlu pemerintah lakukan sekarang, paling awal, adalah memberi bantuan untuk para rakyat Indonesia yang tinggal di luar negeri untuk membuka resto. Atau melobi para pembuat film untuk menyelipkan kuliner Indonesia dalam adegan film. Misalnya, film Thor nanti ada adegan Jane Foster makan nagasari, kan bisa tuh.
Penulis: Sigit Candra Lesmana
Editor: Rizky Prasetya