Bisa Sambat Pakai Bahasa Jawa Adalah Privilege, di Jakarta Nggak Mungkin Bisa!

Cara Bertahan Hidup di Jakarta Jika Gajimu di Bawah UMR Jakarta 2024 depok heru budi jogja

Cara Bertahan Hidup di Jakarta Jika Gajimu di Bawah UMR Jakarta 2024 (Pixabay.com)

Berkarier di Jakarta mungkin memang menjadi impian dan dambaan banyak orang. Termasuk saya yang pada saat itu masih ”kinyis-kinyis” baru lulus kuliah dari salah satu perguruan tinggi di Jogja.
Belum lagi ketika mendengar banyak senior kampus yang merantau ke Jakarta untuk bekerja dan ceritanya sukses. Tampilan profile instagramnya pun berbanding terbalik dengan ketika kuliah dulu. Ini yang membuat saya merasa makin yakin dan mantep untuk dapat berkarier di Jakarta. Terlebih, ibu saya dulu pernah berkata ”kalau kamu bisa taklukan Jakarta, berarti kamu bisa taklukan dunia”.

Akhirnya setelah saya lulus kuliah, saya punya kesempatan untuk bekerja di salah satu law firm terkemuka di Jakarta. Tentu saya merasa senang dan bangganya bukan main. Dengan gaji 2 digit, gaya petentang-petenteng dan ”lo-gue” menjadi makanan sehari-hari.

Namun nahas, saya hanya bertahan sebentar karena covid melanda. Semua anak-anak baru (yang masih kontrak kaya saya gini) terpaksa dibumi hanguskan.

Lha piye meneh, jenenge wes nasib.

Kembali ke Jakarta

Akhirnya saya kembali pulang ke Semarang untuk bekerja di Semarang. Kembali menjadi anak daerah tanpa ”lo-gue”, yang ada hanya ”aku-koe” dan sederet pisuhan berbahasa Jawa lainnya.

Anyway, beberapa tahun kemudian saya kembali memiliki kesempatan untuk dapat berkarier di Jakarta. Mesipun bukan bekerja di perusahaan elit seperti yang saya impikan dulu, tapi buktinya saya berhasil menginjakkan kaki kembali ke Jakarta. Mulai lagi dari 0.

Beberapa bulan di Jakarta berhasil saya lalui dengan mulus. Kalau masalah adaptasi, bolehlah saya pede sedikit. Diajak makan di hotel bintang 5 nggak bikin malu, diajak ke angkringan, gas. Pun dengan bahasa, aetelan ”lo-gue” kembali lagi mengisi hari-hari saya. Pemusnahan aksen medhok pun cukup mudah buat saya. Intinya, saya berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan Jakarta yang katanya keras ini.

Euforia yang membuncah

Bulan-bulan awal di Jakarta, euforianya masih sangat terasa. Bekerja di Jakarta adalah sebuah pembuktian diri bagi sebagian besar anak-anak daerah seperti saya ini. Ibaratnya, mau macet 3 jam di jalan juga hepi-hepi aja, malah bagus karena bisa lama-lama melihat gedung-gedung tinggi yang kalo saya naik pasti singunen. Untuk teman-teman yang tidak mengetahui, singunen adalah keadaan di mana kita merasa takut saat berada di ketinggian. Nggak berani liat kebawah. Bawaannya deg-degan dan gamang. Ya memang agak norak, namanya juga anak daerah.

Macet-macetan di jalan juga saya nikmati sebagai wadah untuk dapat melihat para eksmud (eksekutif muda) yang hilir mudik sibuk berbicara di via telepon dengan entah siapa. Bisa melihat mbak-mbak SCBD yang memakai tory burch, lanyard coach, dan menenteng corkcicle ke mana pun melangkah. Pemandangan seperti itu merupakan suatu bentuk experience baru yang jarang saya lihat di Semarang.

Namun di balik euforia ”come back to Jakarta” ini, saya merasa memiliki sedikit kekosongan dalam hati. Tapi anehnya, saya tidak bisa menemukan dan mendefinisikan kekosongan apa yang saya alami. Ya memang sih saya jomblo, alias tidak punya pasangan. Tapi rasanya bukan itu yang menyebabkan kegelisahan hati saya.

Kembali ke Jogja

Bulan demi bulan kembali berlalu. Hingga suatu saat, saya mendapatkan undangan pernikahan sahabat saya di Jogja. Tanpa ragu, saya kemudian memesan tiket kereta dan hotel untuk dapat bertolak ke Jogja dari Jakarta dan menghadiri pernikahan sahabat saya.

Pernikahan sahabat saya ini dilaksanakan di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM. Rasanya seperti nostalgia jaman kuliah dulu. Terlebih, GSP menjadi tempat dilangsungkannya wisuda saya pada waktu itu. Wah, good old days.

Sampailah saya di GSP dengan dandanan cantik nan ciamik menggunakan kebaya seragam yang dipesan sahabat saya si pengantin (maklum, saya jadi bridesmaid), ditambah dengan goresan make up yang pas di wajah saya.

Tidak berapa lama, saya bertemu dengan teman-teman saya semasa kuliah dulu. Teman-teman saya ini juga bermacam-macam. Ada yang sudah jadi penulis, lawyer, banker, bahkan pengusaha muda. Banyak obrolan ngalor-ngidul yang terjadi. Mulai dari update kehidupan yang agak serius, guyonan receh hingga sambat-menyambat mewarnai obrolan kami pada saat itu. Semuanya menggunakan bahasa Jawa.

Rasa tenang yang tak saya rasakan di Jakarta

Anehnya, di situ saya menjadi tenang. Ada rasa nyaman yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata, yang tidak saya rasakan di Jakarta. Sambatan dan umpatan dalam Bahasa Jawa yang saya dengar menjadi musik di telinga saya. Barulah saya menyadari bahwa selama ini kekosongan hati saya disebabkan karena saya tidak bisa mengekspresikan diri untuk sekedar guyon dan sambat menggunakan bahasa Jawa.

Begitulah hidup. Kadang kegundahan, kegelisahan, dan kekosongan hati yang kita rasakan obatnya sepele. Kita yang terkadang terlalu ndakik-ndakik. Jakarta boleh jadi tempat meniti karier yang bagus, tapi untuk urusan guyon dan sambat, Jogja tetap pemenangnya. Lebih tepatnya, supremasi bahasa Jawa untuk menyampaikan gundah di hati kelewat jumawa.

Penulis: Ken Elsaning Savitri
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Lebih Enak Mengkritik Jakarta ketimbang Jogja yang Baperan dan Mudah Tersinggung karena Cinta Buta

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version