Dulu, awal-awal ada penerbangan murah, aku sering sekali ditanyai penumpang di sampingku, “Mas dapet harga berapa tiketnya?”
Waktu itu, penerbangan Jogja-Jakarta. Aku dapat harga 467 ribu. Aku jawab ke si Bapak, “Lima ratusan, Pak.” Dia langsung bilang, “Wah, mahal itu Mas!” “Bapak dapet harga berapa?” aku jadi balik nanya. Yang sebenernya sih males banget. Dengan semangat, Bapak itu bilang, “Saya dapet cuma empat ratus, Mas.”
Belum cukup, dia tunjukin bukti pembayaran tiketnya. Iya, empat ratus ribu. Tepatnya, empat ratus enam puluh tujuh ribu. “Wah, murah, Pak,” kataku bingung. Si Bapak tersenyum bahagia.
Suatu waktu, aku beli hape. Waktu aku beli, harganya 850.000. Lupa, seri apa, tapi zaman hape masih monophonic dan belum pakai OS. Besoknya, temanku beli hape yang sama di konter yang sama, harganya 845.000.
“Rugi kamu, belinya kecepetan. Coba nunggu sehari, kan dapet lebih murah!” kata temanku tadi. Aku bingung harus jawab apa.
Suatu hari, aku lagi nongkrong bengong di Dunkin Donuts di Denpasar. Datanglah seorang perempuan, yang langsung menghampiri temannya, perempuan juga, di sofa di sampingku. Si teman menyapa, “Ciyee abis beli hape neh? Beli apa?”, “Ini,” si perempuan nyodorin kotak hapenya.
“Kok kamu beli yang iPhone 4 sih? Ini kan produk gagal. Mending kamu beli yang 4s.”
O ya, dulu juga pernah, pergi ke Education Fair universitas-universitas Australia, waktu masih di Jogja, waktu masih SMA. Temanku bilang, “Ngapain kuliah di Australia? Mending langsung ke Inggris atau Amerika.”
Waktu aku menceritakan tentang pacarku ke temanku, waktu SMA, sambil nunjukkin fotonya, temanku komentar, “Kok item gendut gini sih?” Waktu cerita tentang pacar yang sesudah itu, dia komentar, “Ganteng sih, tapi kok mukanya kayak kegatelan gitu?”
Itu sekadar ilustrasi berdasarkan pengalamanku. Semuanya aku alami sendiri. Pertanyaan yang muncul di kepalaku, adalah, 1) Apakah kita secara otomatis berusaha menjatuhkan orang lain? 2) Apakah aku salah pilih teman?
Ini pertanyaan yang sangat besar bagiku. Apa iya, kita nggak bisa ikutan senang melihat orang lain senang, dan langsung menjatuhkan begitu saja? Kalau iya, tujuannya apa? Supaya dia tidak lebih senang dari kita? Supaya kita senang di atas ketidaksenangannya—akibat kita jatuhkan?
Hipotesaku sih begitu. Kita nggak bisa aja lihat orang lain happy. Selalu aja bisa dan berusaha menemukan celah untuk mencela dan menjatuhkan mereka, untuk menunjukkan bahwa kita lebih. Paling seru kalau memperhatikan ibu-ibu yang saling membanggakan anaknya.
Lucunya, “lebih” di sini nggak cuma yang di atas, tapi juga yang di bawah. “Duh, kerjaan lagi bikin pusing neh.”, “Yaelah gitu doang ngeluh. Gua yang lembur tiap hari aja kagak ngeluh.”
Waktu itu, jujur aja, aku sempat merasa putus asa. Ya mau gimana, apa pun yang aku lakukan, yang aku beli, yang aku capai, selalu dijatuhkan/disepelekan oleh teman-temanku. Belum sempat cerita hal yang bikin senang hari itu, sudah dibilang kemahalan, lah, mereknya nggak bagus, lah, produk gagal, lah, adaaaaa aja.
Belum sempat cerita hal yang bikin sesek hari itu, udah dibilang manja, lah, ga tangguh, lah, cemen, lah, bahkan diduluin cerita yang menurutnya lebih parah lagi. And so I did what I think the right thing to do. Teman-teman yang seperti itu, bukan teman yang aku perlu.
Ketika aku beli hape baru, misalnya. Yang komentar “Kok ASUS sih, belinya?” langsung aku kasih nilai minus. Yang komentar, “Ciye, hape barunya dielus-elus terus ciye…” langsung dapet nilai plus.
Ketika papa nggak ada, yang nanya, “Kok mendadak, meninggalnya?” atau, “Kok nggak kamu paksa aja papamu kemoterapi?” langsung aku nilai minus. Yang dapet nilai plus, yang datang dan langsung meluk, atau yang nanya, “How are you holding up? How is your mother holding up? Are you okay? If you need to talk, I’m here.”
Entah bagaimana menurut kalian. Kalau menurutku, dari pada menjatuhkan akan jauh lebih baik kalau kita membiarkan mereka menikmati kesenangannya. Let them enjoy their moment. Let’s not ruin it.
Barang yang dibeli kemahalan, kan udah dibeli. Semua sudah terjadi, sudah telanjur. Nggak perlu menyiksa mereka dengan penyesalan. Uang mereka sendiri ini. Pacar temanmu jelek? Ya sudah. Yang nanti berciuman juga mereka, kan? Kita nggak harus ikutan, kan? Kategori ganteng dan jelek kan sangat subyektif.
Kita mungkin nggak ngerasa kata-kata kita melukai mereka. Mungkin kita sendiri udah kebal, karena kita sudah biasa menyakiti dan disakiti. Karena kita sudah masokis. Padahal, kalau kita mau, waktu teman kita bercerita, kita cukup komentar, “O ya?” “Terus gimana?” “Ih, seru banget, ya?” “Aduh, jadi pengen ke sana deh.” Kalau belum bisa memberi komentar positif, mbok ya o, ga usah kasih komentar negatif. Komentar yang netral aja, dengan tulus hati.
Ingat, kan, kejadian beberapa waktu lalu yang anak kecil ngebunuh adik bayinya? Penyebabnya sederhana: komentar orang yang nggak bisa ikutan seneng. Ini termasuk mengatai orang dengan sebutan-sebutan yang merendahkan: cebongers, sumbu pendek, kaum bumi datar, kafir, cina, gendut, bego, dan seterusnya.
Yuk, kita mulai coba dari diri kita sendiri. Berhenti mengatai diri sendiri, “Duh, bego banget sih aku, gini aja ga bisa.” Karena itu awal dari “Bego banget sih kamu, gini aja ga bisa!” Yang nanti terus berantai ke orang lain.
Karena setahuku, yang biasa memainkan kata-kata untuk menjatuhkan, untuk membuat orang merasa tak berdaya, untuk melukai orang, menghasut, adalah…
Iblis.
BACA JUGA Lomba-lombaan Jadi yang Paling Menderita Pas Lagi Curhat Itu Maksudnya Apa Ya? atau tulisan Daniel Prasatyo lainnya. Follow Twitter Daniel Prasatyo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.