Baru–baru ini Arab Saudi telah menggelar sebuah festival bertajuk Jeddah Season 2019. Festival ini sebenarnya merupakan ajang promosi pariwisata. Pemerintah melalui festival ini berharap Arab Saudi tidak hanya dikenal sebagai tujuan wisata religi tetapi juga wisata alamnya yang menyimpan keindahan nan menawan.
Salah satu acara yang diadakan dalam festival ini adalah turnamen Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) Mobile yang diselengarakan oleh General Sports Authority (GSA) atau semacam badan pemerintah yang bertanggung jawab di bidang olahraga. Turnamen ini dilaksanakan di King Abdulllah Sport City di Jeddah, Arab Saudi. Adapun turnamen tersebut di gelar sejak 15 hingga 21 Juni kemarin.
Betul sekali, ini adalah sebuah game bergenre battle royale yang sempat menuai polemik di tanah air beberapa waktu lalu karena dianggap sebagai pemicu kekerasan, kebrutalan, menimbulkan perilaku agresif dan kecanduan dikalangan remaja serta menodai simbol agama. Tidak hanya berhenti sebagai sebuah polemik. Kini game tersebut berstatus ((haram)) berdasarkan keputusan dalam sidang paripurna ulama III tahun 2019 Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh di Banda Aceh, Rabu (19/06/2019).
Gayung bersambut dengan fatwa MPU Aceh, Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Langsa bahkan mengambil ancang-ancang akan memberlakukan uqubat (hukuman) cambuk bagi masyarakat yang kedapatan memainkan game tersebut.
Sedikit informasi nih, berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hanya mengatur 10 jenis pidana yang pelakunya dapat dihukum cambuk, yakni: khamar (minum-minuman), maisir (perjudian), khalwat (mesum), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina (pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (fitnah zina tanpa zaksi minimal empat orang), liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian)
Nah loh, sudah haram, dapat dosa, masih kena cambuk lagi. Aduh. Tapi di Arab kok malah menggelar kompetisi? Bukankah selama ini kita selalu menjadikan Arab sebagai rujukan. Kalau nggak kearab-araban katanya tidak afdol (lebih utama) beragama kita.
Sampai-sampai kita kini larut dalam euforia syariah. Mulai dari sektor perbankkan, hotel, perumahan, dan yang terbaru RSUD yang mengusung konsep syariah.
Padahal kalau kita mengikuti perkembangan, kebijakan/peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi tak seketat dulu. Misalnya peraturan yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil sendiri mulai 24 Juni 2018.
Pun dalam sektor pariwisata. Bukan rahasia lagi, Arab Saudi punya peraturan yang ketat bagi wanita. Wanita yang memakai pakaian terlalu seksi bisa ditahan. Namun kini, tampaknya peraturan tersebut pelan-pelan akan lebih ‘lunak’.
Terbukti awal Agustus 2018, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan baru. Wanita diizinkan berbikini di pantai.
Jika dipahami lebih lanjut, sebenarnya kebijakan tersebut mengekor apa yang telah dilakukan Dubai. Sama-sama bernotabe negara Timur Tengah, Dubai sudah lebih dulu membebaskan wanita berbikini di pantai. Lihatlah di Pantai Jumeirah, wanita dan turis dari berbagai negara bebas untuk berbikini dan berjemur.
Maka tak heran, Dubai kedatangan banyak turis. Pariwisata pun sudah menjadi devisa terbesar kedua setelah minyak bumi untuk Dubai. Malah soal wisata Dubai sudah ‘berlari kencang’, dengan menambah banyak atraksi dan memperkuat jaringan penerbangan Emirates-nya.
Nah, kalau Arab dan Dubai yang seringkali kita jadikan panutan (beragama) saja, kini kian moderat. Kenapa sekarang kita justru kian paranoid dengan perkembangan zaman.
Kita seharusnya melihat game dari sisi ekonomi. Dan saya yakin Arab Saudi pun demikian. Hingga menyelengarakan turnamen segala. Tidak lain untuk mendorong perkembangan industri game.
Solanya bermain game bukan lagi hanya sekadar hobi. Di balik itu tersimpan potensi ekonomi yang sangat menggiurkan. Hasil penelitian dari lembaga riset industri game global, Newzoo, menyebutkan bahwa pasar game Indonesia memiliki sekitar 43,7 juta gamer dan berpotensi menghasilkan penghasilan hingga US$880 juta (sekitar Rp11,9 triliun) untuk industri pada 2017 lalu. Potensi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-16 dalam daftar industri game terbesar di dunia.
Bukannya saya mendukung mereka yang bermain game hingga kecanduan (gaming disorder), bukan. Kecanduan game tentu termasuk hal yang tidak baik. Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) bahkan menetapkannya sebagai gangguan mental.
Maksud saya, mari kita menyikapi segala sesuatu dengan arif. Jangan grusa-grusu (terburu-buru). Saran saya, mendingan fatwa haram itu segera dicabut. Diganti saja dengan sertifikasi halal sekaligus labelisasi syariah pada game. Jadi bermain game serasa beribadah.