Dari tiga jalan paling populer menuju Jakarta dari Bekasi, hanya Bintara yang patut diwaspadai…
Kalau menuju Roma banyak jalannya, jalan menuju Jakarta dari Bekasi hanya ada beberapa. Bisa dihitung pakai jari, tapi yang paling populer ada tiga. Ketiga jalan itu adalah via Kalimalang, Bintara, dan Cakung. Ketiganya cukup populer karena memang terhitung sebagai jalan utama. Sementara jalur lainnya via Jatiwarna atau Pondokgede misalnya, itu seperti jalur sekunder saja.
Ketiga jalur populer tersebut ada peruntukannya atau ciri khasnya masing-masing. Misalnya, jalur Cakung biasa dilewati oleh truk-truk besar. Sementara jalur Bintara dan Kalimalang lebih banyak dilalui oleh kendaraan pribadi. Saya sendiri suka gonta-ganti jalur kalau pergi ke Jakarta dari Bekasi, tapi paling sering lewat Bintara. Soalnya jalur satu ini paling cepat meskipun paling horor.
Minim penerangan
Kalau lewat Bintara Bekasi, kita bisa langsung terhubung ke Pondok Kopi. Pokoknya, setelah melewati pasar Bintara, lalu berputar di Jembatan, nah, itu tanda bahwa kita sudah sampai di Jakarta. Jalan terusan ini namanya adalah Jalan I Gusti Ngurah Rai. Dimulai dari flyover di Jalan Sultan Agung, Kranji, sampai dengan masuk Jakarta itu jaraknya 3 kilometer.
Sebetulnya kalau dilalui ketika siang, jalan terusan ini nggak horor-horor amat. Di sebelah kiri ada banyak ruko atau gang masuk ke permukiman warga. Di sebelah kanan persis ada rel kereta. Jadi, memang jalan terusan ini mengikuti alur rel kereta dari Bekasi sampai Jakarta.
Sayangnya kalau malam penerangannya minim. Lampu jalan bisa dihitung pakai jari. Penerangan jalan sebatas mengandalkan lampu kendaraan serta sisa-sisa refleksi dari lampu di ruko-ruko yang ada di sekelilingnya. Sudah gitu, masih cukup banyak semak-semak dan pohon yang bikin kengerian itu jadi berlipat ganda.
Jalanan Bintara Bekasi nggak pernah bagus
Sama seperti urusan penerangan, kalau di siang hari, kita masih merasa aman saja. Semua rintangan yang berbentuk jalan berlubang mudah saja kita hindari. Kalau malam, sudah pasti makin ngeri. Penerangan minim, banyak lubang pula. Lewat jalan terusan ini mesti ekstra hati-hati.
Fyi, nggak cuma jalanan berlubang yang bakal kita hadapi di sini, melainkan struktur jalannya pun nggak rata. Dalam istilah otomotif, jalanan ini termasuk bumpy. Kalau kecepatan kendaraan kita agak tinggi, sudah pasti nggak akan nyaman berkendaranya. Seperti naik odong-odong karena motor dan badan akan terlempar-lempar.
Lewat Bintara Bekasi malam hari, sudah pasti perlu kewaspadaan yang tinggi. Pertama, waspada terhadap diri sendiri. Kita nggak pernah tahu ada bahaya apa di depan. Kalau alasannya begitu, sudah pasti kita mau ngebut agar cepat sampai. Nah, ini alasan kedua untuk lebih waspada, yaitu menghindari dari lubang-lubang yang nggak selalu kelihatan lokasinya.
Meski cuma 3 kilometer, jujur saja jalur ini membosankan
Untuk membayangkan, sesuaikan saja sebutan jalan ini dengan kenyataannya. Jalan terusan. Memang cuma jadi jalan terusan. Ibaratnya, kita lewat sini karena nggak ada pilihan lain. Selama ada di jalan terusan ini, saya pasti nggak kepikiran apa-apa selain harus segera keluar dari jalan ini.
Kalau lewat Cakung atau Kalimalang, memang akan lebih jauh karena memutar, tapi mereka nggak seperti jalan terusan. Minimal nggak membosankan. Kiri kanannya ramai. Lebih terang, jalannya lebih bagus, lebih banyak tempat yang bisa dikunjungi, dan bahkan ada mal.
Sudah gitu, entah kenapa di jalur Bintara Bekasi ini sering sekali dilakukan galian. Otomatis, jalur yang sedang digali dialihkan menjadi contraflow ke jalur sebelahnya. Sudah mah gelap, jalanan jelek, rebutan jalur pula. Kalau lagi begini, yang namanya kemacetan nggak bisa dihindari. Yang namanya sabar, jadi perlu ikutan ekstra.
Di luar itu semua, jujur saja, hubungan saya dan jalur Bintara Bekasi ini memang seperti love and hate relationship. Saya akan selalu lewat sini karena satu hal, lebih cepat. Perkara jalanan gelap dan berlubang, itu semua bisa disiasati. Cara yang paling buruk dan nggak saya rekomendasikan adalah menghafal letak lubang, bukan berkendara lebih hati-hati.
Penulis: Muhammad Fariz Akbar
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sisi Terang Bekasi yang Tak Disadari Banyak Orang, Saya Tulis biar Bekasi Nggak Dibully Terus.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















