Saat liburan semester kemarin, saya kaget melihat Karawang tiba-tiba jadi mirip tempat saya kuliah, Malang. Bukan, bukan tiba-tiba romantis dan bikin tiruan Malioboro macam Kayutangan, tapi karena banyak lembaga bimbel baru berdiri.
Tak bisa dimungkiri, pertumbuhan bimbel di seluruh Indonesia memang pesat. Iklan-iklan mereka seakan-akan menunjukkan hanya tempat merekalah yang sanggup memberikan pendidikan yang baik, yang lain, tidak. Alumni-alumni mereka yang berada di PTN favorit dipajang, seakan-akan jadi jaminan bahwa merekalah yang terbaik.
Tak heran jika orang tua rela merogoh kocek mereka lebih dalam, semata agar anak mereka jadi model pajangan selanjutnya.
Oh iya, target pasar bimbel sekarang tak lagi PTN. Sekolah kedinasan dan masuk TNI/Polri juga masuk. Agak bingung jujur saja, tapi nyatanya ada, ya mau gimana lagi.
Tapi, di balik menjamurnya lembaga bimbel di seluruh Indonesia, ada satu borok terbuka: kualitas pendidikan di sekolah jadi dipertanyakan, hingga siswa dan orang tua merasa itu tidak cukup.
Bimbel menjamur karena ada demand-nya
Kita tidak bisa memungkiri, bimbel menjamur karena demand-nya memang ada. Gara-gara ketakutan akan perasaan sekolah tidak cukup dalam memberi materi. Sehingga, orang tua dan anak memilih menambah jam belajar di luar sekolah.
Nyatanya, tutor di tempat les tak jarang lebih kompeten ketimbang guru di sekolah. Materi dan bahan ajarnya sangat bagus daripada kurikulum yang diajarkan. Tempat belajar yang nyaman dan peserta yang minim menjadi unggulannya.
Singkatnya, bimbel justru jadi tempat yang lebih ideal untuk belajar ketimbang sekolah.
Ironi ini adalah tamparan keras, sebuah cermin buram bagi wajah pendidikan nasional kita. Fenomena menjamurnya bimbel bukan hanya gejala. Tetapi sudah menjadi epidemi yang menggerogoti esensi sekolah formal. Sekolah, seharusnya menjadi fondasi utama tempat ilmu diajarkan dan karakter dibentuk, kini hanya menjadi formalitas.
Siswa datang, duduk, kadang mencatat. Tapi pemahaman mendalam justru dicari di luar jam pelajaran, di tempat-tempat les berbayar. Dan seringnya, malah lebih nyantol di bimbel ketimbang di sekolah
Mengapa ini terjadi? Jawaban yang paling pahit adalah ketidakmampuan sistem di sekolah dalam memenuhi tuntutan akademik yang kian tinggi. Terutama untuk tembus gerbang PTN atau instansi kedinasan.
Kurikulum yang terlalu padat, terus berubah setiap menteri berganti, dan rasio guru-murid yang tidak ideal sering kali membuat siswa kesulitan menyerap materi di kelas. Alhasil, orang tua yang realistis memilih jalur pintas berbayar. Supaya anak mendapatkan perlakuan lebih personal, materi yang lebih terfokus, dan trik-trik jitu menghadapi ujian. Dana ratusan ribu hingga jutaan rela dikeluarkan, menegaskan bahwa kepercayaan publik terhadap kualitas sekolah formal, terutama di tingkat SMA, telah menurun drastis.
Kesejahteraan guru
Namun, di balik kegagalan sistem sekolah, ada fakta lain yang menyayat hati, yaitu banyak guru yang justru menjadi “komponen” dari menjamurnya bimbel tersebut. Tidak sedikit guru sekolah harus mencari tambahan penghasilan dengan mengajar atau membuka les di luar jam ngajar. Mengapa? Jawabannya jelas: kesejahteraan yang jauh dari kata layak.
Tugas seorang guru sungguh mulia dan berat. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi juga pendidik, pembentuk karakter, sekaligus ujung tombak pencerdasan anak bangsa. Mereka dibebani tanggung jawab moral dan akademik yang luar biasa. Tapi sayangnya, gaji dan apresiasi yang diterima sering kali jauh dari kata layak.
Belum lagi dengan orang tua yang tidak terima jika anak kesayangannya dihukum. Kalian cari tahu beritanya sendiri saja. Banyak, dan berlipat ganda.
Bayangkan, seorang guru dengan tugas seberat itu, harus pulang ke rumah dan melihat keluarganya hidup dalam keterbatasan ekonomi karena gaji yang tidak sebanding dengan dedikasinya. Kondisi ini memaksa mereka untuk “bermain dua kaki”, mengajar di sekolah untuk memenuhi kewajiban, dan mengajar di bimbel untuk memenuhi kebutuhan dapur.
Ironisnya, di tempat les itulah mereka dibayar jauh lebih tinggi, menegaskan adanya distorsi nilai profesi.
Nyalakan tanda bahaya
Untuk Menteri Pendidikan, fenomena bimbel ini adalah lonceng tanda bahaya. Bukan hanya untuk SMA, tapi juga untuk SMP, bahkan SD yang kini juga mulai terjangkit les baca-tulis, hitung, dan mata pelajaran wajib. Jangan hanya fokus pada pergantian kurikulum yang silih berganti dan program flagship yang terkesan hanya di permukaan. Selesaikanlah masalah yang paling mendasar: kualitas dan kesejahteraan guru.
Tingkatkan gaji pokok, hingga mencapai standar hidup layak sehingga mereka tidak perlu lagi terpaksa mencari penghasilan tambahan di tempat bimbel. Guru yang tenang secara finansial akan menjadi guru yang fokus, berdedikasi, dan mampu berinovasi di dalam kelas. Jangan biarkan guru yang mencerdaskan anak bangsa justru harus berjuang agar keluarga di rumah tidak kelaparan.
Berikan pelatihan yang relevan dan berkelanjutan, bukan sekadar memenuhi administrasi. Dan yang lebih penting, berikan penghargaan yang tulus. Jika tutor bimbel dinilai lebih kompeten karena materi yang fokus, harus ada evaluasi total terhadap kurikulum dan kemampuan guru di sekolah.
Ini mungkin terlalu melebar, tapi jangan lupa terapkan kembali tinggal kelas dan jangan paksakan anak yang tidak mencapai kelulusan untuk naik kelas.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, impian Indonesia melahirkan generasi emas akan menjadi wacana dan angan-angan saja.
Penulis: Alban Hogantara
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Guru Bimbel, Profesi Paling Pengertian di Dunia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.















