Saya sangat berduka dengan apa yang terjadi dengan Pak Wiranto. Seorang pejabat negara tertikam oleh rakyatnya sendiri. Terlepas dari afiliasi pelaku, sungguh ini hal mengerikan yang patut dijadikan “kode merah” dalam bidang keamanan pejabat aktif yang sedang bertugas.
Saya pun sedikit tercengang, ketika ada beberapa pihak yang begitu mencintai Pak Wir sampai bersusah payah untuk nge-troll, membully dan menghimbau netizen untuk mengumpulkan skrinsyut akun-akun yang terkesan bergembira atas tragedi yang menimpa beliau.
Mereka begitu berempati sekaligus bersemangat agar akun-akun tersebut bisa diproses secara hukum. Mereka menganggap akun-akun tersebut adalah bajingan yang tidak punya rasa kemanusiaan. Yang berani menghina dan melecehkan seorang pejabat negara serta melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh tragedi ini hanyalah settingan belaka.
Mereka membenci akun-akun tersebut karena terkesan bergembira di atas luka orang lain. Jahat sekali akun-akun tersebut bagi mereka. Mungkin sama jahatnya dengan orang-orang yang tertawa saat ada puluhan Ibu yang terluka dan mahasiswa yang tertembak saat aksi demonstrasi. Juga sama nirempatinya dengan mereka yang membully korban asap, gempa dan jembatan runtuh sebagai azab dari yang maha kuasa.
Perlu diketahui bahwa delik penghinaan terhadap penguasa atau pejabat negara diatur dalam pasal 207, 316, 319 KUHP. Sedangkan delik pencemaran nama baik diantaranya diatur dalam pasal 310, 311, dan 315 KUHP serta dalam UUITE pasal 27 ayat (3), pasal 36, pasal 45 dan pasal 51 ayat (2).
Namun Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, merubah rumusan delik Pasal 207 dari delik biasa menjadi delik aduan. MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar PENGADUAN DARI PENGUASA. Jadi, apabila pemerintah yang dihina tersebut tidak mengadukan kasus penghinaan ini maka pelaku tidak dapat dipidana
Pasal 316 KUHP mengatur ancaman pidana penghinaan kepada seorang pejabat. Sedangkan Pasal 319 KUHP berbunyi “Penghinaan yang diancam dengan pidana tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316.” Tetapi putusan MK di atas mematahkan semua. Harus ada pengaduan dari pihak yang merasa dihina atau dicemarkan nama baiknya jika tuntutan ingin diberlakukan. Bukan berdasarkan tafsir dan pengaduan dari masyarakat atau orang lain di luar korban.
Mengenai kasus pencemaran nama baik, saya kutipkan di sini:
Pencemaran nama baik diatur di dalam undang undang, yaitu Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2).
Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Lagi-lagi ini merupakan delik aduan. Jika Pak Wiranto merasa nama baiknya tercoreng karena opini dari akun-akun yang menuduh tragedi yang menimpanya hanyalah drama dan settingan untuk bla, bla, bla. Maka Pak Wiranto sendirilah yang harus melaporkan akun-akun tersebut ke pihak yang berwajib. Bukan netizen yang menjadi lawan dari akun tersebut, atau kata kite, atau sewort atau makhluk (le)lembut lain yang turut memantau pertikaian.
Pasal 311 KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Nah, kalau yang ini berlaku untuk akun-akun yang menuduh tragedi Pak Wiranto settingan. Kelean yang membuat postingan harus mampu membuktikan tuduhan kalian jika tidak ingin dianggap memfitnah dan terkena hukuman pidana.
Dan Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jadi ya menurut saya, kelean yang curiga kalau tragedi ini settingan tapi belum punya bukti kuat dan saksi mata di lapangan ya mending kecurigaannya disimpan dalam hati saja. Atau didiskusikan di grup tertutup. Jangan diumbar-umbar dulu di wall media sosial.
Nanti kalo Pak Wiranto siuman terus baca opini-opini kalian bagaimana? Kalian gak takut apah kalau tokoh legendaris sepanjang masa kesayangan mahasiswa ini baper lihat tulisan kalian? Sekali beliau iseng ngelaporin bisa-bisa tiarap semua.
Ya, iya. Cukup dan harus Pak Wiranto yang bikin laporan. Bukan yang mengekor kepadanya. Terlebih yang suka ngancam-ngancam dan mention-mentionan bareskrim dan divisi humas ituh di postingan dan kolom komentar. Seolah merasa bahwa merekalah pihak yang paling benar, adil dan bijaksana dalam menilai dan berkomentar.
BACA JUGA Pak Wiranto, Semoga Lekas Sembuh! atau tulisan Aisha Rara lainnya. Follow Facebook Aisha Rara.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.