Kalau suatu saat ada yang menyajikan nasi uduk buat saya, komponen pertama yang saya cari di timbunan nasi gurih berpuncak bawang itu pasti bihun gorengnya. Seporsi nasi uduk boleh saja terlihat mewah jika ditambahkan ayam goreng seperempat bagian, atau ditambahkan potongan daging empal berserundeng. Namun, tetap saja, bagi saya semua itu nggak ada artinya tanpa kehadiran sang bihun.
Bihun goreng itu nggak bisa dihilangkan begitu saja dalam hidangan nasi uduk. Ia udah jadi bestie nasi uduk yang sehidup semati. Lauk lain boleh berganti. Ayam diganti jengkol, daging empal diganti paru, telur dadar diganti telur rebus balado, orek tempe diganti kering tempe, atau sambal merah diganti sambal kacang. Akan tetapi, bihun selalu ada, selalu tersedia. Ia konsisten dengan penampakannya: digoreng pakai kecap.
Bihun itu sendiri berbahan dasar tepung beras. Artinya kalau dibandingkan dengan nasi uduk, mereka tergabung dalam kelompok sama yang dimusuhi orang diet sedunia, yaitu karbohidrat. Sebagai warga +62 harusnya fenomena “karbo ketemu karbo” ini nggak aneh-aneh amat. Lha kita kan biasa makan Indomie pakai nasi, bukan?
Kalau diperhatikan, sebenarnya bihun goreng di nasi uduk ini justru biasanya dibuat dengan bumbu “sekadarnya”. Sekadar asin, sekadar manis. Kadang, rasa merica yang malah mendominasi. Tapi buat saya, rasa yang “seadanya” itu yang bikin nagih. Pas aja gitu, nggak berlebihan diekspos seperti pernikahan artis disiarin live (nggak penting banget, sumpah). Bisa jadi, sang bihun memang di-treatment seperti itu supaya nggak terlihat lebih outstanding dari “artis”-nya, nasi uduk. Makanya, bihun goreng di nasi uduk ini juga tampilannya minimalis banget. Tapi paling nggak, ada potongan kol sedikit-sedikit buat kres-kres-nya. Kadang, ada juga sawi hijau atau wortel berbaur di sana. Tapi kalau ngarep ada potongan bakso, ayam, udang rebus, perintilan telur, atau jamur kuping di sana ya jangan nyari bihun goreng di tukang nasi uduk, ya. Terlalu halu itu!
Selama ini saya selalu merasa bahwa bihun sebagai “warga kelas dua”, kalah ngetop sama mi goreng. Sederhana saja, dalam hierarki menu baik berupa tulisan atau lisan sang sbang penjual, umumnya yang ditawarkan adalah, “Mau makan apa? Nasi goreng? Mie goreng? (baru kemudian) Bihun goreng?” (kecuali di restoran khas seperti “bihun bebek”, tentu saja). Tingkatannya selalu kalah saingan dengan saudaranya, mi goreng.
Namun, dalam seporsi nasi uduk, bihun goreng justru lebih diingat daripada mi goreng. Walaupun, yah, kadang porsi si bihun ini juga cuma se-encrit. Tapi bisa dibilang, posisinya itu eksklusif. Bihun goreng nggak akan bisa digantikan oleh mi goreng, atau “saudara kembarnya”, soun. Buat saya, rasanya jadi nggak cocok. Nasi uduk, ya “jodohnya” sama bihun, lah. No debat.
Saya kadang suka berpikir begini. Nasi uduk itu kan makanan khas Betawi ya, sementara bihun goreng bisa dibilang identik dengan chinese food. Jadi sebenarnya seporsi nasi uduk dengan bihun di dalamnya itu “mengajari” betapa perlunya hidup rukun antar suku, karena kita saling memerlukan satu sama lain. Nasi uduk perlu bihun untuk diakui sebagai “seporsi nasi uduk lengkap istimewa”. Sementara bihun goreng memerlukan nasi uduk untuk meningkatkan derajatnya di hadapan mi goreng.
Sedangkan buat saya yang tinggal makan, bihun goreng di nasi uduk itu adalah bentuk “manifestasi” karbo ketemu karbo yang nggak kaleng-kaleng!
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Audian Laili