Biarkan Perempuan Berjilbab seperti Saya Bebas Berekspresi dan Menjadi Diri Sendiri

Biarkan perempuan berjilbab bebas berekspresi dan jadi diri sendiriterminal mojok

“Mending nggak usah pakai jilbab aja, Mbak, kalau berjilbab cuma gaya-gayaan!” Kira-kira begitulah komentar yang saya dapatkan dari seorang pria, tepat setelah teman saya menggunggah video saya di status WhatsApp miliknya. Dalam video tersebut, saya sedang menikmati musik sambil berjoget dan tentu saja gerakan tubuh saya belum bisa menandingi jogetan Papi Chulo di TikTok.

Mengapa saya harus melepas jilbab padahal saya cuma joget-joget santai? Alhasil saya jadi overthinking, kan. Saya membayangkan apabila tuntutan semacam itu dilakukan oleh banyak orang, secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa berjilbab artinya kita harus bersedia mengikuti standar “kemuliaan” agar kelak menjadi penghuni surga.

Contoh lain yang menurut saya cukup relevan dengan kasus saya, yaitu fenomena hijrah yang saya ketahui seperti perempuan yang awalnya tidak berjilbab lantas mengenakan jilbab. Atau yang telah berjilbab menjadi menggunakan jilbab yang lebih lebar dari sebelumnya, ringkasnya jauh lebih tertutup dari segi penampilan. Biasanya ruang ekpresi yang mereka miliki kurang atau bahkan tidak ada sama sekali dalam hal tertentu. Salah satu di antaranya yang masih saya ingat, ada komentar: tidak seharusnya perempuan berjilbab lebar atau bercadar mengunggah foto selfienya di media sosial dengan alasan “khawatir menjadi fitnah” dan bisa berujung pada dosa.

Selain itu, saya pernah sedikit berdiskusi dengan seorang teman perihal konten di YouTube, di mana ada pasangan suami istri sedang memberi tahu gaya bercinta dan kebetulan si istri mengenakan jilbab yang cukup lebar. Bagi teman saya, konten tersebut tergolong cringe karena ukuran jilbab yang digunakan oleh perempuan tersebut.

Dugaan saya, orang yang berpikiran sama seperti teman saya ini tidak satu atau dua orang saja, mungkin banyak. Padahal siapa pun boleh membahas urusan seks terlepas dari bagaimana pakaian yang ia kenakan.

Kemudian, setahu saya konteks berjilbab di Indonesia itu sebagai bentuk kemerdekaan bagi perempuan muslim. Apalagi sempat terjadi pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah pada masa orde baru yang tentu saja menuai kontroversi.

Jadi. bisa dibilang berjilbab saat ini adalah sebuah privilege. Apa salahnya jika memanfaatkan keistimewaan tersebut? Bukankah seharusnya dengan berjilbab, hak ekpresi yang perempuan miliki tetaplah sama selayaknya perempuan pada umumnya?

Namun, mungkin menjadi perempuan muslimah yang berjilbab memang rawan akan tudingan, peringatan, dan bahkan mendapatkan penghakiman. Helaian rambut terlihat dibilang berjilbabnya belum benar, pakai cadar dibilang kayak ninja, berjilbab tapi tidak menutupi dada disamakan dengan orang berpakaian tapi telanjang. Apalagi kalau sampai melepas jilbab sama sekali, mungkin mendapatkan seluruh sumpah serapah yang pernah ada di muka bumi ini. Padahal setahu saya, aturan berjilbab itu sendiri masih sering diperdebatkan, khususnya tentang sebatas mana perempuan dewasa menutup auratnya.

Bukan hanya dikomentari bagaimana seharusnya ia menggunakan jilbab, tak jarang perempuan berjilbab dianggap sebagai orang yang saleh. Padahal belum tentu begitu dan tidak menutup kemungkinan ketika ia melakukan kekeliruan, jilbab bisa menjadi faktor sebesar apa sanksi sosial yang ia dapatkan. Dalam artian, mungkin cemoohan yang ia terima akan jauh lebih besar dari pada perempuan yang tidak berjilbab.

Seperti halnya kabar yang beberapa saat lalu menggemparkan seantero Indonesia, yaitu berita perselingkuhan yang dilakukan oleh personel dari grup musik Islami, Sabyan Gambus. Bisa kita lihat bagaimana reaksi masyarakat Indonesia melalui media sosial terhadap skandal tersebut.

Tanpa disadari banyak orang telah menghakimi si perempuan dengan berlebihan, bahkan bisa saya katakan itu sudah merupakan bentuk eksploitasi perempuan. Walaupun pihak laki-laki tetap disalahkan, namun tetaplah porsinya masih jauh lebih baik.

Padahal kalau kita mau berpikir ulang mengenai kasus tersebut, mungkin kita akan bersikap biasa-biasa saja karena perselingkuhan bukanlah hal baru. Main serong dari pasangan sudah eksis sejak dulu sekali, cuma sayangnya tidak ada yang mendokumentasikan dan menyebarluaskan, apalagi mau “digoreng” cantik di sosial media. Mana bisa. Tapi lagi-lagi, kekeliruan yang dilakukan oleh perempuan berjilbab akan tampak lebih menjijikkan dan mengenaskan di mata masyarakat kita.

Terlepas dari tudingan-tudingan tersebut, bagi saya menjadi perempuan itu repotnya bukan main. Ini harus ditambahi persoalan kesesuaian perilaku dengan cara berpakaian, makin ruwet. Padahal cara berpakaian itu kadang tercipta karena banyak faktor, salah satunya adalah kebiasaan, sama seperti yang saya lakukan saat ini.

Saya sudah berjilbab sejak kelas 6 SD dan itu pun karena disuruh oleh ayah saya, khususnya ketika berpergian. Kemudian selama sekolah menengah pertama dan atas, saya memilih institusi yang dinaungi Kementerian Agama, jadilah saya semakin terbiasa mengenakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi, perdebatan bagaimana seharusnya perempuan berjilbab berperilaku itu sungguh menyebalkan.

Lagi pula, bagi saya pakaian adalah bagian dari budaya yang modenya bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebagai contoh jilbab syar’i yang kita kenal saat ini, yang oleh kelompok tertentu distandarisasikan dengan bentuk jilbab berukuran lebar hingga menutupi hampir seluruh badan bagian atas. Lantas, apakah pemahaman terhadap bentuk jilbab syar’i akan terus bertahan seperti itu? Belum tentu, bisa jadi mode atau standarnya berubah di kemudian hari.

Lalu jika masih ingat, dulu di zaman penjajahan sempat berkembang anggapan bahwa berpakaian seperti orang Eropa adalah haram hukumnya dan dianggap kafir. Bagaimana model pakaian kita saat ini? Ya kita sama-sama tahu.

Bayangkan, pada masanya, cuma meniru gaya berpakaian bisa dianggap kafir, lho. Sementara saya malah disuruh lepas jilbab. Apa iya goyangan tersebut membuat saya menjadi kafir? Kan tidak juga. Atau sebuah goyangan yang biasa-biasa saja itu membuatmu gregetan sehingga mampu meruntuhkan imanmu, Mas? Mungkin saja.

Lebih dari itu, menurut saya tidak ada standar yang mutlak terhadap bagaimana seharusnya perempuan berperilaku baik berjilbab ataupun tidak. Tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa dalam lingkungan masyarakat terdapat ideal moral yang dijadikan sebagai acuan, baik yang bersumber dari dalil-dalil maupun dari nilai dan norma yang berlaku. Kendati demikian, acuan tersebut seharusnya bisa dipahami dengan lebih luwes lagi.

Saya pikir ada baiknya untuk mengatur ulang pola pikir mengenai hubungan cara berpakaian dengan tingkah laku manusia, karena bagi saya pakaian hanyalah faktor kecil dari banyak faktor untuk kita bisa menilai seseorang itu seperti apa. Sekalipun terjadi ketidaksesuaian dengan ideal moral yang berlaku selama ini, tidak perlu berlebihan juga dan sikapilah dengan penuh kebijaksanaan.

Jadi, biarkan saya yang berjilbab ini tetap bebas berekspresi dan menjadi diri saya sendiri. Jika pun perlakuan saya berujung dosa tentu itu menjadi urusan Tuhan.

BACA JUGA Tipe-tipe Pemakai Jilbab yang Harus Kita Ketahui biar Nggak Gampang Menghujat.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version