Kota Batu, tak bisa dipisahkan dari hidup saya. Di kota kecil ini saya sudah bisa mendapatkan segalanya. Saya sudah bisa mendapatkan kehidupan yang tenang, tempat tinggal yang nyaman, hingga pendidikan yang layak. Saya juga sudah bisa mendapatkan segala hal terkait hiburan-hiburan penunjang. Ada mall dan bioskop di sini, banyak kedai kopi yang bisa digunakan untuk nongkrong, juga ruang-ruang terbuka yang bisa digunakan untuk apa saja.
Tapi dari semua yang sudah saya dapatkan di kota kecil ini, ada satu hal yang mungkin masih alpa di kota kecil ini. Satu hal yang mungkin tidak terlalu penting bagi orang lain, tapi sangat penting bagi saya. Satu hal yang jika ada, pastinya akan menambah daya tarik sekaligus penguat identitas kota kecil ini. Hal itu adalah kuliner, dan tidak hanya kuliner, tapi kuliner yang khas dan autentik. Dan itu masih susah ditemui di kota kecil ini, Kota Batu.
Kota Batu, kota tanpa kuliner khas
Kalau disandingkan, Kota Batu pantas bersanding dengan Bali atau Jogja, apalagi untuk urusan destinasi wisata. Batu, Bali, dan Jogja sudah tenar dengan destinasi wisata yang seperti tidak ada habisnya. Bahkan Batu sendiri punya julukan, yaitu Kota Wisata. Tapi soal kuliner, Batu belum bisa bersanding dengan Bali yang punya Babi Guling dan Ayam Betutu, atau Jogja dengan Gudeg.
Iya, Batu tidak punya kuliner yang khas dan autentik. Batu tidak punya kuliner yang jika namanya disebutkan, maka kita tahu dari mana kuliner tersebut berasal. Beberapa orang menyebut bakso, tapi itu sebenarnya lebih pas untuk Kota Malang. Ada orang menyebut ketan susu, tapi sejarah mengatakan bahwa ketan susu lebih dulu populer di daerah Bandung dan Jakarta. Ada juga yang menyebut rujak cingur, tapi Surabaya lebih berhak atas klaim itu.
Situasi ini agak membuat saya merasa iri dengan orang Bali atau dengan orang Jogja. Orang Bali atau orang Jogja bisa dengan mudah merekomendasikan kuliner khas dan autentik daerahnya kepada orang lain. Sementara itu, saya akan kebingungan jika ditanya tentang kuliner khas, atau ketika ada orang yang minta diajak untuk makan kuliner khas dari Kota Batu. Saya tidak tahu apa kuliner khas di Kota Batu. Akhirnya, semuanya berakhir dengan lalapan di pinggir jalan, di mana semua daerah juga ada.
Coba cari kalau ada
Mungkin kalian ada yang tidak percaya bahwa Kota Batu tidak punya kuliner yang khas dan autentik. Sekarang, coba kalian google dengan kata kunci “kuliner/makanan khas Kota Batu”. Hasil pencarian yang keluar malah tempat/warung makan yang sudah punya nama, beberapa ada yang legendaris. Warung bakso, warung nasi, atau bahkan warung mi. Tidak ada hasil yang mengatakan bahwa ada makanan yang benar-benar khas dan autentik dari kota ini.
Sebenarnya ada kuliner yang bisa dibilang khas dari Kota Batu, yaitu minuman sari apel dan keripik apel. Mengingat apel adalah salah satu komoditas utama kota ini. Tapi, sari apel dan keripik apel itu hanya semacam oleh-oleh khas saja, yang hanya bisa kita temui di tempat wisata atau sentra oleh-oleh. Sari apel dan keripik apel itu tidak mengakar, tidak dikonsumsi sehari-hari oleh warga Kota Batu (sebagaimana gudeg di Jogja), dan tidak serta merta menjadi identitas yang kuat bagi Kota Batu.
Ada juga roti goreng suketan, roti goreng yang cukup legendaris dan menjadi favorit di kota ini. Suketan ini sudah puluhan tahun memproduksi kudapan semacam roti goreng, cakwe, dan kue moho. Suketan dengan roti gorengnya memang legendaris dan cukup khas, tapi apakah roti goreng itu sendiri autentik dengan Kota Batu? Jelas tidak. Di Bandung, roti goreng dikenal sebagai odading. Di Jakarta, mereka menyebutnya dengan roti bantal.
Bagaimana dengan nasi empog?
Kuliner yang mungkin mendekati khas dan autentik di Kota Batu adalah nasi empog (nasi jagung). Nasi empok ini jadi salah satu kuliner yang selain populer, juga cukup mengakar. Hampir seluruh lapisan masyarakat di Kota Batu makan nasi empog. Bahkan ada satu warung makan yang cukup terkenal dengan nasi empognya, yaitu warung makan Wakini.
Tapi ya susah juga menyebut bahwa nasi empog itu khas dan autentik dari kota ini. Sebab warga Surabaya atau warga Madura bisa saja mengklaim bahwa nasi empog itu lebih autentik dan khas bagi daerah mereka. Tidak apa-apa juga, namanya juga persebaran khazanah kuliner, pasti ada beberapa daerah yang punya kuliner serupa.
Pada akhirnya, saya sebagai warga Kota Batu memang harus ditakdirkan tidak mempunyai kuliner yang khas dan autentik. Tidak apa-apa juga kalau itu memang takdirnya. Lha wong kota ini masih muda, masih belum genap berusia 23 tahun. Bahkan usia saya saja lebih tua. Jadi ya sudah, masih ada waktu bagi kota ini untuk menemukan (atau mungkin menciptakan) kuliner yang khas dan autentik.
Masih banyak waktu juga bagi saya untuk mencari kuliner apa yang khas dan autentik untuk kota yang saya cintai ini. Seperti halnya masih banyak waktu bagi saya untuk mencari orang yang mau mencintai saya. Eh, kok jadi curhat masalah pribadi, sih?
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sebenarnya, Kota Batu Ini Mau Jadi Kota Seperti Apa, Sih?