Betapa Absurdnya Saat Pemilihan Kepala Desa, Abang Ipar dan Oposisinya Sama-sama ‘Pesan’ Visi-Misi pada Saya

Betapa Absurdnya Saat Pemilihan Kepala Desa, Abang Ipar dan Oposisinya Sama-sama 'Pesan' Visi-Misi pada Saya terminal mojok.co

Betapa Absurdnya Saat Pemilihan Kepala Desa, Abang Ipar dan Oposisinya Sama-sama 'Pesan' Visi-Misi pada Saya terminal mojok.co

Ketika berencana menulis tentang kisah cinta saya yang unyu-unyu dan menggemaskan, saya jadi berpikir berulang kali. Tentu saya tidak mau ambil risiko dengan nyama-nyamain apa yang sedang terjadi pada salah satu Raja Cabe yang sedang bucin-bucinnya. Demi tidak terjebak drama tulisan asmara, saya ingin menuliskan pengalaman pribadi yang cukup berkesan, tapi nggathelinya tidak bisa saya nalar. Bahkan sampai saat saya menulis ini, hal itu baru terjadi malam sebelumnya: adalah soal pemilihan kepala desa di kampung saya.

Jadi begini, ini berbicara mengenai persoalan pemilihan kepala desa. Di kampung saya yang saat ini lumayan maju itu, pemilihan kepala desa mulai menjadi hal yang elitis dan formil. Itu paling tidak terjadi sekitar 5 atau 6 tahun lalu setelah pemilihan kepala desa mulai memasuki era baru, dengan metode pemilu, orang-orang mulai bisa berdemokrasi ala-ala.

Bukan apa-apa, pada tahun-tahun dulu, pemilihan kepala desa di kampung saya demokrasinya lebih mirip pemilihan ketua kelas atau RT. Mas Shiro yang jadi panutan terminator Jogja itu pernah bercerita melalui tulisan kerennya tentang demokrasi yang terjadi pada pemilihan ketua kelas itu dalam artikelnya “Jika Kamu Ketua Kelas 3, Bersiaplah Menjadi Ketua Selamanya”. Pun ada teman saya yang seorang anak ketua RT bercerita hal yang sama. Bahwa untuk dua periode berturut-turut, ayah blio menjadi ketua RT melalui proses aklamasi. Bukan karena kepercayaan tinggi kepada ayah teman saya tadi. Lebih karena pekerjaan RT yang lebih mirip romusha zaman jepang itu. Kerjaannya super duper banyak, dibayar kaga.

Kembali ke pemilihan kepala desa yang terjadi di desa saya pada 5 atau 6 tahun ke belakang, saya yang dianggap tahu segala hal, dari yang remeh-temeh sampai isi kepala presiden ini mendapat karpet merah membuatkan visi-misi untuk abang ipar saya yang kebetulan didukung banyak orang untuk ikut pemilihan kepala desa. Setelah panjang lebar saya menerangkan fungsi, tanggung jawab, pekerjaan, hak, kewajiban, dan segala tetek bengek tentang kepala desa kepada blio demi bisa merancang sendiri visi dan misi menyambut pemilihan tersebut, ujung-ujungnya tetap saya juga yang bikin.

Memang nggatheli sekali. Buat apa juga saya berbusa-busa dengan ngomong ngalor-ngidul bercerita bahkan sampai visi mantan Presiden Obama, jika pada akhirnya saya juga yang bikin itu visi misi untuk blio? Cen ramashook blas.

Entah bagaimana semesta berputar dalam sebuah makrokosmos yang lebih sedikit bisa manusia pahami, akhirnya abang ipar saya yang mencalonkan kepala desa itu terpilih menjadi kepala desa mengalahkan pesaingnya yang juga punya peluang sama bahkan mungkin lebih besar dari abang ipar saya. Segala hal setelahnya berlanjut sebagaimana kehidupan desa dan pemerintahannya pada umumnya. Sampai blio yang sedikit banyak jadi punya banyak pengalaman memimpin desa itu akhirnya harus menyerahkan kekuasaan yang diperolehnya melalui demokrasi itu beberapa bulan lalu demi diadakannya pemilihan kembali.

Masuklah kita pada bagian inti nggathelinya. Abang ipar saya yang sudah punya segudang pengalaman menjadi kepala desa itu akhirnya harus berurusan dengan kebimbangannya untuk mencalonkan kembali menjadi kepala desa. Dukungan penuh dari hampir semua warga kampung menjelma kantong-kantong partisan yang loyalnya mampu mengalahkan loyalis Prabowo-Sandi, pun Jokowi-Ma’ruf pada pemilu presiden beberapa waktu silam.

Saya sebenarnya mau-mau saja jika blio punya keinginan untuk mencalonkan lagi. Perkaranya, tentu saja saya akan ada atau bahkan dianggap sebagai bagian dari tim pemenangan. Dan bukan rahasia umum lagi jika visi-misi yang saya buatkan beberapa tahun silam menjadi satu dari sekian kunci sukses blio memimpin desa setelahnya.

Saya yang dianggap membawa angin segar serta menjadi dewa keberuntungan itu akhirnya mendapat batunya. Teman saya yang dulu berjuang bersama demi kebaikan desa semasa kuliah, menelpon saya meminta kesediaan membuatkan visi-misi untuk digunakan sebagai senjata pamungkas pemilihan kepala desa yang sama dengan yang (akan) diikuti oleh abang ipar saya. Dan itu menjadi momen absurd.

Di satu sisi, sejak awal saya sudah meminta kepada abang ipar saya agar jika nanti punya keinginan mencalonkan kepala desa lagi, saya tidak usah masuk lagi dalam list “perumus visi-misi” blio. Agar blio dan orang-orang yang mendukungnya ikut pemilihan kepala desa bisa sama-sama memikirkan hal tersebut. Di lain sisi, teman saya, yang dalam dunia politik bisa disebut berada di pihak oposisi meminta saya merancangkan visi-misi.

Saya jadi berpikir aneh-aneh. Pilihan pertama, jika saya membuatkan visi-misi untuk abang ipar saya, saya secara otomatis tidak (mau) membuatkan visi-misi untuk teman saya demi kondusifitas dunia perpolitikan desa. Lantaran visi-misi saya dan si teman ini yang banyak orang menganggap lebih masuk akal dari apa yang pernah dirasakan masyarakat kampung ketika abang ipar saya menjadi kepala desa.

Pilihan kedua, saya membuatkan visi-misi untuk teman saya, sekaligus sebagai deklarasi dukungan kepada teman saya. Dan itu tentu saja akan dianggap sebagai pernyataan bahwa saya tidak lagi berada di pihak keluarga besar. Pun akan jadi musuh bebuyutan dari pendukung fanatik abang ipar saya.

Pilihan ketiga, saya tidak perlu memberi satu dari keduanya visi-misi “pesanan” mereka dan berharap itu tidak diketahui. Saya akan bersikap bodo amat saja. Tentu tetap dengan risiko lainnya, saya akan dianggap sebagai manusia paling apatis terhadap perkembangan perpolitikan desa. Dan itu semakin menjadi masalah.

Pilihan keempat, tentu saja saya akan membuatkan mereka berdua visi-misi sesuai dengan keinginan masing-masing. Dan ini seakan saya ada di atas awan. Ini sekaligus sebagai perlambangan bahwa saya adalah entitas yang dibutuhkan masyarakat desa secara total. Tidak hanya namanya saja yang dikenal seluruh warga kampung, lebih dari itu. Lantaran pemikiran-pemikiran saya yang sudah sejak lama saya perkenalkan kepada orang-orang, malah baru sekarang bisa dinalar dan menjadi karya atau hasil kerja. Dan itu hal lain yang lebih kompleks lagi.

Pada akhirnya, sampai saya menulis artikel ini, saya masih diselimuti kebimbangan menentukan jalan mana yang harus saya tempuh. Sungguh satu dari sekian hal absurd yang terjadi di kampung saya.

BACA JUGA Jika Kamu Ketua Kelas 3 SMA, Bersiaplah Menjadi Ketua Selamanya dan tulisan Taufik lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version