Namanya Hilda, teman saya ini diberkahi kemampuan supranatural yang lebih sering disebut anak indigo. Saya tidak tahu bagaimana tingkatan untuk anak indigo, tapi saya rasa dia sudah mirip dukun.
Saya mengenalnya pertama kali saat mengikuti tes TOEFL untuk syarat administrasi masuk universitas. Dia duduk tepat di samping saya dan kebetulan kami sejurusan, mulailah kami berkenalan. Pertemuan pertama saya tidak berjalan begitu baik. Ya gimana, saya begitu jengkel dengan nada bicaranya yang lo-gue sedangkan ia berasal dari Nganjuk. “Astaghfirullah, wong Nganjuk ae kok lo-gue,” batin saya, diam dan memaksa tersenyum.
Saya pikir kami tidak akan pernah cocok, saya sudah geram kalau ingat medok lo-gue nya. Tetapi ternyata kita dipertemukan kembali di kelompok ospek fakultas. Dari situ saya dan Hilda sering ngobrol dan begitu sangat beruntungnya saya, logat nya sudah kembali kepada “Piye to, cah,” bukan lagi “Eh elo gimana.” Pertemanan kami berlanjut sebab ternyata kami satu kelas. Tidak ada yang mencurigakan pada Hilda, perempuan ini baik, ceplas-ceplos, suka jajan dan bisa diajak untuk ngaret berangkat kuliah. Saya sering numpang tidur dan mandi di kos Hilda. Maklum, kamar kos Hilda termasuk kompleks kos kamar mandi dalam dan hanya dihuni oleh satu orang.
Dari kedekatan itu saya jadi tahu teman saya satu ini bisa melihat hal-hal yang kasatmata. Ternyata ia anak indigo.
Suatu siang sepulang kuliah, saya dan Hilda makan bersama di kosnya. Seperti biasa, setelah makan saya selalu merasa ngantuk. Kami kemudian tertidur dalam keadaan lampu kamar mati, pintu dan gorden tertutup. Hanya lampu kamar mandi saja yang menyala. Ketika saya tertidur saya merasakan seperti ada bayangan yang lewat di atas saya dari arah kamar mandi, cepat sekali. Mirip kilat. Saya kira bukan apa-apa, sampai tiba-tiba Hilda menjerit dengan begitu keras. Jebul saya njumbul dan segera menyalakan lampu.
“Ada apa Hil?” tanya saya sambil melihat sekeliling kamar yang memang tidak ada apa-apa selain saya, Hilda, dan bunyi kipas angin. Wajah Hilda tampak aneh, saya terus bertanya ada apa namun dia hanya diam, langsung menyuruh saya segera mandi dan mengajak saya keluar ke warung kopi.
Sesampainya di warung kopi, saya menanyakan kembali sebab dia menjerit. Kemudian dia malah balik bertanya apakah saya merasa ada sesuatu yang melesat dari arah kamar mandi. Tentu saya mengangguk.
“Nah itu, jo, dia penunggu kamar mandi. Perempuan itu bisa terbang dengan cepat dan dia seperti menuju ke arah saya tadi sore, sebab itu saya menjerit.”
Makdeg. Bulu kuduk saya otomatis meremang. Sementara, Hilda melanjutkan ceritanya, “Tetapi dia tidak jahat, toh, tadi kita mungkin terlalu sore dan belum bangun sehingga dia berniat membangunkan kita,” ujarnya dengan tenang. Mau baik atau tidak, yang jelas saya tidak mau dibangunkan dengan selain manusia dan alarm.
Lepas kejadian itu, Hilda tidak menampakkan aura indigo. Tapi saya tetap waswas kalau ingat mengingat kejadian sore itu. Saya mulai memancing ngobrol soal bagaimana asal kelebihannya itu. Hilda memiliki kemampuan indigo ini sejak ia kecil. Ia berkata, dia dijaga oleh nenek buyutnya. Jadi, ketika ada makhluk astral yang jahat dan ingin mengganggu Hilda, akan melihat sosok nenek buyut Hilda dan diusir. Saya percaya, pasalnya keturunan dari mulai kakek buyut hingga ibu saya bisa melihat hal-hal semacam itu. Sedangkan saya tidak mau, saya hanya bisa merasakan sedikit. Cuma sedikit sekali.
Sejak terbuka soal kelebihan indigo miliknya, saya dan Hilda memiliki banyak pengalaman menarik. Hilda yang tiap tahun pindah kos dan tiap kosnya selalu memiliki kisah. Salah dua yang saya paling ingat adalah pertama ketika Hilda kerasukan nenek buyut yang menjaganya dan waktu ada penunggu kos yang bisa menyakiti secara fisik.
Kisah pertama, waktu itu saya sedang numpang tidur di kamar kontrakan Hilda yang baru. Kami tidur bertiga, Saya, Hilda, dan Siti, teman sekamar Hilda. Sejak awal Hilda memang selalu bercerita jika ada sosok perempuan di depan gang yang ingin sekali masuk ke kamarnya, tetapi tidak pernah bisa. Melihat ekspresi saya yang terlihat tegang, Hilda tidak melanjutkan ceritanya dan mengajak kami untuk tidur. Ketika tengah malam, saya dan Siti dikagetkan dengan suara Hilda. Saya langsung bangun dan melihat Hilda berdiri menunjuk ke arah pintu kamar dan berteriak.
“Sopo kowe, ojo ganggu putuku, ngaleh! Ngaleh!”
Saya hanya diam sambil merapal doa entah doa apa saja saya ucapkan. Saya takut dan tidak tahu harus bagaimana. Di depan pintu tidak ada siapa pun. Sedangkan, mata Hilda merah dan berapi-api mengucapkan kalimat tersebut berkali-kali. Berselang beberapa menit, amarah Hilda mulai mereda. Matanya tidak lagi merah, ia tersenyum melihat kami, dan menyuruh kami kembali tidur. Saya masih kaget tetapi melihat dia sudah tidur lagi, saya memilih tidur lagi.
Esok paginya, saya sudah tidak sabar menanyakan mengapa ia berteriak dan menunjuk ke arah pintu. Ternyata, tepat di depan pintu kamar kami, ada perempuan penunggu gang depan yang sering dikatakan Hilda. Ia terus berusaha masuk sehingga nenek buyut Hilda geram dan mengusirnya. Hilda sepenuhnya sadar jika neneknya yang telah berada dalam tubuhnya kemarin malam. Sejak kejadian itu, Hilda meminta saya agar tidak takut ketika sewaktu-waktu nenek buyutnya itu datang lagi.
Kisah kedua yang saya ingat berangkat dari kosan Hilda yang ketiga. Hilda juga sudah bercerita perihal adanya makhluk yang beraura jahat. Ia menceritakan wujudnya mirip dengan tokoh dalam tarian Bali, bertaring dan memiliki kuku yang panjang. Tentu saya begitu takut membayangkannya. Tidak ada penghuni kos Hilda yang tahu perihal ini, meski beberapa dari mereka sering merasa tiba-tiba ketakutan sendiri.
Sampai suatu pagi, salah satu teman kos Hilda mengalami luka bekas cakaran pada paha kakinya. Padahal, kuku tangannya pendek dan ia tidur sendiri malam itu. Semua tampak heran. Ketika Hilda melihatnya, ia langsung mengatakan jika itu adalah ulah makhluk itu dan mulai membaca doa.
Ini kali pertama saya tahu ada kejadian macam ini. Kemudian, Hilda menjelaskan jika memang ada makhluk yang bisa memiliki kekuatan untuk menyentuh benda-benda padat, seperti membuka pintu, mendorong, menjatuhkan, atau mencakar. Dia menyebutnya dengan istilah poltergeist.
Berteman selama lima tahun dengan Hilda, membuat saya senang jika aura dukunnya mulai muncul. Tidak hanya menceritakan apa yang dia lihat, Hilda juga bisa merasakan jika orang-orang dalam lingkungan pertemanannya sedang dalam bahaya atau gangguan makhluk.
Seperti halnya ketika saya sedang melakukan tugas pembuatan film di Gunung Kawi. Tiba-tiba, Hilda membombardir saya dengan pesan WhatsApp untuk segera pergi dari lokasi syuting, setelah saya mengiyakan pertanyaan soal bahu saya yang terasa berat dan panas. Saya pikir hal tersebut sebab saya kecapekan dan memang sedang emosi pada saat proses pengambilan gambar. Tetapi, karena mendapat pesan dari Hilda, saya mencoba ijin untuk kembali ke basecamp kami. Sesampainya di basecamp, Hilda mengatakan jika penunggu pohon yang berada tepat di belakang saya pada saat itu mencoba merasuki saya. Dheeeg. Hilda menjelaskan secara detail, lingkungan saya padahal dia sedang berada di Nganjuk.
Tidak hanya itu, Hilda juga pernah berhari-hari melihat gambaran rumah dengan berbagai penunggunya, namun ia tidak tahu itu rumah siapa. Ketika dikonfirmasi ke beberapa teman kami memang tidak ada yang memiliki rumah semacam pengelihatan Hilda. Sampai suatu ketika, adik saya yang sedang KKN bercerita tentang rumah KKN-nya dan ternyata rumah KKN itu sama persis dengan apa yang dilihat Hilda beberapa hari ini.
“Lah, dukun temen awakmu iki,” demikian ucapan andalan saya ketika apa-apa yang dilihat Hilda nyaris benar.
Melihat kemampuan indigo Hilda ini, saya selalu mengajaknya untuk membuat channel YouTube dengan memanfaatkan lingkungan kampus kami yang sangat mistik. Tetapi ia selalu menolaknya, padahal saya merasa jika konten berbau horor akan sangat digemari oleh Indonesia.
“Tidak semua orang bisa percaya karena tidak semua bisa lihat. Tapi bukan berarti mereka tidak ada. Jadi, jangan meremehkan dan jangan lupa berdoa itu saja, ndak perlu konten-konten,” ucapnya tiap kali saya mengajaknya.
Yah, mau bagaimana lagi meski menakutkan memiliki teman seperti dia juga menyenangkan. Jika kalian berminat konsultasi, lewat saya saja. Nanti saya yang tanya, Hilda pasti mau menjawab. Ehe~
BACA JUGA Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.