Berpesta dan Berduka di Kematian Ratu Elizabeth II

Berpesta dan Berduka di Kematian Ratu Elizabeth II Terminal Mojok

Berpesta dan Berduka di Kematian Ratu Elizabeth II (Unsplash.com)

Pagi ini saya sambut dengan berbeda. Sejak masih di atas kasur, saya sudah berbunga-bunga. Seisi rumah bising dengan lagu “God Save The Queen” karya Sex Pistols. Dari pup sampai mandi, saya terus mendengarkan siaran langsung dari CNN. Muka saya sumringah sampai jadi pertanyaan. Semua karena satu berita.

London Bridge is falling down! Ratu Elizabeth II meninggal dunia!

Ratu Elizabeth II (1926-2022) adalah sosok yang penuh cerita. Dan hari ini, setelah pandemi dan ulang tahun Puan Maharani, surga menyambut manusia ini. Sebagian umat manusia berduka atas meninggalnya monarki murah senyum. Sebagian lagi bersukacita atas meninggalnya simbol kolonialisme. Satu yang pasti, kehidupan sampai matinya Ratu Elizabeth II meninggalkan catatan sejarah umat manusia.

Saya teringat saat masih kecil, saya melihat wajah Ratu Elizabeth II di salah satu berita televisi. Kebetulan sedang heboh pemberitaan kematian Putri Diana. Pada hari itu, saya mengerti ada monarki lain selain di Jogja yang bahkan sudah menjabat sejak Perang Dingin. Dan sang ratu terus menjabat selama 70 tahun 214 hari.

Wajah tersebut terus muncul di berbagai kesempatan. Ratu Elizabeth II menjadi simbol kedigdayaan dan kesantunan Inggris. Dengan setelan blus yang khas, topi senada, dan senyum hangat, ia berbicara dengan ramah, tak sungkan mengatakan “pardon me”, dan suka melempar lelucon ringan. Jika hari ini kita memandang orang Inggris sebagai masyarakat santun dan elegan, semua karena Ratu Elizabeth II.

Ratu Elizabeth II juga menjadi rekaman sejarah berjalan. Ia menjadi saksi Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Ia dilantik saat ketegangan Perang Dingin mencapai fase puncak. Ia menjadi saksi keruntuhan Uni Soviet. Ia ikut serta dalam perang melawan terorisme. Ia memimpin Inggris dalam peristiwa BREXIT (British Exit). Ia hidup di masa pandemi Covid-19. Dan ia terus hidup sampai pandemi mereda.

Ada 15 Perdana Menteri menjabat selama Ratu Elizabeth II berkuasa. Nama-nama besar dalam sejarah tercatat di antaranya. Ada Winston Churchill, Margaret Tatcher, hingga Tony Blair. Sebanyak 6 perdana menteri terakhir lahir setelah Ratu Elizabeth II naik takhta, membuktikan betapa panjang umurnya Ratu Inggris ini.

Ratu Elizabeth II menjadi ratu masa peralihan peradaban. Ia dilantik pada era keruntuhan imperialisme. Ia menjabat ketika generasi kolot pra-Perang Dunia II beradu mulut dengan generasi 70-an. Ia menjembatani peralihan dari monarki yang kaku menjadi lebih ramah dan hangat. Bahkan ia ikut dalam aksi teatrikal Olimpiade London 2012. Jika Anda ingat aksi Jokowi saat pembukaan Asian Games, saya yakin itu terinspirasi dari aksi Ratu Elizabeth II.

Namun, nama yang harum ini bukan tanpa cela. Ratu Elizabeth adalah simbol penindasan dan kolonialisme. Dengan keras ia menolak kemerdekaan daerah jajahan Inggris, bahkan masih menempatkan masyarakat kulit hitam sebagai objek. Ia memang menjadi simbol monarki modern, tapi tetap membawa noda hitam kolonialisme.

Jangan lupa, Ratu Elizabeth II dipandang sebagai rezim fasis dan penuh konspirasi. Sampai muncul teori bahwa ia adalah alien kadal yang menjajah umat manusia. Dari sini Anda bisa melihat seberapa besar kebencian mereka yang menggugat Ratu Inggris ini.

Perkara gelombang pengungsi Timur Tengah, Ratu Elizabeth II menjadi simbol keangkuhan dan matinya empati Inggris. Pembatasan sampai pemaksaan migrasi ditentang keras oleh dunia melalui PBB.

Ratu Elizabeth II juga menjadi simbol ketamakan monarki. Di tengah krisis ekonomi global, Kerajaan Inggris masih mengisap uang pajak sebagai sumber pesta pora mereka. Setiap uang yang beredar di Inggris, sebagian masuk ke pundi-pundi istana. Singgasana emas dan mahkota bertakhtakan berlian menjadi ejekan terhadap situasi ekonomi masyarakat Inggris dalam menghadapi krisis.

Kepemimpinan Ratu Elizabeth II juga dipandang menjadi masa senja Kerajaan Inggris. Kekuatan imperium yang melahirkan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia kini runtuh perlahan. Meskipun Inggris masih jadi kekuatan politik terkuat, ia tidak pernah digdaya seperti sebelumnya. Ini baik dan buruk, tapi saya memandang keruntuhan ini sebagai sesuatu yang baik.

Ratu Elizabeth II juga menjadi ironi hidup. Ketika seluruh dunia sepakat melawan kolonialisme, mereka juga memuja kolonialis terbesar sedunia. Kebencian terhadap penjajahan menjadi kecintaan pada ratu dengan daerah jajahan terbesar. Sambutan rakyat Afrika setiap sang ratu hadir menggambarkan dunia yang belum bebas dari penjajahan.

Anda bisa memandang sosok sang ratu dari kacamata berbeda. Anda bisa mengagumi atau membenci sosoknya. Dan Anda juga bisa meromantisasi monarki paling merdeka hari ini, atau sebaliknya, membenci penjajahan dan ketamakan mereka. Pada hari kematiannya, ada tarian kemenangan dan tangis kehilangan.

Ada tangisan duka di depan Buckingham Palace, namun ada tawa bahagia di pub tempat buruh Birmingham melepas penat. Ada “God Save The Queen” yang mengelukan kejayaan sang ratu Inggris, namun ada “God Save The Queen” ala Sex Pistols yang menghujatnya. Itulah Ratu Elizabeth II yang bertakhtakan pujian dan hujatan.

Namun satu yang pasti: Ratu Elizabeth II meninggalkan nama besar dan sejarah besar bagi umat manusia, tidak peduli baik atau buruk. Dan hari ini, surga menyambut sosok penuh kisah hebat, heroik, dan berdarah.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Tips Mudah agar Dapat LOA di Negeri Ratu Elizabeth Tanpa TOEFL/IELTS.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version