Dua bulan lalu saya disuruh oleh pacar saya untuk membukakan rekening di salah satu bank. Dia minta dibuatkan rekening lantaran sedang berada di luar kota dan tidak ada waktu untuk membuatnya sendiri karena sedang sibuk-sibuknya bekerja. Rekening tersebut nantinya akan diisi oleh gaji-gajinya tiap bulan dari perusahaan tempatnya bekerja. Awalnya saya ragu karena jujur saya blas nggak mengerti cara membuka rekening secara mandiri. Buta perbankan istilahnya.
Aslinya saya juga punya dua nomor rekening, tapi pembuatan keduanya dibantu oleh pihak lain. Satu dengan bantuan ibu saya, satunya lagi dibantu mbak-mbak customer service beasiswa kuliah saya dulu. Jadi agak deg-degan juga saat harus buka rekening sendiri, apalagi ini adalah bank yang saya tahu stereotipe-nya untuk orang-orang berduit. Nggak kayak saya yang kere ini, hahaha.
Untungnya saat itu saya nggak menemui kendala berarti. Saya lagi-lagi dibantu oleh salah seorang pegawai bank untuk membukakan rekening. Pegawai ini sangat ramah dan membantu seperti yang pernah diramaikan netizen dulu. Saya yang awalnya ngah-ngoh soal perbankan, sedikit-sedikit jadi tahu hanya dengan bermodal nggah-nggih saat pegawainya menjelaskan face to face dengan saya. Sat, set, wat, wet, akhirnya resmi juga saya didaftarkan menjadi salah satu nasabah bank ini dan sudah bisa digunakan atas nama saya. Pacar saya kemudian senang kegirangan sudah dibukakan pintu rezeki rekening untuk wadah gajinya. Saya juga senang soalnya bisa terdaftar di salah satu bank yang biasa digunakan orang kaya ini, lumayan nyicil sek dadi wong sugih dengan punya nomor rekening ini, pikir saya.
Yang menarik dari bank ini adalah nggak ada buku tabungan seperti bank-bank pada umumnya. Aslinya ada sih buku tabungan, tapi biaya pembuatannya mahal, jadi saya memilih yang nggak ada buku tabungannya saja. Sebagai gantinya, saya disuruh untuk mengunduh aplikasi mobile banking.
Sebagai orang yang baru tahu soal dunia mobile banking, impresi awal saya sungguh katrok bin kampungan. Saya baru tahu kalau teknologi ini sungguh simpel. Semua bisa lewat pencetan jempol. Mau cek saldo, transfer duit, beli pulsa, beli token listrik, atau beli tiket-tiket semuanya sudah tersedia di sana. Tinggal pilih dan pencet sesuka hati. Ketiadaan buku tabungan juga cukup menyederhanakan masalah yang dulunya harus rajin-rajin ke bank untuk cetak riwayat transaksi, kini sudah nggak perlu lagi. Ini sungguh menguntungkan bagi saya yang masih kere lantaran nggak perlu minder lagi saat harus datang ke bank untuk sekadar cetak buku tabungan.
Tetapi, hal itu bukanlah satu-satunya kebahagiaan yang saya alami dari pengalaman dunia perbankan ini. Saya benar-benar beruntung memiliki nomor rekening bank ini, mengapa? Karena baru kali ini dan dari bank ini saya menemukan yang namanya ATM setor tunai. ATM setor tunai ini bak oase di tengah kekeringan ketidaktahuan, keterbelakangan, ketertinggalan saya soal dunia perbankan. Dari ATM setor tunai inilah jiwa-jiwa menabung saya tumbuh semerbak, bagai jamur yang merajalela di musim penghujan. Padahal aslinya kalau dicari benar-benar dua nomor rekening saya sebelumnya juga ada ATM setor tunainya, sih. Yowis ben ta sakarepku, lawong pengalaman pertama saya menemukan di nomor rekening baru saya, kok. Hehehe.
Begini, awalnya dua nomor rekening saya terdahulu hanya dikhususkan untuk bayar duit kuliah (UKT) dan sebagai jembatan beasiswa kuliah dari pemerintah yang pernah saya dapat. Dua nomor rekening itu nggak pernah saya pedulikan sama sekali. Jadi, saya jarang sekali memanfaatkan fasilitas keduanya untuk menabung.
Padahal kala itu, uang saku yang diberikan oleh orang tua saya sering turah-turah, ya aslinya juga nggak banyak, sisa lima puluhan atau seratusan lah. Kalau orang-orang biasa mungkin sudah menaruhnya di bank agar bisa disimpan dengan baik dan bisa digunakan sewaktu-waktu. Tapi, kala itu saya masih punya idealisme yang luar biasa tinggi. Saya berdalih menabung nanti saja tunggu uang sama berjumlah lima ratus ribuan atau agak banyak baru setor ke bank. Mosok pergi ke bank sudah capek-capek nunggu antrean teller, eh ujung-ujungnya cuma setor Rp50 ribu sementara setoran nasabah lain juta-jutaan. Sebagai mahasiswa sok berprestasi tentu malu, dong. Akhirnya saya termakan idealisme sendiri.
Selama empat tahun berkuliah, hanya sempat sekali dua kali saya setor ke bank dengan angka idealisme saya tersebut. Padahal kalau mau membuang idealisme saya jauh-jauh, saat ini saya mungkin bisa melihat saldo di bank saya berjuta-juta, nggak kayak sekarang yang mentok seratus ribu, itu pun kena potongan biaya admin tiap bulan. Hla peok ta akhire~
Berkaca dari pengalaman goblok itu, ketika menemukan ATM setor tunai ini saya bahagia bukan main. Gimana nggak bahagia, sekarang saya bisa menyisihkan dan setor sisa uang sangu saya dengan mudah dan simpel. Apalagi kalau ATM setor tunainya itu pecahan lima puluh ribu, wah senangnya tambah lagi karena nggak perlu malu atau minder dengan nasabah lain dan bahkan teller-nya. Hehehe. Kita hanya perlu berhadapan dengan mesin yang dalam hatinya nggak rewel sinis melihat kita setor lima puluh ribu doang dan nggak deg-degan takut dihakimi olehnya. Cukup masukan kartu, pencet-pencet manja tombol PIN, masukkan uang, lalu pencet konfirmasi. Beres deh uangnya sudah tersimpan dengan aman. Antreannya pun nggak selama kalau antre langsung di bank. Dan yang pasti saat ini saya jadi rajin menabung di bank. Banknya bank orang kaya lagi. Wohooo, kebebasan finansial I’m coming (tentu kalau duitnya nggak saya pakai jajan-jajan online, hahaha).
BACA JUGA Manfaat Menyimpan Struk ATM yang Jarang Diketahui Banyak Orang dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.