Perayaan Halloween di Itaewon, Korea Selatan, Sabtu malam (29/10/2022) berubah menjadi tragedi berdarah. Setidaknya 150-an korban tewas akibat berdesak-desakan. Banyak korban mengalami kesulitan bernapas, terinjak, hingga henti jantung. Kejadian horor tersebut terabadikan dalam berbagai rekaman video dan foto yang diunggah ke media sosial oleh banyak saksi mata.
Salah satu hal yang menarik atensi publik adalah kesigapan warga sipil membantu tenaga medis memberikan CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau RJP (resusitasi jantung paru). RJP merupakan salah satu rangkaian dalam pemberian bantuan hidup dasar (BHD). Tentu saja keberanian para relawan ini menuai pujian dari masyarakat, bahkan dalam skala internasional. Tindakan pertolongan pertama semacam itu sangat berarti untuk menyambung nyawa korban henti jantung.
Berdasarkan video pemaparan Jang Hansol tentang tragedi Itaewon, ia mengatakan bahwa RJP adalah skill yang bisa dipelajari siapa pun di Korea Selatan. Apalagi wamil adalah suatu keharusan di Negeri Ginseng. Sudah pasti keterampilan P3K (pertolongan pertama pada saat kecelakaan) termasuk salah satu materi penting yang diajarkan selama pelatihan.
Sebenarnya di Indonesia pun keterampilan P3K juga bisa dipelajari masyarakat umum. Misalnya dengan mengikuti PMR atau ikut pelatihan yang diselenggarakan PMI. P3K juga dimasukkan dalam kurikulum PJOK (Pendidikan Jasmani dan Kesehatan) kelas IX, namun materinya hanya sebatas pengenalan dasar. Pengenalan dasar itu meliputi pengertian, tujuan, obat dan peralatan dasar, serta penanganan luka dan pendarahan. Itu pun hanya diajarkan sepintas nggak terlalu mendalam. Keterampilan BHD nggak pernah diajarkan kepada siswa kalau nggak gabung kegiatan ekstrakurikuler PMR.
Berkaca dari tragedi Itaewon Sabtu malam kemarin, keterampilan P3K dan pemberian BHD sebaiknya diajarkan ke masyarakat luas. Sehingga saat terjadi situasi genting, akan lebih banyak sukarelawan terlatih yang bisa berpartisipasi menyelamatkan nyawa korban selagi menunggu bantuan tim medis. Pelatihannya bisa dibikin inklusif dengan menambahkan materi BHD ke kurikulum PJOK. Karenanya, materi tersebut mau tidak mau harus diajarkan ke semua siswa yang mengenyam pendidikan.
Khusus untuk pemberian materi ini, sekolah bisa bekerja sama dengan PMI setempat mengingat pemberian BHD tidak bisa dilakukan sembarangan. Upaya menyelamatkan korban akan gagal jika RJP yang dilakukan salah, malah bisa jadi memperburuk kondisi korban. Maka dari itu materi BHD harus diajarkan oleh orang yang terlatih.
Pelaksanaannya sebisa mungkin sampai ke tahap praktik, jangan hanya berhenti pada pemaparan teori. Percuma dong kalau nggak nyoba sendiri, ilmunya bisa menguap begitu saja. Setiap peserta didik harus melaksanakan praktik yang diawasi tenaga terlatih tanpa terkecuali.
Kegiatan praktikal begini juga bisa jadi wahana refreshing buat siswa, lho. Umumnya, mereka sudah jenuh dengan model belajar teoritis yang begitu-begitu saja. Alokasi waktunya bisa memotong sedikit dari materi PJOK yang lain seperti materi bola besar, bola kecil, pencak silat, dan senam. Dari SMP hingga SMA, semua materi itu selalu ada. Cuma levelnya saja yang dibedakan, dimulai dari tingkat pengenalan hingga analisis dan evaluasi. Daripada cuma direpetisi, kan mending waktunya dipakai untuk mempelajari hal baru.
Kalau memasukkan BHD dalam kurikulum pendidikan dirasa terlalu sulit, masih ada alternatif yang lain. Misalnya saja dengan menyisipkan materi P3K termasuk BHD ke dalam kegiatan kaderisasi. Jauh lebih bermanfaat daripada sekedar perpeloncoan. Sebagai anak muda, tentu saja menguasai keterampilan P3K akan menjadi nilai tambah yang mulia. Mengingat anak muda sedang dalam kondisi fisik yang paling prima, jadi sangat sesuai dengan panggilan kemanusiaan menolong nyawa semacam ini.
Atau bisa juga menyisipkan materi P3K ke dalam materi diklat pegawai. Dalam dunia kerja, terutama yang ranahnya praktikal, kecelakaan kerja merupakan ancaman yang nggak bisa diprediksi kehadirannya. Bayangkan kalau para pekerja ini sudah terlatih memberikan penanganan P3K, pasti akan lebih banyak orang yang tertolong.
Sesungguhnya opsi menyampaikan pengajaran mulia ini sangat banyak caranya. Tergantung apakah pemerintah bersedia mengaturnya secara serius atau nggak. Tentu saja banyaknya jumlah warga sipil yang terlatih dengan keterampilan P3K akan tetap menguntungkan negara. Dalam kondisi genting saat terjadi bencana, kontribusi mereka akan sangat membantu kerja tenaga medis. Sehingga akan lebih banyak lagi nyawa yang diselamatkan.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Obat Mujarab dari Anggota PMR Saat Ada Murid yang Sakit.