Berkaca dari Gempa Cianjur: Edukasi Bencana Harga Mati, Tidak Boleh Ditawar Lagi!

Berkaca dari Gempa Cianjur Edukasi Bencana Harga Mati, Tidak Boleh Ditawar Lagi Terminal Mojok

Berkaca dari Gempa Cianjur Edukasi Bencana Harga Mati, Tidak Boleh Ditawar Lagi (Unsplash.com)

Rasanya semua orang sudah tahu bahwa Indonesia terletak di batas pertemuan 3 lempeng tektonik aktif. Soal konsekuensi bencana akibat aktivitas tektonik ini pun masyarakat sudah sangat mafhum. Namun soal kegempaan akibat aktivitas sesar, agaknya masyarakat masih belum familier. Padahal sesar juga merupakan fitur alami yang terbentuk akibat pergerakan lempeng bumi dan sangat berpotensi memicu gempa bumi. Selama lempeng bumi bergerak, akan terus lahir sesar-sesar baru.

Musibah gempa Cianjur (21/11/2022) membuka mata kita bahwa ada ancaman bencana yang sungguh nyata di bawah bumi kita berupa sesar aktif yang keberadaannya sering luput dari perhatian.

Peta Pusat Gempa Cianjur dan Zonasi KRB (Sumber Gambar: vsi.esdm.go.id)

Tantangan studi sesar di wilayah beriklim tropis

Mempelajari sesar di wilayah beriklim tropis masih menjadi pekerjaan yang berat. Namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Berbeda dengan wilayah-wilayah beriklim kering, kondisi Indonesia yang beriklim tropis dan lembap membuat intensitas pelapukan sangat tinggi. Akibatnya bidang sesar yang terbentuk di permukaan akan tererosi dan terkubur lapukan batuan, sehingga keberadaannya bisa jadi tidak terdeteksi. Keberadaan sesar umumnya baru disadari setelah terjadi gempa bumi besar.

Tebalnya soil dari pelapukan batuan ini pun mendatangkan masalah lain. Kondisi permukaan yang ditutupi sedimen lunak (endapan lepas atau proses lithfikasi belum sempurna) menyebabkan amplifikasi. Semakin lunak, maka amplifikasinya semakin besar. Akibatnya getaran gelombang seismik yang sampai ke permukaan akan mengalami penguatan dan punya daya rusak yang semakin besar. Apalagi jika pusat gempanya dangkal.

Kondisi akan semakin buruk jika relief permukaannya bergelombang, karena akan berpotensi muncul bencana ikutan berupa gerakan massa tanah dan longsor. Jika di permukaan terdapat banyak bangunan, kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ini akan semakin besar.

Studi tentang sesar aktif di kawasan tropis ini sedang dikaji dengan serius beberpa dekade belakangan. Hasil studi tersebut bisa menjadi rekomendasi bagi perencanaan tata kota. Dan sudah seharusnya diimplementasikan oleh pemerintah, bukan hanya sebatas rekomendasi yang tak ditaati.

Kealpaan pemerintah dalam memberikan edukasi kebencanaan

Menurut pernyataan kepala BMKG, gempa Cianjur diakibatkan oleh aktivitas Sesar Cimandiri. Namun, ahli geologi dari Unpad membantah pernyataan tersebut dan menduga bahwa pemicu gempa Cianjur adalah aktivitas sesar baru yang belum teridentifikasi, mengingat lokasi gempa berada di utara jalur Sesar Cimandiri. Apa pun itu, yang jelas gempa katastropik di Cianjur menjadi cerminan kurangnya edukasi bencana bagi masyarakat.

Kejadian gempa-gempa besar yang terjadi di Cianjur itu sudah terjadi sejak masa yang sangat lampau. Berdasarkan magnitudonya, kekuatan gempa Cianjur yang terbaru sebenarnya tidak terlalu besar. Namun, ada beberapa faktor yang mengakibatkan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Di antaranya episenter gempa yang dangkal, banyaknya permukiman di sepanjang jalur gempa, dan—sangat mungkin—kurangnya kesiapan warga dalam menyikapi kejadian gempa.

Semakin tinggi intensitas bencananya, maka frekuensi kejadiannya akan semakin rendah. Jarangnya kejadian bencana besar membuat masyarakat terlena dengan ancaman bencana yang sebenarnya mengintai mereka. Sebenarnya hal ini sungguh bisa dimaklumi karena masyarakat awam kurang memahami kondisi geologi wilayah tinggalnya.

Walaupun keberadaan internet sangat memudahkan masyarakat mengakses informasi secara mandiri, bukan berarti pemerintah bisa cuci tangan dari tanggung jawab mengedukasi warganya. Edukasi bencana dari pemerintah tetap harus diberikan, agar informasi yang diterima masyarakat bisa seragam dan merata. Upaya ini sekaligus bermanfaat untuk meminimalisir misinterpretasi informasi dan mencegah merebaknya hoaks.

Namun sayangnya, di berbagai pemberitaan masih banyak pernyataan warga setempat yang menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang adanya potensi bencana di bawah bumi yang mereka pijak. Menurut hasil wawancara BBC, seorang warga menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerima edukasi kebencanaan apa pun dari pemerintah. Bahkan bisa jadi mereka tidak pernah mendengar nama Sesar Cimandiri karena memang tidak dibicarakan sesering Sesar Lembang.

Sungguh sebuah ironi yang memilukan. Mengingat kasus ini tidak hanya terjadi di Cianjur. Pada 2017 lalu, tirto.id pernah merilis artikel soal potensi gempa yang mengancam Jakarta akibat keberadaan Sesar Baribis. Parahnya, di atas jalur sesar itu masih ada saja yang mendirikan bangunan pencakar langit. Sudah barang tentu pendirian gedung-gedung tinggi itu tidak mungkin terjadi tanpa persetujuan pemerintah.

Urgensi edukasi kebencanaan bagi masyarakat

Kejadian gempa Cianjur menjadi katalis untuk membicarakan ulang sesar-sesar aktif lain yang mencacah Jawa Barat. Yang telah terbaring dalam diam di bawah gegap gempita perkotaan selama berabad-abad lamanya. Seharusnya selepas kejadian ini, pemerintah tidak lagi menutup mata terhadap potensi bencana akibat keberadaan sesar-sesar aktif di wilayahnya.

Jangan karena memuaskan kepentingan pemodal, keselamatan sampai perlu digadaikan. Jalur sesar dan lokasi rawan bencana lainnya harus benar-benar dimumkan secara transparan kepada masyarakat luas. Agar masyarakat bisa menghindari bermukim di kawasan rawan bencana. Atau minimal bisa memodifikasi konstruksi bangunan agar lebih tahan terhadap bencana.

Saat kejadian gempa kemarin, masih ada anggota dewan yang menganggap enteng prosedur penyelamatan diri di dalam ruangan. Tolong berhenti menganggap pelatihan mitigasi sebagai lelucon atau tindakan sia-sia belaka, karena bencana bisa menimpa kita kapan saja. Kejadian ini semakin menjadi bukti bahwa masih banyak masyarakat yang tidak memahami pentingnya edukasi kebencanaan. Pemerintah bisa memanfaatkan forum-forum masyarakat seperti arisan PKK, peribadatan kampung, atau rapat desa untuk memberikan edukasi kebencanaan kepada warga.

Untuk siswa sekolah, upaya mitigasi memang sudah disisipkan dalam kurikulum. Namun banyaknya korban anak-anak dalam kejadian gempa Cianjur kemarin membuat saya berpikir bahwa penyampaian materi mitigasi bencana belum berhasil. Saya rasa petugas BPBD setempat bisa meluangkan waktu untuk memberikan simulasi mitigasi bencana di sekolah-sekolah. Dalam hal ini, Jepang bisa menjadi contoh yang ideal untuk diteladani.

Edukasi bencana kepada masyarakat menjadi suatu keharusan yang tidak boleh ditawar. Masyarakat pun harus menerima edukasi ini dengan pikiran jernih dan mengamalkannya dengan sepenuh hati, bukan malah menuduh pemerintah sengaja menakut-nakuti masyarakat. Pada akhirnya, mitigasi merupakan upaya terbaik untuk meminimalisir kerugian akibat bencana. Sebab prediksi tidak bisa memberikan jawaban yang pasti kapan bencana akan terjadi.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kesaksian Korban Gempa Cianjur: Maaf Kami Terlambat Membawamu ke Rumah Sakit.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version