“Nggak usah berharap mendapatkan bantuan dari pemeritah, dasar lemah!” Ucap teman saya sambil mendorong gerobak sempolan ayam, sok kuat. Padahal mah apa, hatinya sebenarnya rapuh selepas dirumahkan oleh perusahaan beberapa bulan yang lalu.
Teman saya itu bernama Rama, rekan saya yang juga seorang montir. Semenjak dirumahkan ia memang terlihat banyak melakukan usaha demi mendapatkan sepeser uang, termasuk salah satunya jualan sempolan keliling.
Berbeda dengan saya yang malah memanfaatkan momen ini untuk menekuni hobi yang sudah lama saya tinggalkan, yaitu rebahan. Harapannya sih meski rebahan saya tetap bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari toko daring. Ada lah yang bisa dijual dari perabotan rumah tangga yang selama ini saya tumpuk di kontrakan.
Sebenarnya bagi saya, ini semacam ujian. Akankah saya dan keluarga sanggup bertahan dengan penghasilan setengah dari biasanya? Saya juga mau mengajari anak dan istri saya, seni bertahan hidup di kala kekurangan. Masyaallah!
Bilang saja nggak mau usaha yang lain!
Mengetahui kondisi rakyatnya yang kesusahan, pemerintah pun berencana akan memberikan bantuan kepada karyawan swasta yang berpenghasilan dibawah lima juta rupiah per bulan. Saya dong! Secara, mana mungkin seorang montir seperti saya mendapatkan upah sebanyak itu? Apalagi sekarang ini saya dan teman-teman yang lain sedang dirumahkan.
Hal itu tentunya membuat saya sedikit tenang. Saya sangat bersyukur bila nantinya bantuan itu benar-benar ditransfer ke rekening saya. Terlebih lagi, kartu BPJS Ketenagakerjaan sudah saya kantongi. Sampai saat itu saya berpikir target pemerintah adalah orang-orang seperti saya ini. Hahaha. Memangnya siapa sih yang tidak mau diberi bantuan berupa uang tunai dari pemerintah? Enam ratus ribu rupiah selama empat bulan berturut-turut loh, Gaes! Lumayan buat belanja keperluan sehari-hari.
Saya pun menjadi orang yang setia menanti hari ketika pemerintah benar-benar menjadi penolong keluarga kami. Hingga pada akhirnya, pencairan BLT gelombang pertama pun diumumkan oleh pemerintah. Seharian itu ada saja teman yang bertanya kepada saya mengenai sudah cair atau belum bantuan tersebut. Bahkan di grup WhatsApp pun saling adu argumen, ada yang mengatakan kami tidak masuk kriteria karena satu dua hal, ada juga yang membantah dengan berbagai sumber informasi dari media daring. Intinya keluarga besar bengkel tempat saya bekerja dibikin rame dengan sebuah harapan dan ketakutan. Aduh seperti orang beragama saja ya, antara berharap surga dan takut neraka!
Ternyata kegelisahan itu tidak cukup, namun ada sebuah informasi yang lebih menakutkan bagi kami. Satu-satunya hal yang membuat saya tidak nyenyak tidur adalah informasi dari Menteri Ketenagakerjaan yang mengatakan masih ada saja perusahaan yang tidak menyetorkan data nomor rekening para karyawannya. Kakeane!
Jujur saya bingung hendak menanyakan hal ini kepada siapa karena saking jauhnya jarak seorang montir dengan kepala perusahaan. Bertanya kepada pemerintah mana mungkin bisa, kalau tidak punya orang dalam?
Bengkel tempat saya bekerja sebenarnya hanyalah sebuah anak cabang dari cabang cabangnya cabangnya perusahaan utama. Sehingga semua orang yang saya jumpai dari atasan saya langsung, sampai orang tertinggi di bengkel tempat saya bekerja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan teman-teman saya di grup WhatsApp. Bahkan kami tidak tahu kriteria yang seperti apa tepatnya, yang diharapkan pemerintah. Nahas sekali!
Sejak saat itu saya membenarkan ungkapan Rama, bahwa berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah adalah sebuah kesalahan. Sebagai orang yang sering diberi harapan palsu oleh perempuan, kali ini saya tidak ingin lagi merasakan trauma pada masa lampau itu. Sehingga saya memutuskan untuk belajar kepada Rama tentang cara menghadapi masa sulit ini.
Rama mengatakan bahwa orang yang berharap mendapatkan bantuan dari pihak lain itu seperti seorang atlet renang yang tidak mau menggunakan kemampuannya ketika diceburkan ke dalam laut. Ia malah berharap ditolong sama petugas penjaga pantai dengan pelampungnya. Iya kalau tertolong, tapi kalau justru lebih dulu mati tenggelam karena petugas tak kunjung datang? Kan bisa mati konyol!
Mendengar ucapan Rama ini saya langsung tercerahkan. Benar juga, seorang montir juga memiliki kemampuan, kan? Bahkan jika memang dunia perbengkelan sedang sepi, seseorang seperti saya ini masih memiliki kemampuan. Seperti Rama misalnya, ia memilih untuk berjualan sempolan ayam keliling kampung. Sehari kalau rame, Rama bisa mendapatkan laba sekitar dua ratus ribu rupiah katanya. Lumayan dong?
Coba bandingkan dengan saya yang setiap harinya sekadar rebahan! Memang kalau mati sih tidak, sebab saya masih memperoleh upah separo dari biasanya meski tidak bekerja selama dirumahkan. Namun bagaimana jika saya tetap berharap mendapatkan bantuan dan tetap melanjutkan hobi rebahan saya? Bisa-bisa saya terkena Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) karena dihantui sakitnya di-PHP-in.
Jangan menyalahkan petugas penjaga pantai ketika kita tidak tertolong, namun salahkan diri sendiri kenapa malah berharap kepada makhluk yang lemah! Seharusnya, sebagai atlet renang kita mau berusaha untuk tetap hidup dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk sampai ke bibir pantai. Setidaknya kita masih memiliki harapan untuk bertahan hidup. Meskipun pada akhirnya akan mati tenggelam, kita sudah melakukan usaha terbaik dengan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Yah, tetap saja tidak happy ending, dong? Jangan salah, mereka sebenarnya tetap hidup; wa la taqulu liman yuqtalu fi sabilillahi amwatun, bal ahya-un walakin la tasy’urun (dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati, karena sebenarnya mereka itu tetap hidup hanya saja engkau tidak menyadarinya).
Saya pikir orang yang bersungguh-sungguh berusaha untuk tetap hidup adalah orang yang sedang berjihad di jalan Allah, sedangkan orang yang berputus asa adalah orang yang celaka.
Apakah kita masih ingin menyalahkan pemerintah seandainya bantuan itu tidak jadi cair, Cah? Saran saya, berhentilah berharap kepada makhluk, apalagi kalau mahluknya berupa “pemerintah”! Berharaplah hanya kepada Yang Maha Kuasa.
BACA JUGA Karya Sastra Bisa Jadi Alat Propaganda, Asal Nggak Kelihatan Bohongnya dan tulisan Erwin Setiawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.