Saya memiliki beberapa teman yang suka mendengkur, bapak saya salah satunya. Tentu kita semua tidak asing dengan istilah itu. Sejatinya, mendengkur atau ngorok bisa terjadi pada siapa pun—termasuk saya sendiri. Saya menyadari, sering kali saya mendengkur ketika sedang merasa capek. Istri saya beberapa kali menyampaikan hal tersebut ketika bangun di pagi harinya. “Mas, semalem kamu ngorok, mulutnya juga nganga (terbuka). Aku mau bangunin nggak enak, keliatannya kamu lagi capek banget,” kata istri saya.
Setelah itu, biasanya saya langsung bertanya, seperti apa sih suara ngorok-nya. Istri saya sering kali mencontohkan dengan suara, “groooook, groooook” dan itu terdengar mengganggu. Oleh karena itu, saya selalu berpesan kepada istri, jika saya ngorok dan dirasa mengganggu, baiknya dibangunkan saja. Wajar, sebab orang yang ngorok tahu bunyinya mengganggu, tapi karena sedang tidur—di luar kesadaran—akhirnya hanya bisa pasrah.
Itulah kenapa, meski terkadang merasa risih dengan berbagai macam bunyinya, saya mulai membiasakan diri dan berdamai dengan suara ngorok. Pasalnya, ngorok bisa dialami oleh siapa pun, di mana pun. Termasuk dalam perjalanan menggunakan KRL saat berangkat atau pulang kerja.
Pemandangan para pekerja yang berangkat setelah solat subuh (sekitar jam 5) tentu tidak asing bagi saya. Tidak sedikit dari mereka yang melanjutkan tidur di KRL selama perjalanan. Baik yang kebagian tempat duduk maupun berdiri, selalu saja ada yang ngorok. Alih-alih merasa risih, saya lebih memilih memahami. Namun, jika ngorok-nya sudah memasuki fase yang membahayakan (terdengar suara nafas seperti tertahan atau tersedak), biasanya akan langsung saya bangunkan untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Tidak lupa juga untuk meminta maaf setelahnya—karena sudah mengganggu waktu tidurnya.
Sewaktu kuliah, saya pun memiliki teman satu kamar kos yang hampir di setiap tidurnya ngorok. Hampir dua tahun kami satu kamar, sampai saya terbiasa dan hafal dengan bunyi ngorok-nya. Saya juga memberi tahu bagaimana bunyi ngorok yang dihasilkannya dengan mulut yang terbuka lebar. Tak jarang, dia pun tersedak ngorok-nya sendiri dan seperti orang yang sedang sesak nafas. Pada saat seperti itu, saya selalu terbangun dan segera membangunkannya. Dia pun menyadari, banyak orang yang sering kali terganggu dengan suara dengkurannya itu.
Dia pun bukan tanpa usaha, sudah beberapa cara dilakukan. Mulai dari mengurangi makan berat sebelum tidur, berolahraga, juga tidur dengan posisi miring—yang katanya efektif meminimalisir ngorok. Namun, usahanya tidak lantas langsung berhasil. Selama saya menjadi teman satu kamarnya sewaktu ngekos, dia masih saja mendengkur dengan nada suara yang sama juga volume yang cukup tinggi untuk membangunkan saya. Dan sudah menjadi tugas saya untuk membangunkannya, kemudian ketika sudah terbangun, kami sama-sama mencoba tidur lagi dari awal.
Meskipun begitu, harus disadari ada orang yang merasa risih dan terganggu dengan suara ngorok. Tapi, di sisi lain, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang tidurnya mendengkur. Lha gimana, dianya saja dalam keadaan tidak sadar alias tidur, apakah dia layak disalahkan atau dibenci hanya karena suatu hal yang pada dasarnya tidak ingin dia lakukan?
Sebagai solusi, setiap terbangun karena suara dengkuran, saya akan mengubah posisi tidur menjadi menyamping lalu menutup telinga dengan bantal. Ketika sedang di transportasi massal, KRL misalnya, saya selalu menyediakan earphone untuk mengalihkan suara dengkuran ke suara yang saya inginkan. Nonton YouTube atau mendengarkan musik. Ya, setidaknya tidak perlu merasa mangkel, karena semua orang bisa mendengkur pada waktu yang tidak ditentukan dan tanpa diinginkan—termasuk yang merasa mangkel.
Jika pada saat tidur, dengkurannya ini bisa diatasi, saya sendiri sih tidak akan pernah memilih untuk mendengkur. Lagipula, siapa sih yang mau? Apalagi setelahnya tenggorokan sering kali terasa kurang nyaman, minimal terasa kering, belum lagi berpotensi mengganggu tidurnya orang lain. Kan, serba salah.
Saran saya, jika memang orang di sekitar kita ada yang ngorok, tidak perlu menjadi bahan olok. Tidak perlu disalahkan. Malahan, akan lebih baik jika diberi tips atau saran agar ngorok bisa diantisipasi dan dihilangkan. Lagipula, seseorang yang ngorok pun tidak memiliki niat mengganggu tidurmu. Mereka hanya perlu tidur dengan kualitas sesuai dengan porsinya.
BACA JUGA Orang Ngorok Tahu Kalau Suaranya Menganggu, Padahal Dia Nggak Niat Gitu atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.