Kisah ini bermula dari cerita tentang seseorang yang menerima kutukan paling kejam yang pernah ditimpakan pada manusia. Legenda Sisyphus pada awalnya datang dari mitologi Yunani Kuno yang bercerita tentang seorang raja Sisyphus dari kerajaan Efira yang licik dan tamak. Berkali-kali ia membangkang terhadap dewa, berbuat hal-hal mengerikan kepada rakyatnya, serta yang paling besar dosanya adalah membocorkan rahasia Dewa Zeus.
Mengetahui bahwa Sisyphus terlalu kejam untuk disebut manusia, Dewa Zeus mengambil Sisyphus dari dunia dan melemparkannya ke dalam neraka. Di kedalaman neraka ia dikutuk oleh Zeus untuk terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Karena dikutuk oleh obsesinya untuk mendorong batu, ia lakukan pekerjaan tersebut terus-menerus berkali-kali tanpa boleh berhenti. Untuk selamanya.
Mengerikan? Atau kedengaran tak asing? Coba bandingkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bangun saat pagi, siap-siap kuliah atau kerja seharian sampai capek, main sebentar sama teman-teman tongkrongan, pulang, tidur, esoknya ulangi lagi. Kalau boleh dibilang, sayangnya hidup kita sehari-hari tak lain adalah kutukan Sisyphus itu sendiri.
Setiap hari, bekerja sampai lelah dari Senin sampai Jumat lalu rehat sejenak saat weekend, tiap bulan, tiap tahun, sepanjang hidup kita. Kita mendorong batu kita sendiri-sendiri dan mengulanginya lagi terus menerus. Oleh karena itulah, kita juga menanggung kutukan Sisyphus selama kita hidup.
Hidup monoton adalah kutukan Sisyphus, dan itulah kehidupan kita, bukan hanya manusia tapi juga seluruh makhluk hidup di bumi. Penggunaan alegori kutukan Sisyphus untuk menggambarkan pola kehidupan yang monoton paling populer dilakukan oleh seorang filsuf eksistensialis bernama Albert Camus. Ia menggambarkan kegiatan repetitif pada kehidupan kita adalah sia-sia, absurd, dan tanpa tujuan. Kehidupan adalah ladang absurditas itu sendiri.
Silakan disangkal, kita hidup tidak sia-sia karena kita punya tujuan yang jelas, kan? Oke, sejelas-jelasnya tujuan hidup kita entah dalam jangka pendek atau panjang, kita akan berjuang untuk mencapainya. Kalau dikiaskan sesuai alegori Sisyphus, upaya kita mencapai tujuan tersebut seperti mendorong batu ke puncak bukit. Lalu setelah kita berhasil sampai di puncak, apa yang harus diperbuat?
Meraih satu tujuan bukanlah suatu akhir. Saat kita berhasil mendorong batu kita sampai di puncak bukit, kelegaan hanyalah sementara dan kita tidak akan berdiam diri selamanya. Karena sifat manusia yang tidak pernah merasakan puas, kita akan memasang target dan tujuan yang lebih jauh lagi. Hingga pada akhirnya kita akan mendorong batu tersebut sekali lagi. Lagi dan lagi sampai kehidupan telah pergi meninggalkan kita. Absurd, kan?
Absurdisme Sisyphus memang sebenar-benarnya hidup kita. Kutukan untuk selalu terobsesi mencapai tujuan yang tak akan pernah berkesudahan menjangkiti kita semua. Oleh karenanya, banyak yang beranggapan bahwa kutukan Sisyphus berupa obsesi mendorong batu terus-menerus adalah bentuk penyiksaan yang mengerikan, dan itulah hidup kita.
Namun bagi Camus, anggapan kutukan hidup monoton sebagai bentuk penyiksaan bisa disangkal jika kita membayangkan Sisyphus berbahagia karena mendorong batu tersebut. Ketidakbermaknaan hidup yang repetitif bisa disangkal jika kita membayangkan kehidupan ini menyenangkan. Penekanan pada konsep ini adalah dengan menggambarkan bahwa mendorong batu adalah hobi Sisyphus dan karena itulah dia senang melakukannya. Menjadi tragedi jika kita menjalani kegiatan sehari-hari tanpa menanamkan kebahagiaan di setiap detiknya.
Namun bagi beberapa dari kita yang merasa lelah terjebak dalam kutukan tak berkesudahan ini, satu hal yang perlu disadari bahwa kita diberi anugerah untuk bebas. Filsuf Jean Paul Sartre menyatakan bahwa manusia menerima kutukan lain berupa kebebasan. Jika hewan atau tumbuhan hidup monoton dengan melakukan kegiatan repetitifnya untuk tumbuh, bertahan hidup, berkembangbiak, dan melestarikan spesiesnya, kutukan kebebasan membuat kita bisa sedikit melonggarkan kutukan Sisyphus yang menjangkiti kita.
Kita bebas memilih batu mana yang lebih mudah untuk didorong, rute baru mana yang lebih bermakna untuk dilalui, atau puncak bukit mana yang dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan setelah kita tersengal-sengal mendorong batu tersebut. Memang, kutukan Sisyphus tidak akan pernah terangkat dari kita selama kita hidup, tapi setidaknya kita dapat berdamai dengannya melalui kebebasan memilih jalan mana yang paling layak untuk dimaknai dan yang paling banyak memberikan kebahagiaan.
Untuk itu, jangan pernah takut pada hidup yang monoton selama ia bermakna dan kita bahagia menjalaninya. Long live, hidup monoton!
BACA JUGA Dilema Liburan dan Keinginan Tetap Produktif atau tulisan Dicky C. Anggoro lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.