Sejak kelas 5 SD, saya punya keinginan yang, mungkin terdengar agak aneh dan sampai dengan saat ini belum juga terwujud. Saya ingin punya mata minus dan pada akhirnya menggunakan kacamata. Bisa jadi ini terkesan nyeleneh bagi sebagian orang. Namun, percayalah, hal ini betul-betul menjadi suatu keinginan saya sejak lama.
Keinginan ini muncul ketika salah seorang teman semasa SD yang kala itu harus menggunakan kacamata, karena menurut pengakuannya, penglihatannya mulai buram. Setelah dicek ke dokter mata, ternyata matanya minus dua. Jadi, mau tidak mau, suka atau tidak, ia harus membiasakan diri memakai kacamata pada kesehariannya. Saat bermain, di sekolah, maupun di rumah.
Kala itu, dalam pandangan saya, orang yang memakai kacamata itu sungguh terlihat keren. Punya kesan yang cool dan karismatik. Anggapan ini juga tidak terlepas dari beberapa karakter kartun yang saya tonton sewaktu kecil.
Kebanyakan karakter kartun atau animasi yang berkacamata, selalu digambarkan sebagai sosok yang pintar, jenius, diidolakan oleh banyak orang, dapat diandalkan, dan punya keahlian tertentu yang sangat keren. Tentu saja Nobita di masa kecil pada serial Doraemon adalah suatu pengecualian.
Sejak saat itu, hampir setiap hari selama kelas 5 sampai dengan 6 SD, saya merengek kepada Ibu untuk dibelikan kacamata agar bisa segera memakainya. Sialnya, yang tidak diketahui oleh saya, untuk bisa membeli sampai dengan menggunakan kacamata khusus mata minus, harus ada serangkaian tes yang diikuti. Salah satunya, melihat sekaligus membaca beberapa huruf dengan skala tertentu dan dari jarak tertentu agar bisa mengetahui mata saya sudah minus berapa.
Setelah mengikuti serangkaian tes mata tersebut, betapa kecewanya ketika dokter mata yang saya kunjungi mengatakan bahwa saya belum perlu menggunakan kacamata. Lantaran mata saya hanya minus seperempat. Boleh saja pakai kacamata, tapi buat apa?
Harus diakui juga, ketika saya coba menggunakan kacamata dengan minus seperempat, sebetulnya nggak ada perubahan yang signifikan. Pandangan saya sama saja. Masih jernih, bisa melihat sesuatu dengan sangat baik untuk berbagai kegiatan. Bahkan dari jarak tertentu sekalipun.
Pada waktu yang bersamaan, jujur saja, saya merasa kecewa karena gagal memiliki sekaligus menggunakan kacamata. Namun, di sisi lain, saya nggak menyerah dan tetap melakukan kegiatan yang terbilang ekstrem dengan harapan bisa menggunakan kacamata. Beberapa diantaranya, menonton tv dan membaca dari jarak dekat.
Bahkan, saya sengaja belajar sambil baca buku pelajaran dengan pencahayaan yang redup. Hal tersebut saya lakukan berulang kali, secara terus-menerus. Tujuannya hanya satu, biar mata minus saya bertambah angkanya, terus bisa pakai kacamata. Konyol, sih, tapi harus diakui saya pernah ada di posisi tersebut. Kalau diingat kembali, rasanya agak nganu gimana gitu.
Setelah memasuki usia dewasa dan akhirnya bekerja karena sering main hape dan hampir selalu berhadapan dengan layar komputer, saya masih menyimpan harapan bahwa mata minus saya akan makin menjadi. Pikir saya, seharusnya peluangnya pun lebih besar karena mata dipaksa bekerja lebih keras dibanding sewaktu saya masih SD. Pada realitanya, ternyata tidak demikian. Saat saya cek ke dokter mata, minus mata saya masih seperempat. Alhasil, sampai dengan saat ini saya belum menggunakan kacamata dengan lensa minus sama sekali.
Untuk menghibur diri, akhirnya saya memutuskan untuk membeli kacamata tanpa lensa minus. Berkaca bening dan untuk gaya-gayaan saja. Biasa saya gunakan saat bekerja atau ketika berhadapan dengan layar komputer.
Setiap kali ada rekan kerja atau teman yang bertanya, “Pakai kacamata sekarang? Minus berapa?” selalu saya respons dengan jawaban template, “Nggak, ini buat melindungi mata dari radiasi layar komputer aja. Biar nggak gampang perih atau capek matanya.” Setidaknya, saya bisa membuat mereka percaya dengan jawaban saya yang nggak ilmiah-ilmiah amat itu.
Nahasnya, setelah sekira lima bulan digunakan, kacamata tanpa lensa minus itu akhirnya rusak karena frame-nya patah akibat terhimpit. Kalau mau dibetulkan dan digunakan kembali, harus ganti frame yang harganya lumayan mahal. Mau ganti frame-nya aja, tapi rasanya sayang. Nggak diganti, tapi masih pengin pakai kacamata. Hmmm.
Pada akhirnya, saya sadar akan satu hal. Sepertinya, saya memang belum berjodoh dengan kacamata. Bahkan, bisa jadi nggak ditakdirkan untuk berkacamata. Ditambah, ternyata saya belum betul-betul siap dalam menjaga sekaligus merawat kacamata. Bisa-bisa kalau dipaksakan, malah jadi kacau nantinya.
Photo by Hoang Loc via Pexels.com
BACA JUGA Pengalaman Diajar Kak Seto Mulyadi: Merasa Senang dan Canggung Bersamaan dan artikel Seto Wicaksono lainnya.