Benci Amerika Serikat Nggak Bisa Dijadikan Alasan untuk Dukung Agresi Rusia

Benci Amerika Serikat Nggak Bisa Dijadikan Alasan untuk Dukung Agresi Rusia

Benci Amerika Serikat Nggak Bisa Dijadikan Alasan untuk Dukung Agresi Rusia (Pixabay.com)

Imperialisme Amerika Serikat di Abad ke-21 itu nyata adanya, tapi bukan berarti imperialisme dan kejahatan dunia cuma milik negara itu semata.

Perang Rusia vs Ukraina belum terlihat menemui akhirnya. Dan hingga kini, masih (lumayan) menyita perhatian. Tidak mengagetkan sebenarnya, wong cukup jarang di era ini, sebuah negara Eropa melakukan serangan militer secara blak-blakan ke negara Eropa lainnya.

Meskipun fenomena ini cukup unik—serta tragis tentunya. Yang justru membuat saya sampai saat ini geleng-geleng kepala bukanlah perangnya sendiri, melainkan ISI dari kolom komentar pemberitaan di media-media lokal soal perang ini. Isinya itu loh…

 Menyedihkan. Dan kali ini saya mau membahas hal paling lucu: mendukung Rusia karena benci dengan Amerika Serikat. 

AS mungkin iblis, tapi bukan berarti lawan-nya selalu bidadari 

Di sini saya tidak akan mengelak, Amerika Serikat memang memiliki kejahatan kemanusiaan yang tidak lagi terhitung jumlahnya. Mereka sudah terlibat dengan ribuan intervensi, secara tertutup maupun terang-terangan, ke negara-negara di seluruh dunia. Maka tidak mengherankan bahwa perspektif publik akan Amerika Serikat, khususnya masyarakat Indonesia, tergolong tidak begitu baik.

Bahkan sebelum Jokowi dijadikan kambing hitam atas setiap kegagalan dan susahnya kehidupan di negara ini, Amerika Serikatlah yang jadi sasaran.

Penilaian buruk ini juga terus menghantui AS di setiap gerak-geriknya yang selalu dipandang dengan curiga. Imbasnya juga turut dirasakan oleh organisasi-organisasi yang diprakarsai AS, ataupun negara-negara yang hubungannya cukup dekat dengan Land of the Living Dream.

Dengan begitulah, sebuah asumsi terbangun akan “karakteristik” dari aktor-aktor yang mengisi panggung perpolitikan global. Rumusnya cukup sederhana: Amerika Serikat = jahat, dan jika ada yang dekat dengan AS, mereka juga berarti dikendalikan atau terlibat dalam rencana jahat. Sederhana untuk dipahami, dan tidak terlalu memusingkan kepala.

Setelah ditempatkan sebagai pemeran antagonis, tidak jarang juga hadir asumsi lainnya. Seperti, aktor-aktor yang melawan AS berada di jalan “kebenaran” dan diagungkan bak “bidadari”. Padahal, realitasnya tidak segampang dan selalu seperti itu.

Contohnya, sering ditemukan orang-orang yang mengidolakan tokoh-tokoh otoriter semacam Kolonel Gaddafi atau Saddam Hussein hanya karena mereka bertentangan dengan AS. Orang yang memberikan dukungan tersebut tidak memedulikan ribuan jiwa yang ditindas dan hilang dalam aksi-aksi yang dijalankan kedua pelaku sejarah tersebut.

Logika yang digunakan di sini adalah, “musuh dari musuh saya adalah kawan saya”. Logika yang cacat dan menyesatkan sebenarnya, terlebih ketika yang jadi pembahasan di sini adalah soal panggung perpolitikan internasional yang, jika harus bahas moral, hitam atau putihnya tidak akan pernah tampak.

Contoh ini hadir dalam konflik antara Ukraina dengan Rusia. Dan karena Ukraina condong dekat dengan AS, maka sudah jelas siapa pemeran “protagonist” terbaru yang tiba-tiba banyak mendapatkan dukungan netizen Indonesia: Rusia.

Ura ura… Ura umum!

“Ura!” Itu adalah seruan legendaris dari tentara Rusia. Belakangan, media sosial dan kolom komentar berita lokal yang mengangkat topik invasi Rusia atas Ukraina sering dipenuhi oleh tulisan-tulisan semacam ini. Tidak sampai situ, komentar yang diisi tulisan “Ura” juga sering dilanjutkan dengan dukungan penuh kepada Rusia, Putin, dan celaan kepada Ukraina atau presidennya. Yang menjadi aneh di sini adalah, komentar-komentar tadi dituliskan oleh orang Indonesia sendiri, bukan orang Rusia ataupun orang Ukraina.

Hal serupa juga terjadi di medsos. Pembahasan mengenai konflik ini acapkali didominasi oleh narasi yang cenderung mendukung Rusia. Dan ketika “pendukung” bersangkutan diajak diskusi atau ditanya mengenai alasan serta pondasi dari pandangannya. Sering kali jawaban yang didapatkan berakhir dengan “Makanya kamu banyakin baca dulu!”.

Jawaban-jawaban semacam itu membuat saya menyadari bahwa alasan dari dukungan kepada Rusia ini lebih banyak didasarkan kepada kebencian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan AS. Serta bagaimana orang-orang begitu saja mempercayai propaganda-propaganda Rusia yang—jika kita meluangkan sedikit waktu saja untuk melakukan riset—sudah terbantahkan oleh lembaga-lembaga penelitian independen yang bergerak langsung di kawasan konflik. 

Dukungan kepada Rusia sebenarnya tidak hanya murni disebabkan oleh prasangka publik kepada Amerika Serikat saja. Bagaimana Rusia mempertunjukan dirinya secara internasional juga memainkan peran yang cukup kuat dalam hal ini.

Salah satu upaya publisitas yang saya rasa paling terkenal adalah melalui penggambaran persona Putin sebagai pemimpin kuat, macho, dan “bijaksana” lewat kontrol media. Masyarakat awam yang melihat hal ini akan cenderung menganggap Putin sebagai pemimpin “sempurna”, sehingga dalam beberapa kasus akan mudah untuk mendukung aksi Rusia.

Padahal, perang yang terjadi di Ukraina merupakan bentuk dari perang agresi yang tidak dapat dibenarkan dari Rusia. Konflik ini telah dibangun oleh Rusia sejak kependudukan mereka atas Krimea pada 2014 lalu. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Rusia juga tidak luput dari dosa-dosanya dalam mengintervensi permasalahan domestik negara-negara lain. Atau bahkan, dalam mengopresi kebebasan bersuara dan kebebasan berpolitik dari masyarakatnya sendiri.

Dengan membukakan diri untuk menjadi lebih kritis, kita dapat menyadari bahwa Amerika Serikat bukanlah satu-satunya imperialis. Mendukung Rusia dalam perkonflikan satu ini bukan berarti kita mendukung perlawanan terhadap imperialisme. Justru sebaliknya, dukungan kepada Rusia yang menghendaki perang agresi sama artinya dengan kita mendukung imperialisme Rusia.

Sebenarnya masih banyak yang rasanya perlu dibahas seputar bagaimana netizen Indonesia yang budiman menanggapi semua berita soal perang ini. Tapi, saya cukupkan sampai sini saja. Selain kepanjangan kalau ditulis satu-satu, dan takutnya saya malah jadi dituduh “buzzer” Barat. Atau lebih ngeri lagi, dituduh liberal komunis, cap yang diberikan kepada orang-orang yang tidak setuju dengan opini mayoritas.

Nggak, saya nggak takut, tapi merasa bodoh saja dituduh liberal komunis.

Penulis: Raffyanda Muhammad Indrajaya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Serangan Rusia ke Ukraina: Mungkinkah Perang Dunia III Terjadi?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version