Benang layangan yang terlihat sepele ternyata bisa berubah menjadi ancaman serius. Dari sekian banyak kejadian, saya sering mendengar pengendara motor terluka karena lehernya terjerat benang layangan. Ada juga berita tentang kabel listrik yang putus gara-gara layangan tersangkut, bahkan padamnya listrik yang dipicu gesekan akibat benang gelasan—benang yang diberi serbuk kaca untuk lebih tajam—tersangkut dan menggores kabel listrik.
Disisi lain, di tengah semua bahaya ini, banyak orang dewasa yang justru terburu-buru menyalahkan anak-anak. Padahal, kalau mau jujur, masalahnya lebih kompleks dari itu.
Saya paham betul kekhawatiran para orang tua dan warga kota. Benang layangan, terutama yang terbuat dari gelasan, memang bisa jadi ancaman mematikan. Bagi pengendara motor, itu mimpi buruk. Leher bisa tergores, luka parah, bahkan ada kasus yang sampai merenggut nyawa.
Setiap musim kemarau tiba, seperti saat ini ketika angin mulai stabil dan langit cerah, musim layangan pun dimulai. Sayangnya, justru di musim inilah banyak potensi kecelakaan bermunculan. Sebab, aktivitas main layangan sering kali berpindah ke tempat yang tidak seharusnya: jalan.
Jangan langsung salahkan anak-anak yang bermain layangan
Menurut saya, kita sebagai orang dewasa jangan buru-buru salahkan anak-anak atas insiden ini. Coba deh lihat realita yang ada. Dulu, anak-anak bisa main layangan di sawah yang luas atau lapangan yang terbuka. Sekarang? Banyak dari ruang terbuka itu sudah berganti wajah. Sawah disulap jadi perumahan elit dan lapangan berubah jadi kafe hits dengan lampu warna-warni.
Ya nggak salah juga sih kalau ada orang yang ingin tinggal di rumah baru atau membuka kafe. Tapi, dampaknya, ruang bermain untuk anak-anak kian menyusut. Anak-anak akhirnya mencari ruang alternatif: jalan raya, gang sempit, atau bahu jalan.
Saya pernah lihat sendiri, anak-anak berlarian mengejar layangan yang putus hasil sambitan di tengah jalan. Mereka bahkan tanpa ragu menyeberang di tengah lalu lintas yang ramai. Buat mereka, mengejar layangan yang putus semacam petualangan seru. Tapi, buat orang dewasa yang melihatnya? Deg-degan bukan main. Potensi kecelakaan sangat besar, baik untuk si anak maupun pengendara yang kaget melihat bocah tiba-tiba menyeberang.
Ancaman benang layangan di jalanan tanda minimnya ruang terbuka aman
Ini bukan cuma soal layang-layang. Ini soal kurangnya ruang aman dan layak bagi anak untuk bermain. Idealnya, sebuah kota punya ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas wilayah, tapi kenyataannya banyak kota besar di Indonesia yang bahkan tidak mencapai setengah dari angka itu.
Anak-anak akhirnya tumbuh dalam lingkungan yang sempit, baik secara fisik maupun sosial. Mereka lebih sering disuruh diam di rumah, main gadget. Kalaupun keluar, ya main di tempat yang kurang aman.
Tentu saja saya tidak bisa serta-merta membela anak-anak yang main layangan sembarangan. Perlu ada edukasi juga soal bahaya dan batasan-batasan bermain. Tapi, membentak, atau bahkan memukul mereka bukan solusi. Anak-anak hanya mencari ruang untuk menjadi anak-anak. Mereka belum paham risiko, belum cukup umur untuk berpikir panjang. Tanggung jawab utama tetap ada di tangan kita—orang dewasa.
Pemerintah perlu turut campur
Pemerintah daerah bisa mulai memikirkan kembali pentingnya ruang terbuka publik yang aman dan terjangkau. Entah itu taman, lapangan bola, atau sekadar lahan kosong yang dijaga fungsinya. Ruang seperti itu bisa menjadi tempat pelarian yang sehat untuk anak-anak, alih-alih mereka harus bermain di pinggir jalan atau atap rumah tetangga.
Jadi, kalau kita melihat anak-anak bermain layangan di pinggir jalan atau di atap rumah, jangan langsung marah. Coba tengok dulu sekeliling: adakah tempat yang lebih aman yang bisa mereka akses? Kalau tidak ada, itu berarti kita yang perlu bergerak. Mungkin bukan salah siapa-siapa, tapi sudah saatnya kita berhenti saling menyalahkan dan mulai mencari solusi bersama.
Layangan seharusnya jadi lambang keceriaan anak-anak. Tapi, kalau tidak ditangani dengan bijak, benangnya bisa jadi ancaman berbahaya. Bukan hanya bagi tubuh, tapi juga bagi masa depan ruang terbuka dan permainan tradisional di kota kita.
Penulis: Imam Dwi Widiantoro
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Benang Layangan Melintang di Jalan, Bahaya Mematikan yang Tak Terlihat dan Sayangnya Kerap Diabaikan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
