Beli Motor Baru di Desa Tak Pernah Jadi Hal yang Sederhana, Pakai Mandi Air Kembang dan Kudu Siap Jadi Berita!

Beli Motor Baru di Desa Tak Pernah Jadi Hal yang Sederhana, Pakai Mandi Air Kembang dan Kudu Siap Jadi Berita!

Beli Motor Baru di Desa Tak Pernah Jadi Hal yang Sederhana, Pakai Mandi Air Kembang dan Kudu Siap Jadi Berita!

Di desa, motor baru itu bukan sekadar kendaraan. Ia adalah tonggak sejarah, penanda status sosial, serta center of attention yang bisa bikin satu kampung heboh hanya dengan suara “ngeng” pertama dari knalpotnya. Bahkan kadang rasanya, motor baru lebih dihargai daripada pemiliknya.

Lucu ya, motor diperlakukan kayak anak pertama. Padahal anak pertama aja kadang masih suka disalahin kalau adiknya jatuh.

Fenomena beli motor baru di desa ini sebenarnya sudah jadi tradisi turun-temurun. Orang-orang kota mungkin mengira prosesnya sederhana: beli–bawa pulang–pakai. Hah, tidak semudah itu, Ferguso. Di desa, membeli motor baru adalah perjalanan spiritual.

Pertama-tama, motor harus melewati ritual wajib: diuji lewat jalan desa yang entah kenapa selalu rusak di titik yang sama selama 20 tahun. Kalau musim hujan, jalanannya berubah jadi kubangan kerbau. Mau bawa motor baru? Rasanya seperti mengantarkan bayi baru lahir melewati wahana arung jeram. Kalau musim kemarau, lain lagi. Debu berterbangan sampai masuk ke pori-pori, bikin motor baru kamu berubah warna jadi “coklat tanah”. Motor baru satu hari, tapi vibe-nya sudah kayak motor adventure yang habis touring dua benua.

Dan anehnya, orang-orang di desa bakal komentar, “Wah, motormu sudah nyatu sama desa.”

Yang dimaksud “nyatu” itu barangkali becaknya sudah penuh lumpur dan debu.

Motor baru dimandiin pake air kembang

Tapi bagian paling sakral bukan di jalan rusaknya. Bagian paling sakral adalah ritual memandikan motor dengan air kembang. Yes. Motor baru di desa tingkat kemewahannya diukur dari seberapa banyak mawar, kenanga, dan melati yang menempel di bodinya. Semua orang sudah tahu: motor baru harus disiram air kembang biar “adem”. Saya kadang heran, itu adat atau motor dianggap punya aura?

Kadang ada syukuran kecil-kecilan juga. Ada roti, ada teh hangat, ada tetangga ngumpul. Mereka duduk, ngobrol, sambil ngeliatin motor—seolah-olah motor itu pengantin baru yang sedang dipamerkan. Bahkan recehan pertanyaan standar langsung keluar:

“Credit apa cash?”

“Berapa angsurannya?”

“DP ne piro?”

“Suaranya kok halus banget? Awas kalau ngebut ya, nanti tak laporkan ke ibumu.”

Dan itu baru permulaan. Begitu motor dipajang di teras, aktivasi radar tetangga langsung ON. Ibu-ibu yang biasanya sibuk ngejemur, mendadak melambatkan langkah. Mata melirik seolah-olah mereka punya fitur zoom 4x bawaan lahir. Dari jauh mereka bisa mendeteksi: merek motor, warna, hingga stiker bawaan dealer.

Sementara bapak-bapak biasanya pura-pura acuh. Tapi begitu kamu matiin mesin motor, mereka muncul dari balik pagar.

“Coba tak delok mesine…”

“Spionmu apik iki.”

“Suspensine empuk ra?”

“Pancen Yamaha… Semakin di Depan.”

Tentu saja, itu semua sambil merokok dan mengangguk-angguk sok paham.

Bapak-bapak jadi analis dadakan

Kalau motor lewat pertama kali di depan warung, wah… lebih heboh lagi. Mendadak semua bapak-bapak yang ngopi akan refleks nengok. Jangan salah, bukan nengok biasa. Ini nengok evaluatif. Nengok penuh penilaian moral dan ekonomi.

“Wah, motore anyar…”

“Pasti kredit iki.”

“Gajine piro yo?”

“Ati-ati lho, suku bungane gede.”

Saya cuma lewat, tapi pembahasan berkembang jadi diskusi panel ekonomi skala nasional.

Dan belum satu hari motor sampai rumah, gosip sudah menyebar lebih cepat daripada broadcast WA ibu-ibu pengajian. Tetangga sebelah sudah tahu. Tetangga ujung gang juga tahu. Bahkan tetangga yang rumahnya masuk jalan buntu pun tahu.

Hebat sekali. Motor saya bahkan belum sempat saya cuci, tapi informasinya sudah tersebar sampai ke radius dua dusun.

Anak kecil tidak ketinggalan. Mereka akan menyentuh motor dengan rasa ingin tahu yang lebih besar dari ingin tahu masa depan. Ada saja tangan-tangan mungil yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, menaburkan sidik jari suci ke bodi motor.

“Jangan disentuh, Nak!”

Terlambat. Sedikit lagi, motor ini masuk ke ranah investigasi CSI.

Komentar tetangga memang ajaib

Tapi, dari semua fenomena motor baru di desa, bagian paling menegangkan adalah: komentar tetangga. Tidak ada yang sesensitif telinga seseorang selain komentar tetangga tentang barang baru. Dan komentar-komentar ini biasanya antara memuji dan menyindir.

“Wah, baru ya? Bagus motornya…”

“Semoga awet… kalau nggak kredit lama.”

“Warnamu itu lho cerah banget, cocok buat yang masih lajang.”

“Angkot wis wayahe ganti, to?”

Saya cuma bisa senyum. Meskipun dalam hati ingin berteriak, “Bu, saya barusan nyicil ini motor. Tolong hargai.”

Tapi begitulah desa. Ramai, heboh, sok paham, tapi justru itu yang bikin hidup jadi lucu. Walaupun motor saya jadi sorotan se-RT, nanti kalau bannya bocor, mereka juga yang bantu. Kalau saya telat bayar cicilan, mereka juga yang bilang, “Sabar, Sing penting sehat.”

Motor baru di desa itu kayak bayi pertama: diramein, dibahas, diomentari, kadang diperlakukan berlebihan. Tapi ya dinikmati aja. Karena di balik ributnya, ada rasa kebersamaan yang nggak bisa dibeli di dealer mana pun.

Kalau kamu bisa melalui fase beli motor baru tanpa stres, selamat. Artinya kamu sudah naik level dari warga desa biasa jadi pahlawan motor nasional. Dan percayalah, setelah satu minggu, gosipnya bakal reda.

Sampai ada yang beli motor baru lagi. Dan siklus kehidupan pun berulang.

Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Genio Jadi Pilihan Kedua Setelah Scoopy, tapi Malah Jadi Motor Honda Terbaik yang Tidak Saya Sesali Pembeliannya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version