Belakangan ini rakyat jagat Twitter diramaikan sebuah utas oleh seorang ibu rumah tangga bernama Khaerani yang membagikan resep “Bekal untuk Suami Hari Ini” lengkap dengan foto bekal makanan yang cantik dan ciamik. Twit tersebut telah memperoleh retweet dan likes hingga ratusan ribu. Kalau saya sih simpan dulu, kepakainya nanti kalau udah punya suami yang entah berapa tahun lagi.
Melihat utas tersebut imajinasi saya jadi ke mana-mana. Membayangkan setiap pagi menyiapkan bekal untuk suami ke kantor dengan rancangan menu empat sehat lima sempurna berbonus cinta di dalamnya. Membuat masakan untuk orang yang kita cintai memang menjadi kebahagiaan tersendiri. Namun, hal ini tidak berlaku bagi feminazi alias feminis abal-abal pembenci lelaki garis keras.
Para feminazi ini sepertinya sangat sensitif dengan segala hal yang berbau laki-laki, termasuk kata “suami”. Alhasil utas milik Mbak Khaerani yang sebetulnya B aja, nggak menyinggung siapa pun, segera menjadi pemicu ledakan kemarahan feminazi yang kebablasan sensitifnya. Sejak tragedi ini pun muncul istilah baru “SJW bekal”.
“Bekal buat suami? Kalo gue. Gue ga bakalan mau bikin ini semua buat suami. Emang dia siapa gue? Even sehidup semati kayanya gue ga bakal melayani sedetail ini.”
Woaaahhh… saya tepuk tangan paling keras buat orang yang ngomong begitu. Sungguh open-minded. Saya kagum. Contoh orang tangguh dan sangat ingin hidup mandiri bin bebas.
Coba deh kalau narasinya dibalik jadi begini: “Nafkah buat istri? Kalo gue. Gue ga bakalan mau ngasih uang gue buat istri. Emang dia siapa gue? Even sehidup semati kayanya gue ga bakal menafkahi sedetail ini.” Ngeri-ngeri sedap nih suaminya.
“Emang dia siapa gue?” memang menjadi poinnya. Kalau begitu buat apa menikah jika pasangan sendiri tidak dianggap?
Ada juga SJW yang mengaitkan bekal dengan selingkuhnya suami. Membuat bekal untuk suami tidak menjamin sang suami akan terus setia dengan istrinya. Bisa jadi di kantor suami makan bekal buatan istrinya bersama kolega perempuan yang merangkap sebagai pelakor. Astaga.
Sejak dulu saya mengamati memang ada sesuatu yang tidak beres dengan konsep feminis yang banyak didakwahkan di media sosial. Seakan-akan feminisme mengajarkan untuk menindas laki-laki, perempuan adalah mahluk mahabenar, penganut anti kutang-kutang klub, dan tidak percaya adanya Tuhan. Perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak, dan melayani suami dengan penuh kasih sayang sudah pasti suporter patriarki.
Menurut mereka, mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, memasak, menyapu, mengepel, dan sebagainya merupakan pekerjaan babu. Padahal pekerjaan rumah tersebut merupakan skill dasar manusia untuk bertahan hidup. Ya, positive thinking saja, mungkin mereka bukan manusia.
Konsep feminisme sebenarnya adalah kesetaraan perempuan dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan, pekerjaan, politik, dan ekonomi di ruang pribadi dan ruang publik. Feminisme juga memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih jalan hidupnya.
Seorang feminis sejati tidak akan mengampanyekan anti-nikah karena pernikahan merupakan pilihan hidup. Sering saya menemukan feminazi mengkritik orang-orang yang hidup bahagia karena menikah, melabeli perempuan yang menjadi istri sebagai korban patriarki dan mau-maunya diperbudak suami, lengkap dengan argumen bahasa Inggrisnya agar dicap intelek, edgy dan open-minded. Lah, kalau korban, harusnya dibela dan diedukasi dong, bukannya diserang.
Balik lagi ke masalah bekal-bekalan, sebenarnya sejak zaman dahulu pun sudah ada budaya ini. Perempuan menyiapkan bekal untuk laki-laki sejak Perang Dunia II karena urusan makan yang mulai sulit membuat penjatahan makan dilakukan di beberapa negara, contohnya di Amerika. Sebelumnya, pada abad ke-12 masalah perbekalan ini bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan karena tidak terikat jam kerja. Untuk perbekalan anak bisa disiapkan oleh ibu atau bapaknya.
Di Indonesia sendiri, tradisi membawa bekal sudah ada seiring dengan berkuasanya Jepang di Hindia-Belanda. Hal ini terjadi karena adanya perubahan kebijakan pangan, di mana Jepang menyuruh penduduk menyerahkan hasil panen pertanian dan perkebunan ke pihak Jepang untuk amunisi Jepang selama Perang Dunia II.
Karena pasokan makanan bagi pribumi makin sedikit, banyak orang kelaparan dan kurang gizi, membuat Jepang dikecam oleh dunia. Jepang pun bikin propaganda “Hinomari bento” yang artinya “kotak makan siang Matahari Terbit” sebagai bentuk keprihatinan dan kesederhanaan di tengah situasi yang sulit. Hinomaru bento pertama kali digagas oleh sebuah sekolah perempuan di Hiroshima. Kotak bekal tersebut berisi nasi dan acar berbentuk bendera Hinomaru sebagai lambang patriotisme.
Selama Perang Dunia II, penanaman, pengolahan hasil pangan, dan pembuat makanan tentara diserahkan kepada perempuan karena para lelaki sibuk berjuang di medan perang. Indonesia punya Erna Djajadiningrat, pejuang wanita yang memiliki peran penting menyuplai logistik (termasuk makanan) sehingga menerima penghargaan Bintang Gerilya. Pahlawan emansipasi itu sebetulnya banyak kok, tapi yang trending hanya R.A. Kartini atau Dewi Sartika. Kalau mereka-mereka ini hidup di zaman sekarang, mungkin sudah punya follower paling banyak di Instagram.
Erna Djajadiningrat merupakan anak dari Bupati Serang R.A.A. Achmad Djajadiningrat. Beliau mengenyam pendidikan sekolah dasar Europeesche Lagere School, sekolah menengah Hogereburgerschool, dan Middlebare Huishoudschool (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Setelah itu beliau mengabdi menjadi guru di Van Deventer School di Solo demi melancarkan misi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain aktif mengajar dan berorganisasi, Erna mendirikan WANI (Wanita Indonesia) bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ullfah pada 1945. Ketika pertempuran di masa kolonial, pasokan makanan merupakan faktor penting untuk membantu lancarnya pertempuran. Erna rela menghibahkan rumahnya yang terletak di Jalan Mampang 47, Jakarta Pusat sebagai dapur umum untuk membuat makanan yang nantinya akan disalurkan kepada para pejuang.
Lantas, gimana nih pendapatnya para feminazi setelah menyimak sejarah di atas? Wanita sehebat Erna Djajadiningrat saja masih mau masak kok, bikin perbekalan buat para pejuang tempur yang notabene laki-laki. Apakah Erna Djajadiningrat punya pemikiran: “We shouldn’t treat a man this nice”?
Mungkin utas viral Mbak Khaerani tidak akan memicu perdebatan netizen Twitter vs feminazi jika saja ia tak memakai judul utas “Bekal untuk Suami Hari Ini”, melainkan kata “suami” diganti dengan kata “akhirat”, misalnya.
BACA JUGA Feminis Meributkan Tagar #bekaluntuksuami Itu Omong Kosong
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.