Saya di sini tidak untuk memberikan tips atau sejenis kiat sukses mengenai bagaimana agar dapat menulis di Terminal Mojok. Saya sendiri bukan redaktur atau pihak belakang panggung sehingga nggak ada wewenang sama sekali untuk memberikan saran tersebut.
Justru saya di sini menjadi antitesis dengan menampilkan beberapa alasan mengapa jangan menulis di Terminal Mojok. Mungkin hanya Terminal Mojok yang berani menampilkan konten yang justru dapat mengkritik platformnya sendiri. Sesuai dengan motto Mojok, “Sedikit nakal banyak akal”. Jadi, kontennya berisi tulisan nakal terhadap platform itu sendiri.
#1 Bayaran minimalis
Jika kalian menulis untuk mendapatkan uang banyak, saya sarankan janganlah di sini. Pasalnya, satu tulisan yang diterbitkan itu hanya akan mendapatkan kompensasi senilai dua puluh ribu rupiah. Atau sekadar cukup untuk membeli rokok Surya 12 plus kopi hitam satu cangkir, itu pun kalau nambah gorengan bisa jadi ngutang.
Menurut saya, menjadi penulis di Terminal Mojok itu bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah profesi. Jika pekerjaan, kalian pantas untuk menuntut upah bayaran yang lebih jika memang itu sesuai dengan kerja keras kalian.
Namun, jika profesi, belum tentu menghasilkan bayaran, bahkan bisa jadi mengeluarkan biaya. Pasalnya bukan uang tolok ukurnya, melainkan pelatihan skill, karya, atau mungkin sekadar hobi.
Ambillah contoh profesi mahasiswa. Nggak ada ceritanya pekerjaan menjadi mahasiswa, yang lebih tepat adalah profesi menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa itu nggak untuk mendapatkan sebuah bayaran, bahkan disuruh membayar. Menjadi mahasiswa itu untuk mendapatkan pengembangan skill, atau mendapatkan pengetahuan, bukan bayaran.
Contoh lain juga profesi seniman. Menjadi seniman itu juga nggak memiliki tujuan untuk mendapatkan bayaran atas karyanya. Meskipun beberapa menghasilkan uang atas karyanya, tapi itu hanyalah nilai plus atas profesi seniman. Sedangkan yang paling penting adalah terus berkarya dalam berprofesi menjadi seniman.
Begitu pun dengan menjadi penulis di Terminal Mojok. Penulis nggak begitu mengharapkan akan suatu bayaran, meskipun ada kompensasinya, tapi itu nilai plus saja, sama halnya kasus seniman tadi. Namun, yang terpenting adalah selalu terlatihnya skill menulis melalui bimbingan redaktur dan terus menghasilkan suatu karya.
#2 Jauh dari kata ilmiah
Jika kalian mencari atau hendak membuat suatu artikel ilmiah, saya pastikan Terminal Mojok bukanlah tempatnya. Pasalnya, Mojok bukanlah sebuah platform jurnal ilmiah layaknya kumpulan artikel ilmiah akademik kampus. Apalagi terakreditasi “sinta” oleh Kemenristek, malah blas nggak sama sekali.
Terminal Mojok itu hanyalah sekumpulan tulisan yang sedikit mokong alias nakal mengenai segala keruwetan kehidupan umat manusia, tentunya dengan retorika yang cukup dapat diterima oleh akal. Sesuai dengan mottonya, “sedikit nakal banyak akal”.
#3 Seleksi tulisan begitu ketatnya minta ampun
Percayalah, bahwa seleksi tulisan di platform ini ketat banget, seketat legging artis papan atas. Mengapa saya katakan begitu? Pertama, yakni persaingan antarpenulis. Asal kalian tahu bahwa penulis di sini telah mencapai ribuan. Kalian perlu berjibaku secara kompetitif untuk menghasilkan karya tulisan terbaik di antara mereka.
Belum lagi calon penulis yang tulisannya belum diterima di Terminal Mojok, mungkin bisa jadi berjumlah ribuan penulis juga. Bayangin saja seberapa banyak itu, jika dikumpulkan semuanya mungkin sudah bisa mendirikan partai.
Kedua, kriteria tulisan harus memiliki sudut pandang yang benar-benar unik, bahkan nggak kepikiran oleh orang lain. Ibarat dalam suatu koloni pikiran manusia di muka bumi ini, maka kalian harus menjadi satu pikiran yang berbeda sama sekali dengan yang lain.
Jadi kalian para penulis Terminal Mojok, terutama calon penulis, harap dipikir-pikir terlebih dahulu. Kalau perlu bertapa dulu ke gua, gunung, atau tempat terpencil lainnya. Barangkali dapat wangsit kebijaksanaan untuk lanjut menulis atau tidak.
BACA JUGA Menulis di Terminal Mojok: Bayaran Secukupnya, Usaha Sekerasnya dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.