Ramadan satu tahun yang lalu, saya menjadi volunteer di sebuah kegiatan pesantren kilat sebuah masjid. Saya kebagian tugas menjadi mentor pendamping kelompok. Lalu ada sebuah sesi acara di mana para peserta diminta untuk menuliskan cita-cita mereka besar nanti beserta alasanya. Ekspektasi saya pasti anak-anak akan menuliskan cita-cita yang kemudian menjadi favorit anak-anak kala diajukan pertanyaan semacam itu. Sebut saja guru, polisi, dokter, atau tentara. Setidaknya itu cita-cita yang menjadi favorit teman-teman seangkatan saya waktu SD dulu. Mungkin sekitar sepuluh tahunan yang lalu.
Saya mulai memperhatikan yang mereka tuliskan di sticky notes berwarna-warni tersebut. Beberapa ada yang langsung saya tanya karena terlihat sudah selesai dan tampak yakin dengan pilihannya. Saya cukup terkejut dengan jawaban dari anak-anak tersebut.
“Aku pengen jadi YouTuber, Kak. Pengen kayak Atta Halilintar. Bisa terkenal dan beli mobil bagus.”
Kemudian beberapa ada yang ingin jadi gamer yang punya channel YouTube karena merasa dirinya jago main Mobile Legend—game android yang cukup popular sebelum PUBG menyerang. Dari sepuluh anggota kelompok saya, tujuh orang laki-laki memiliki cita-cita seperti itu. Kemudian saya bertanya pada sang anak, tahu dari mana ia bahwa jadi YouTuber bisa membuat mereka jadi terkenal dan bisa beli mobil mahal. Kemudian anak-anak malah bertanya saya punya handphone Android atau tidak. Saya pun mengurungkan niat untuk mempelajari fenomena tersebut lebih lanjut.
Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing dengan fenomena tersebut. Mungkin saja booming-nya YouTuber sama seperti booming-nya penjual batu akik. Sampai sekarang memang masih ada, namun tidak seramai dulu.
Ternyata perkiraan saya salah. Semakin hari YouTuber semakin menjamur. Para selebriti yang habitat aslinya di televisi kemudian beramai-ramai hijrah untuk membuat channel YouTube. Beberapa selebriti kemudian mengatakan secara gamblang bahwa pundi-pundi uang yang didapatkan dari YouTube kemudian jauh lebih besar daripada pendapatan mereka di televisi. Apalagi pajak penghasilan belum mampu menginterupsi penghasilan dari YouTube.
Alhasil, saat ini YouTube kemudian menjadi lahan basah yang diperebutkan oleh banyak orang. Selain karena menyediakan penghasilan yang “wah”, YouTube juga memberikan kebebasan pada kita sebagai content creator. Tidak seperti televisi yang masih ada ganjalan benama KPI, YouTube relatif lebih aman. Mau ngomong kotor terus dalam sebuah video rasanya tidak ada yang akan mencekal atau memberikan sanksi. Ganjalannya mungkin hanya nyinyiran dari netizen ketika kita mengunggah konten yang aneh atau tidak sesuai dengan kemauan mereka.
Kebebasan yang tidak ada batasnya biasanya akan menimbulkan masakah. Itu yang terjadi dengan YouTube hari ini. YouTube yang menurut saya pribadi awalnya adalah sebuah media altenatif dari program di televisi yang semakin tidak jelas—malah ikut-ikutan tidak jelas. Salah satu indikatornya adalah konten di YouTube yang secara sekilas sudah semakin mengikuti acara televisi.
Ketika saya membuka jendela trending di Youtube, konten yang booming pasti tidak jauh dari review kuliner, berkunjung ke rumah artis terus ngobrol-ngobrol, dan acara ngerjain orang alias ngeprank. Pola acara seperti ini sebetulnya akan dengan mudah kita temukan di berbagai stasiun televisi. Ditambah lagi dengan para gamer yang juga eksis di YouTube, tanpa pikir panjang mengucapkan kata-kata “kotor.” Sulit bagi saya hari ini untuk menemukan konten YouTube yang benar-benar beda dengan yang ada di satuan televisi sekarang.
Saya menjadi ingat dengan John Elkington yang mengemukakan konsep triple bottom line yang terdiri dari people, profit dan planet dalam kegiatan berbisnis. Mari kita anggap kegiatan menjadi YouTuber adalah sebuah kegiatan bisnis karena pasti ada modal yang dikeluarkan dengan mengharapkan sejumlah keuntungan. Dalam konsep tersebut, Elkington mengemukakan bahwa dalam menjalankan bisnisnya sebuah perusahaan tidak bisa hanya memikirikan profit yang akan didapat. Perusahaan juga harus memikirkan kontribusi untuk lingkungan (planet) dan juga orang-orang (people) di sekitarnya.
Para kreator konten tentu harus menyadari bahwa mereka punya tanggung jawab moral kepada penontonnya. Jangan sampai membuat konten hanya karena mengincar viewers agar mendapat keuntungan yang besar. Sama seperti yang sering digaungkan oleh KPI, konten acara hiburan tetaplah harus menyelipkan nilai edukasi dan menjunjung tinggi nilai moral. Saya yakin jika video para gamer yang kadang-kadang suka diselipkan kata-kata kasar akan langsung ditegur KPI jika tayang di TV.
Mereka juga memiliki tanggung jawab kepada anak-anak yang menyaksikan mereka. Apalagi beberapa dari kreator konten di YouTube sekarang sudah menjadi idola tersendiri bagi anak-anak SD. Yang diharapkan dari seoang figur idola adalah sikap teladan yang baik, di depan maupun di belakang layar.