Menjadi mahasiswa gap year memang membutuhkan effort ekstra. Tak ayal banyak dari mereka memilih memalsukan tahun kelulusan saat SMA daripada harus menjelaskan berkali-kali, “Kok kamu baru kuliah sekarang?” kepada teman-teman seangkatannya.
Insecure akademik mahasiswa gap year itu nyata. Salah satu riset dari Universitas Negeri Surabaya tahun 2024 menemukan bahwa mahasiswa gap year cenderung mengalami gejala rendah diri, overthinking, dan kecenderungan kuat untuk melakukan self-comparison (individu membandingkan diri) dengan teman-teman yang tidak gap year. Kondisi psikologis ini bukan hanya membuat mereka merasa “kalah start”, hal ini juga berdampak pada kepercayaan diri di kelas, sampai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan akademik baru yang menjadi lebih sukar.
Fenomena ini kerap menjadikan gap year seolah “dosa sosial” yang harus ditebus dengan jawaban panjang lebar. Padahal, siapa yang mengharuskan hidup perlu linier? Lulus SMA langsung kuliah, terus lulus kuliah langsung kerja, terus nikah, punya anak, lalu masuk grup WA arisan RT. Siapa yang mengharuskan seperti itu?
Sulitnya menjadi mahasiswa gap year
Sulitnya jadi mahasiswa gap year pertama-tama datang dari rumah. Orang tua kadang jadi pihak paling cerewet, menanyakan rencana kuliah setiap minggu, seolah masa depan bisa dipaksa keluar hanya dengan banyak ditanya. Ada gap year yang dijalani karena gagal tembus kampus impian, ada juga yang karena masalah finansial. Keduanya sama-sama bikin kepala nyut-nyutan, karena harus menanggung beban ekspektasi keluarga sekaligus rasa malu pribadi.
Di luar rumah, tekanan ekonomi jadi babak berikutnya. Banyak mahasiswa gap year akhirnya mencoba kerja serabutan: jadi barista, admin toko online, atau bahkan ngojek. Bukan semata untuk dapat uang saku, tapi untuk membuktikan ke diri sendiri bahwa jeda setahun itu tetap produktif. Dan realitasnya, kerja sambilan malah bikin energi mental tergerus, dan ketika masuk kuliah, stamina sudah setengah habis.
Belum lagi soal pertemanan. Tahun gap year sering kali membuat lingkar sosial retak. Teman-teman seangkatan sudah sibuk dengan kehidupan kampus masing-masing, sementara yang gap year masih terjebak dalam ruang hampa: bukan lagi anak SMA, tapi juga belum resmi jadi mahasiswa. Kekosongan status ini bikin banyak gap year merasa sendirian, meski mereka sedang berada di keramaian.
Yang lebih berat lagi adalah rasa bersalah pada diri sendiri. Setiap melihat kalender, ada perasaan menyesal: “Seandainya aku dulu lebih serius belajar, mungkin aku sudah di semester tiga sekarang.” Perasaan ini kadang lebih kejam daripada cibiran orang lain, karena perasaan itu muncul dari dalam kepala sendiri dan sulit dimatikan.
Dan terakhir, gap year sering membuat orang jadi overkompensasi. Saat sudah masuk kuliah, mereka merasa harus selalu lebih rajin, lebih aktif, bahkan lebih berprestasi demi menutupi “keterlambatan” setahun itu. Hasilnya? Tidak jarang mereka kelelahan lebih cepat. Sulitnya jadi gap year bukan hanya soal adaptasi di kampus, tapi tentang bagaimana menanggung ekspektasi dari semua arah: keluarga, teman, ekonomi, dan diri sendiri.
Keistimewaan menjadi mahasiswa gap year
Meski penuh tantangan, gap year tidak selalu berarti kerugian. Ada sisi lain yang jarang diakui. Mahasiswa gap year biasanya datang ke kampus dengan mental yang lebih matang. Mereka sudah lebih dulu merasakan jatuh-bangun, entah gagal masuk kampus idaman, kerja serabutan, atau sekadar berhadapan dengan anggapan sinis orang sekitar.
Hasilnya, mereka jadi lebih siap menghadapi kenyataan bahwa kuliah bukan sekadar soal IPK, lebih dari itu juga tentang ketahanan mental.
Selain itu, gap year sering membuka kesempatan untuk menata ulang arah hidup. Ada yang baru menemukan jurusan sesuai minat setelah gagal di pilihan pertama, ada yang menyadari passion tertentu justru ketika bekerja setahun penuh. Kalau tidak ada jeda itu, mungkin mereka hanya ikut arus, kuliah sekadar formalitas, tanpa benar-benar tahu tujuan.
Dengan kata lain, gap year bisa jadi “tahun percobaan” yang menyelamatkan banyak orang dari salah jurusan.
Tidak jarang pula, mahasiswa gap year punya perspektif sosial yang lebih luas. Pengalaman bekerja, berorganisasi di luar sekolah, atau sekadar nongkrong lebih lama di dunia nyata membuat mereka lebih peka pada isu-isu kehidupan. Mereka tidak hanya sibuk menghafal teori di kelas, tapi juga bisa mengaitkannya dengan pengalaman konkret. Perspektif ini yang sering bikin mereka lebih kritis, lebih realistis, dan kadang lebih dewasa dibanding mahasiswa yang langsung kuliah tanpa jeda.
Tidak semua yang memilih berhenti sebentar itu sama
Tidak semua yang memilih berhenti selepas SMA menjalani gap year dengan cara yang sama. Untuk mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, gap year adalah proses bertahan hidup. Mereka harus bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk kuliah, atau membantu keluarga. Setiap keputusan, dari membeli buku hingga ikut satu-dua kegiatan, selalu dibayang-bayangi perhitungan finansial. Gap year mereka bukan jeda, mereka sedang mengumpulkan bekal.
Sementara itu, mahasiswa gap year dari keluarga berkecukupan punya pengalaman yang berbeda. Tahun kosong itu bisa digunakan untuk traveling, kursus bahasa, magang di luar negeri, atau sebatas eksplorasi minat. Mereka menikmati kebebasan tanpa terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi. Gap year bagi mereka bisa terasa seperti “tahun emas” yang memoles kesiapan mental dan pengalaman hidup sebelum benar-benar masuk dunia kampus.
Membayangkan semua mahasiswa gap year sama adalah salah besar. Bagi sebagian, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, jeda setahun terasa seperti sakaratulmaut setiap hari. Tekanan datang bertubi-tubi dan dari segala lini. Seperti, harus mengumpulkan uang untuk kuliah dan kebutuhan hidup sehari-hari, menghadapi pertanyaan orang tua yang tidak berhenti soal kapan kuliah dimulai. Kemudian, menyaksikan teman seangkatan sudah masuk kampus dan meraih prestasi, terpapar sosmed penuh foto liburan dan kursus teman yang bikin minder, menghadapi rasa bersalah karena merasa ketinggalan, memaksa diri tetap produktif meski energi sudah terkuras. Kemudian, mempertahankan harga diri di hadapan lingkungan sekitar, berjuang agar tidak kehilangan motivasi, menyesuaikan diri dengan perubahan tanggung jawab yang tiba-tiba besar, dan berhadapan dengan ketidakpastian masa depan yang terus menghantui pikiran.
Semua tekanan ini menumpuk, membuat satu tahun jeda terasa seperti medan perang yang harus dilewati setiap hari. Sungguh berat. Hingga saya tulis satu paragraf panjang hanya khusus untuk ini.
Lalu, apa?
Lalu, setelah semua tekanan, pertanyaan, dan perhitungan hidup itu, apa yang sebenarnya diajarkan gap year? Apakah soal ketinggalan dan rasa bersalah, atau justru tentang belajar memahami diri sendiri dan dunia sekitar? Mahasiswa gap year kadang menangis diam-diam, bertanya-tanya apakah semua usaha mereka akan sepadan, tetapi di balik itu juga ada kekuatan yang perlahan terbentuk. Gap year mengingatkan bahwa terlambat bukan kegagalan. Tidak ada kata “terlambat” untuk memulai.
Dan mungkin, justru karena pengalaman itu berat, ketika mereka akhirnya masuk kampus, mereka bisa menatap kehidupan dengan mata yang lebih terbuka, hati yang lebih dewasa, dan langkah yang lebih mantap.
Jadi, jangan buru-buru menilai atau menyamaratakan. Setiap cerita jeda berbeda, tapi semuanya punya nilai yang pantas dihargai.
Penulis: Sayyid Muhamad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gap Year Dianggap Buang Waktu padahal Tujuannya untuk Mengumpulkan Amunisi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
