Banyumas Tak Seindah Cocote Komika yang Singgah di Purwokerto

5 Kelebihan Kuliah di Purwokerto yang Mesti Diketahui Calon Mahasiswa: Nggak Kalah dari Semarang dan Solo banyumas

5 Kelebihan Kuliah di Purwokerto yang Mesti Diketahui Calon Mahasiswa: Nggak Kalah dari Semarang dan Solo (unsplash.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Banyumas, terutama Kota Purwokerto, mendadak jadi buah bibir di kalangan stand up comedian tanah air. Komika-komika papan atas seperti Pandji Pragiwaksono, Abdur, Cing Abdel, dan Yono Bakrie, secara terbuka memuji pengalaman mereka singgah di Purwokerto melalui berbagai kanal sosial media. Bagi mereka, Purwokerto menawarkan atmosfer yang berbeda, tenang, nyaman, dan penuh kejutan yang menyenangkan.

Apresiasi ini bisa dimaklumi. Bagaimana tidak? Kota Mendoan kini menjadi rumah bagi salah satu komika ternama Indonesia, Wira Nagara. Putra asli tanah ngapak ini memilih tinggal dan berkarya dari kota kecil ini. Keputusannya rupanya berimbas kepada rekan-rekannya yang justru ikut singgah, bahkan jatuh hati. Barry Williem, misalnya, terang-terangan menyatakan keinginannya untuk menetap permanen di Purwokerto. Narasi-narasi seperti inilah yang membangun citra romantis Banyumas di mata publik.

Namun, di balik puja-puji dan cocote para komika tersebut, Banyumas sejatinya menyimpan berbagai masalah struktural yang luput dari sorotan. Kenyamanan yang mereka rasakan bisa jadi hanya setipis kulit luar. Sebab jika ditelusuri lebih dalam, hidup dan tinggal di Banyumas, khususnya Purwokerto, bukan perkara mudah bagi warga biasa.

Realitas ekonomi: pekerjaan minim, gaji rendah

Persoalan paling nyata di Banyumas adalah terbatasnya ragam pekerjaan dan stagnannya nilai pendapatan. Pilihan untuk hidup layak di Purwokerto sebenarnya sangat terbatas. Pekerjaan yang memberikan rasa aman secara ekonomi hanyalah jalur ASN, BUMN, atau menjadi pebisnis yang sudah mapan. Di luar itu, peluang kerja terbatas dan upah yang ditawarkan tak sebanding dengan biaya hidup yang makin meningkat.

Contohnya? Saya pribadi tengah KPR rumah di sekitar Stasiun Purwokerto, salah satu kawasan yang disebut nyaman oleh para komika. Harga rumah mencapai Rp400 juta dengan cicilan bulanan lebih dari Rp3 juta. Bandingkan dengan UMR Banyumas yang hanya Rp2,3 juta. Mustahil rasanya bagi karyawan dengan gaji UMR untuk bisa memiliki rumah di kawasan strategis. Rumah subsidi memang ada, tapi lokasinya jauh dari sentra aktivitas kota. Artinya, mereka yang tinggal di situ tak akan merasakan “kenyamanan Purwokerto” seperti yang diceritakan oleh komika-komika itu.

Masalah sepele yang mengakar di Banyumas: parkir liar dan pungli jalanan

Masalah lain yang terlihat sepele tapi berdampak besar adalah maraknya pungutan liar, khususnya dalam bentuk retribusi parkir yang tak tertib. Parkir liar menjamur, dan tarif yang ditarik kerap tak sesuai dengan Perda. Motor dikenakan biaya Rp2.000, padahal yang sah hanya Rp1.000. Bahkan, ada juru parkir yang berani menarik bayaran di tempat-tempat yang tidak masuk akal.

Ini mungkin kecil bagi pengunjung atau komika yang singgah seminggu-dua minggu, tapi bagi warga lokal yang harus menghadapi ini setiap hari, totalnya bisa menggerus pendapatan yang sudah kecil.

Baca halaman selanjutnya

Wajah Banyumas yang asli

Ketimpangan kota dan desa, wajah asli Banyumas

Yang juga luput dari perhatian adalah ketimpangan antara Kota Purwokerto dan wilayah lain di Banyumas. Kota ini memang tampak maju, tapi desa-desa di pinggiran masih bergulat dengan masalah infrastruktur mendasar. Lihat saja Kecamatan Gumelar dan Lumbir. Internet lambat, listrik sering padam, jalan rusak, jembatan reyot, dan bangunan sekolah masih tetap ada yang belum layak. Ini bukan cerita baru. Kalau alasannya selalu “geografis”, lalu apa yang dilakukan selama ini?

Listrik yang sering padam memang terdengar remeh, tapi dampaknya masif. Sekolah-sekolah kehilangan akses digital, pengusaha lokal merugi karena perangkat rusak, dan yang paling ironis, daerah-daerah ini masih bagian dari Banyumas yang sama dengan Purwokerto.

Apresiasi penting, tapi jangan membius

Kita tentu patut bersyukur bahwa Banyumas kini diperhatikan dan dicintai publik, bahkan jadi inspirasi banyak orang lewat narasi para komika ternama. Tapi jangan sampai apresiasi ini membius. Pemerintah daerah harus tetap mendengarkan suara-suara kritis dari masyarakat yang hidup setiap hari dengan kenyataan berbeda dari yang dipotret oleh sosial media.

Purwokerto memang memesona. Tapi Banyumas lebih luas dari kota itu. Dan untuk benar-benar layak dicintai, Banyumas perlu perbaikan nyata, bukan sekadar pujian dari panggung hiburan.

Penulis: Mas Aditya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Biar Kalian Nggak Bingung, Saya Kasih Tahu Bedanya Purwokerto dan Banyumas

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version