Ketimpangan kota dan desa, wajah asli Banyumas
Yang juga luput dari perhatian adalah ketimpangan antara Kota Purwokerto dan wilayah lain di Banyumas. Kota ini memang tampak maju, tapi desa-desa di pinggiran masih bergulat dengan masalah infrastruktur mendasar. Lihat saja Kecamatan Gumelar dan Lumbir. Internet lambat, listrik sering padam, jalan rusak, jembatan reyot, dan bangunan sekolah masih tetap ada yang belum layak. Ini bukan cerita baru. Kalau alasannya selalu “geografis”, lalu apa yang dilakukan selama ini?
Listrik yang sering padam memang terdengar remeh, tapi dampaknya masif. Sekolah-sekolah kehilangan akses digital, pengusaha lokal merugi karena perangkat rusak, dan yang paling ironis, daerah-daerah ini masih bagian dari Banyumas yang sama dengan Purwokerto.
Apresiasi penting, tapi jangan membius
Kita tentu patut bersyukur bahwa Banyumas kini diperhatikan dan dicintai publik, bahkan jadi inspirasi banyak orang lewat narasi para komika ternama. Tapi jangan sampai apresiasi ini membius. Pemerintah daerah harus tetap mendengarkan suara-suara kritis dari masyarakat yang hidup setiap hari dengan kenyataan berbeda dari yang dipotret oleh sosial media.
Purwokerto memang memesona. Tapi Banyumas lebih luas dari kota itu. Dan untuk benar-benar layak dicintai, Banyumas perlu perbaikan nyata, bukan sekadar pujian dari panggung hiburan.
Penulis: Mas Aditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Biar Kalian Nggak Bingung, Saya Kasih Tahu Bedanya Purwokerto dan Banyumas
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















