Beberapa hari lalu saya misuh-misuh ketika mengendarai sepeda motor melewati Jalan Riau di sore jelang malam hari. Alasan saya misuh tak lain dan tak bukan karena sepanjang ruas jalan ini macet. Meskipun macet adalah makanan sehari-hari masyarakat Kota Bandung, tetap saja saya berhak untuk misuh-misuh, kan?
Ada banyak faktor yang menyebabkan kemacetan tersebut. Pertama, karena jumlah kendaraan yang saban hari makin bertambah. Kedua, karena Kota Bandung nggak punya sistem transportasi publik yang proper. Ketiga, karena Kota Bandung krisis lahan parkir. Faktor pertama dan faktor kedua sudah banyak yang bahas, jadi pada tulisan kali ini, saya akan membahas faktor ketiga.
Bandung kota wisata yang krisis lahan parkir
Sejumlah titik di Kota Bandung seperti kawasan Jalan Riau, Jalan Braga, Jalan Asia Afrika, hingga Jalan Dago selalu jadi destinasi masyarakat untuk berbelanja atau menikmati kuliner yang ada di sana. Sayangnya, tempat-tempat tersebut nggak punya area parkir yang memadai sehingga para pengunjung terpaksa parkir di bahu jalan atau bahkan trotoar. Padahal sepanjang jalan tersebut sudah ada rambu dilarang parkir.
Sebagai bagian dari masyarakat Kota Bandung, saya nggak bisa menyalahkan warga atau wisatawan luar yang parkir di bahu jalan atau bahkan trotoar. Pasalnya lahan parkirnya nggak ada. Hotel, restoran, coffee shop, factory outlet, sekolah, rumah sakit, dan gedung pemerintahan di kawasan-kawasan yang saya sebutkan, atau bahkan Kota Bandung secara general, lahan parkirnya sedikit sekali. Anggap saja parkiran mereka cuma bisa menampung 10 mobil dan 30 sepeda motor, tapi yang berkunjung lebih dari itu. Jadinya yang membeludak.
Saya suka kepikiran saat melihat hotel, restoran coffee shop, factory outlet, dll., di Kota Bandung. “Mereka mikir nggak sih nyediain lahan parkir buat para pengunjungnya?” atau, “Ini pengawasan dari pemkot gimana, sih? Izinin tempat tersebut berdiri, tapi kenapa nggak dipikirin aturan buat sedia lahan parkir yang memadai biar nggak bikin jalan macet?”.
Masalahnya, Kota Bandung ini kan katanya kota wisata. Dari dulu Pemkot dan para pengusaha mempromosikan kota ini sebagai kota wisata. Tapi kalau nggak siap dengan lahan parkir yang memadai itu kayak mengundang tamu ke rumah, tapi nggak menyediakan kursi buat duduk. Gimana, sih?
Perencanaan kota yang gagal
Krisisis lahan parkir bukan perkara macet doang. Hal tersebut menghilangkan hak pejalan kaki untuk jalan di trotoar karena trotoarnya banyak yang dijadikan lahan parkir buat mobil atau sepeda motor. Makanya nggak usah heran kalau akhirnya banyak titik parkir liar yang membuat Bandung kehilangan sumber mata pencaharian. Parkir liar kan nggak masuk ke dalam pendapatan Bandung. Ya, kan?
Sebenarnya ada solusi gampang yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah lahan parkir yang krisis ini. Yaitu copas negara maju kayak Jepang dengan membuat gedung parkir di sejumlah titik.
Nah, dulu pernah ada pemimpin yang punya konsep bikin gedung parkir terpanjang di Bandung untuk mengurangi kemacetan akibat kendaraan yang parkir di pinggir jalan. Katanya bakal terkoneksi dengan Bandung Skywalk. Nggak usah saya sebutkan namanya, kalian tahu siapa yang saya maksud, kan?
Saya pun nggak bisa menyalahkan wisatawan luar Bandung yang membawa kendaraan pribadi. Lha, pemerintah juga nggak menyediakan transportasi publik yang proper, kok.
Saya pikir krisis lahan parkir ini adalah ujung es dari sistem perencanaan kota yang ambaradul. Saya pribadi sudah nggak berharap banyak. Dulu waktu pemimpinnya punya background arsitek, saya sempat berharap beliau bakal kasih solusi yang baik soal ini. Tapi memang benar kata Sayyidina Ali, “Berharap pada manusia yang ada adalah rasa pahit.”
Jadi, solusi gimana? Ya pemkot yang mikir lah. Mereka kan digaji dari pajak kita buat memikirkan solusi dari masalah yang muncul. Masa iya saya juga yang harus mikirin krisis parkiran Kota Bandung? Mungkin para wakil rakyat yang di DPRD Kota Bandung atau DPRD Jawa Barat bisa membantu mendorong para eksekutif mencari solusi?
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jogja Memang Istimewa, tapi Mohon Maaf Bandung Lebih Nyaman untuk Ditinggali.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















