Bandung Dulu Dikenal Indah, tapi Kini Justru Jadi Bahan Olokan di Media Sosial

Jangan Tanya Rekomendasi Tempat Wisata ke Orang Bandung karena Orang Bandung Asli Biasanya Nggak Tahu

Jangan Tanya Rekomendasi Tempat Wisata ke Orang Bandung karena Orang Bandung Asli Biasanya Nggak Tahu (unsplash.com)

“Wah, enak ya kamu sekarang tinggal di Bandung. Dingin-dingin romantis, gitu,”

Itu adalah kata-kata kawan semasa kuliah setelah tahu saya merantau ke Bandung tujuh tahun silam. Mungkin, Bandung yang ada dalam bayangannya adalah pemandangan kawah putih dan hamparan kebun teh Ciwidey, tempat-tempat wisata di Lembang, atau Jalan Braga yang ramai dengan kafe-kafe estetik itu.

Julukan Paris van Java dan Kota Kembang begitu melekat pada Bandung, menimbulkan kesan kota vintage yang romantis. Ditambah keberadaan sebuah quote dari M.A.W. Brouwer yang diabadikan di sebuah dinding di Jalan Asia Afrika, tercetak tebal, besar-besar, dan tentu saja kemudian dijadikan latar berfoto:

“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”

Saya ingin tertawa mengingat komentar kawan tadi, sebab tampak sudah tak relevan lagi dengan Bandung di masa sekarang. Pun sebenarnya, Bandung tidak seromantis dan seestetik cuplikan di film-film. Bagi saya yang pernah tinggal di Jogja, Bandung terlihat lebih kumuh. Banyak sekali sampah yang menumpuk di pinggir-pinggir jalan dan belum diangkut. Banyak pula jalan-jalan di kabupaten yang penuh gronjalan, rusak, dan berlubang.

Belum wilayah-wilayah rawan banjir ketika sedang musim hujan. Perkampungan padat penduduk seperti di Jakarta, yang mana tidak saya jumpai di Jogja, ternyata di Bandung lumrah saja. Jika di beranda kita pernah lewat video Deddy Mulyadi yang menyambangi satu rumah yang dihuni belasan orang, mungkin itu hanya sekelumit gambaran bahwa Bandung punya masalah kesenjangan ekonomi yang amat nyata.

Belum lagi angka kriminalitas yang tinggi, gudangnya preman, tukang palak liar beredar di mana-mana, membuat Bandung punya julukan baru, yakni Gotham City. Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa Kota Kembang ini sekarang justru jadi bahan olokan di media sosial.

Bandung penuh sampah, kumuh, pabalatak, dan semrawut

Akhir-akhir ini di media sosial seperti Threads, banyak sekali yang membuat utas keluhan mereka tentang Bandung yang tak lagi nyaman dihuni. Banyak di antara mereka yang mengetik utas tentang sampah yang menumpuk dan tak kunjung diambil oleh petugas kebersihan. Akibatnya, pemkotnya pun ikut kena hujat warganet. Akun Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung @bdg.dlh memposting kondisi TPA Sarimukti yang semakin overload, deretan truk sampah mengantre, bahkan supir truk rela menginap di TPA karena proses pembuangan sampah tak kunjung selesai.

Masalah sampah di Bandung memang sedang menjadi perhatian masyarakat, terlebih setelah foto-foto kondisi di Pasar Induk Caringin yang dipenuhi sampah viral di laman media sosial. Bayangkan, pasar, tempat segala rupa bahan makanan diperjualbelikan, malah bercampur baur dengan tumpukan sampah. Bahkan banyak warga yang mengeluhkan, dari jarak agak jauh saja Pasar Caringin sudah bikin mual baunya.

Tentu bukan Cuma Pasar Caringin, tapi juga Pasar Gegerkalong, Pasar Kembar Mas di Jalan Moh. Toha, Pasar Ciroyom, dan pasar-pasar lainnya yang pengelolaan sampahnya sangat buruk.

Kuliner Bandung yang dinilai biasa saja

Rupanya, hujatan warganet bukan hanya tentang sampah, tapi ada juga yang membuat utas tentang makanan Bandung yang menurutnya standar enaknya rendah sekali. Untuk persoalan ini, mungkin hanya perkara selera personal belaka. Kenyataannya, kuliner Bandung sangat populer dan digemari di mana-mana seperti batagor dan siomay. Mungkin orang luar Bandung akan sedikit kaget ketika menjumpai mie kocok yang ada topping kikil sapinya. Atau soto Bandung yang lebih cocok disebut sop daging berkuah bening ketimbang soto yang biasanya berwarna kuning.

Baca halaman selanjutnya

Bandung gudang preman (?)

Orang Bandung soft-spoken, tapi Bandung justru gudangnya preman

Agaknya, kita semua tak ada yang berselisih tentang logat Sunda yang halus, pelan, dan terkesan sangat sopan, meski sebenarnya yang diucapkan adalah bahasa kasar. Sebagai orang Jawa yang numpang hidup di tanah Sunda, cara bicara saya yang ceplas-ceplos terdengar sangat berbanding terbalik dengan gaya bicara orang Sunda yang sedikit-sedikit, “Punten”. Ironisnya, Bandung tak lain adalah sarang preman, tukang parkir liar, dan Pak Ogah (oknum pengatur jalanan) yang mangkal nyaris di setiap belokan.

Premanisme di Bandung telah jadi fenomena yang tak kunjung terselesaikan. Meresahkan, namun tak pernah benar-benar diberantas.

Pemerintah yang sibuk merias bangunan, sementara jalan berlubang dibiarkan

Belakangan ini juga ramai kritik terhadap proyek pembangunan gapura Gedung Sate yang digarap oleh Gubernur Jawa Barat. Tercatat di Antara News, DPRD Jabar turut mengkritisi anggaran gapura gedung sate yang lebih baik dialokasikan untuk mengurus situs cagar budaya peninggalan orang Sunda zaman dulu. Kritik serupa juga telah dimuat di salah satu artikel di Terminal Mojok berjudul Menata Ulang Kawasan Gedung Sate Adalah Hal yang Sia-Sia. Untuk anggaran sebesar 3,9 M, pemerintah Jawa Barat dinilai tak paham skala prioritas.

Tentang gapura baru tersebut, banyak pula yang melontarkan kritik terkait rancangannya yang tidak sinkron dengan konsep bangunan Gedung Sate sendiri. Gedung Sate bergaya arsitektur zaman kolonial Belanda, sedangkan gapuranya terinspirasi candi Bentar di Cirebon. Gedung Sate bernuansa putih, sedangkan gapuranya bernuansa terakota.

Pemerintah terkesan buang-buang uang untuk hal yang kurang penting. Banyak hal yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan, seperti; kapan jalan-jalan berlubang itu ditambal? Bagaimana supaya daerah seperti Dayeuhkolot tidak lagi jadi langganan banjir yang berujung kemacetan? Bagaimana solusi permasalahan sampah, mengingat TPA Sarimukti mulai over-capacity?

Tampaknya, baik pemerintah maupun warga Bandung sendiri harus sama-sama berbenah, tak hanya pandai menghujat dan nyinyir di media sosial. Sebab, jika tidak, apakah Tuhan masih bisa tersenyum melihat Bandung hari ini?

Penulis: Septalia Anugrah Wibyaninggar
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bandung Tidak Jauh Berbeda dengan Depok Jawa Barat, Sama-sama Berbahaya dan Nggak Romantis

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version