Orang Bandung soft-spoken, tapi Bandung justru gudangnya preman
Agaknya, kita semua tak ada yang berselisih tentang logat Sunda yang halus, pelan, dan terkesan sangat sopan, meski sebenarnya yang diucapkan adalah bahasa kasar. Sebagai orang Jawa yang numpang hidup di tanah Sunda, cara bicara saya yang ceplas-ceplos terdengar sangat berbanding terbalik dengan gaya bicara orang Sunda yang sedikit-sedikit, “Punten”. Ironisnya, Bandung tak lain adalah sarang preman, tukang parkir liar, dan Pak Ogah (oknum pengatur jalanan) yang mangkal nyaris di setiap belokan.
Premanisme di Bandung telah jadi fenomena yang tak kunjung terselesaikan. Meresahkan, namun tak pernah benar-benar diberantas.
Pemerintah yang sibuk merias bangunan, sementara jalan berlubang dibiarkan
Belakangan ini juga ramai kritik terhadap proyek pembangunan gapura Gedung Sate yang digarap oleh Gubernur Jawa Barat. Tercatat di Antara News, DPRD Jabar turut mengkritisi anggaran gapura gedung sate yang lebih baik dialokasikan untuk mengurus situs cagar budaya peninggalan orang Sunda zaman dulu. Kritik serupa juga telah dimuat di salah satu artikel di Terminal Mojok berjudul Menata Ulang Kawasan Gedung Sate Adalah Hal yang Sia-Sia. Untuk anggaran sebesar 3,9 M, pemerintah Jawa Barat dinilai tak paham skala prioritas.
Tentang gapura baru tersebut, banyak pula yang melontarkan kritik terkait rancangannya yang tidak sinkron dengan konsep bangunan Gedung Sate sendiri. Gedung Sate bergaya arsitektur zaman kolonial Belanda, sedangkan gapuranya terinspirasi candi Bentar di Cirebon. Gedung Sate bernuansa putih, sedangkan gapuranya bernuansa terakota.
Pemerintah terkesan buang-buang uang untuk hal yang kurang penting. Banyak hal yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan, seperti; kapan jalan-jalan berlubang itu ditambal? Bagaimana supaya daerah seperti Dayeuhkolot tidak lagi jadi langganan banjir yang berujung kemacetan? Bagaimana solusi permasalahan sampah, mengingat TPA Sarimukti mulai over-capacity?
Tampaknya, baik pemerintah maupun warga Bandung sendiri harus sama-sama berbenah, tak hanya pandai menghujat dan nyinyir di media sosial. Sebab, jika tidak, apakah Tuhan masih bisa tersenyum melihat Bandung hari ini?
Penulis: Septalia Anugrah Wibyaninggar
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bandung Tidak Jauh Berbeda dengan Depok Jawa Barat, Sama-sama Berbahaya dan Nggak Romantis
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















