Selama saya tinggal di Jember, pemberitaan tentang Bandara Notohadinegoro yang menjadi kebanggaan warga Kota Seribu Gumuk nggak pernah ada manis-manisnya. Beda banget nggak kayak Le Minerale. Bandara yang terletak di Desa Wirowongso, Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini masih menyandang status sebagai bandara perintis. Padahal bandara ini sudah beroperasi sejak tahun 2005.
Sekadar informasi, bandara perintis merupakan bandara yang memiliki ukuran dan kapasitas lebih kecil dibandingkan bandara internasional atau bandara lainnya. Bandara perintis umumnya melayani penerbangan regional atau lokal dengan jangkauan penerbangan yang terbatas. Penerbangan yang dioperasikan dari badnara ini biasanya terhubung dengan kota-kota atau wilayah-wilayah terdekat saja.
Melihat ukuran dan kapasitasnya yang terbatas, bandara perintis mungkin hanya menyediakan fasilitas dasar seperti terminal penumpang, apron, dan landasan pacu. Fasilitas lain seperti restoran, toko, atau lounge mungkin nggak tersedia atau terbatas. Namun meskipun sudah berusia 18 tahun, kondisi Bandara Notohadinegoro masih memprihatinkan karena terus membutuhkan suntikan dana dan subsidi dari pemkab. Padahal kalau dilihat lebih jauh, bandara ini punya potensi penting bagi Jember yang notabene daerah jujugan mahasiswa dari berbagai wilayah.
Daftar Isi
Tujuan konektivitas terbentur biaya tinggi tanpa subsidi
Bandara Notohadinegoro di Jember dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas daerah tersebut. Sebagai bandara perintis, bandara ini memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan bandara internasional, tetapi tetap penting dalam mendukung kegiatan penerbangan regional dan lokal.
Namun mirisnya, bandara ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangannya. Memasuki usia dua dekade, bandara ini masih terbatas dalam fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi operasionalnya.
Baca halaman selanjutnya
Bandara ini masih bergantung pada subsidi dari Pemkab Jember…
Akibat keterbatasan ini, bandara ini masih sangat bergantung pada bantuan keuangan dan subsidi dari Pemkab Jember. Bantuan tersebut diperlukan untuk memperbaiki dan memelihara fasilitas, memperbarui peralatan, serta meningkatkan layanan dan keamanan di bandara. Subsidi ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan operasional bandara perintis ini dan tetap memfasilitasi penerbangan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat termasuk jadwal pesawat yang tetap ada.
Potensi besar yang terganjal berbagai kepentingan
Penting bagi pemerintah daerah dan instansi terkait untuk mengakui jika pengembangan dan pemeliharaan Bandara Notohadinegoro sangat penting. Bandara ini memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan konektivitas di wilayah Jember dan sekitarnya. Upaya perbaikan dan peningkatan fasilitas serta investasi yang lebih besar di bandara ini perlu dilakukan agar bandara tersebut dapat berfungsi secara optimal dan memberikan manfaat yang maksimal bagi daerah dan masyarakat sekitarnya.
Dengan komitmen dan dukungan yang tepat, Bandara Notohadinegoro di Jember dapat berkembang menjadi sebuah fasilitas yang modern dan efisien, serta mampu memenuhi kebutuhan transportasi udara regional dan menjadi aset penting dalam pengembangan daerah. Contoh saja kabupaten tetangga, Banyuwangi, dengan bandara internasionalnya yang baru beroperasi sejak 2010 namun sudah dikelola oleh Angkasa Pura 2.
Bahkan perkembangan Bandara Banyuwangi kini telah mengalami perubahan yang signifikan. Bandara itu mampu mendapatkan status sebagai bandara internasional dan memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani penerbangan internasional maupun regional.
Sementara itu, Bandara Notohadinegoro di Jember menghadapi tantangan yang berbeda. Salah satunya adalah sulitnya mendapatkan bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena Jember nggak termasuk dalam kategori daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) untuk sebuah bandara perintis. Hal ini mungkin menjadi kendala dalam memperoleh dana dan subsidi pengembangannya untuk pemeliharaan bandara tersebut tetap ditanggung pemkab.
Persoalan lahan yang melibatkan perseroan
Perlu diketahui Bandara Notohadinegoro berdiri di atas lahan seluas 120 hektare yang merupakan Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 12. Pengaturan status kepemilikan lahan ini dapat mempengaruhi proses pengembangan dan pembiayaan bandara tersebut, hingga Angkasa Pura enggan mengambil alih bandara ini.
Tentu untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait harus mencari solusi yang memadai. Salah satunya adalah dengan menjalin kerja sama antara pihak-pihak, termasuk PTPN 12, untuk mendukung pengembangan dan pemeliharaan Bandara Notohadinegoro. Upaya untuk memperoleh dukungan dari pihak swasta atau melakukan kerja sama dengan pihak lain juga dapat menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan dana untuk pengembangan bandara.
Pemda dapat berperan aktif mengadvokasi dan mendorong pengakuan Bandara Notohadinegoro sebagai infrastruktur penting bagi wilayah Jember dan sekitarnya. Mengingat dalam jangka panjang, langkah-langkah strategis yang berfokus pada pengembangan bandara, termasuk pembaruan fasilitas, peningkatan layanan, dan promosi destinasi wisata di sekitar bandara, dapat membantu meningkatkan potensi dan pemanfaatan bandara tersebut.
Nantinya dengan kerja sama dan dukungan yang tepat, diharapkan Bandara Notohadinegoro di Jember dapat mengatasi tantangan yang ada dan berkembang menjadi fasilitas yang lebih baik. Semoga bandara ini mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi wilayah tersebut. Tentu saja tanpa membebani APBD yang mulai lelah menyubsidi.
Penulis: Anik Sajawi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Terminal Tawang Alun Jember: Sempat Jadi Primadona, Kini Ditinggal Penggunanya.