Bandar Lampung Terbuat dari Flyover, Pulang, dan Pasangan

bandar lampung flyover dinasti politik mojok

bandar lampung flyover dinasti politik mojok

Sebagai seorang mahasiswa rantau, saya sebenarnya sedikit malu ketika harus bertemu dengan beberapa teman lama, terutama teman masa sekolah yang telah lebih jauh merantau ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Bayangkan saja, mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di kota-kota besar dengan segala romantisasinya, bisa dengan bangganya bercerita. Tentang Jogja yang terbuat dari rindu, pulang dan angkringan, atau tentang Kota Bandung yang bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersama ketika sunyi. Hal-hal tersebutlah yang akhirnya membuat saya terus-terusan mencari apa saja yang bisa dibanggakan dari Bandar Lampung, kota tempat saya merantau. Kota yang selalu menjadikan flyover atau jembatan layang sebagai solusi dari kemacetan.

Saya ingat betul pertama kali pindah dari Lampung bagian barat menuju Bandar Lampung pada pertengahan tahun 2016. Saat pertama kali berkeliling Bandar Lampung seorang diri bermodalkan google maps dan Motor Yamaha X-Ride produksi 2015. Pemandangan yang saya lihat saat itu hanyalah flyover dan baliho khas pejabat, korelasi antara ucapan dan fotonya tidak ada. Seingat saya, 2012 adalah awal mula Pak Herman HN (Walikota Bandar Lampung) ketagihan membangun flyover di kota terpadat kedua di Pulau Sumatra ini.

Setelah empat tahun lebih saya tinggal di kota ini, terhitung sudah ada delapan flyover, dan pembangunannya masih akan terus berlanjut. Kalau ditanya apakah dengan adanya flyover kemacetan di Bandar Lampung berkurang, ya mohon maaf ini, Pak, sepertinya belum banyak pengaruhnya. Sebab, pertumbuhan pengguna kendaraan bermotor meningkat juga setiap tahunnya. Tapi, bukan masalah buat saya. Kita bisa kesampingkan itu semua. Setidaknya, sekarang saya mulai bisa membanggakan diri di depan teman-teman, sambil bercerita seberapa seringnya saya melihat pasangan yang tengah memadu kasih di tepi flyover.

Ketika malam minggu tiba, terlihat dari kejauhan sepasang kekasih yang sedang asik bertukar kisah. Sembari duduk di atas motor matic dengan gaya modifan baby Thai Look lengkap dengan helm DJ Maru-nya. Kalau boleh meminjam potongan puisinya Pak Jokpin, maka saya dengan bangga akan berkata: Bandar Lampung terbuat dari flyover, pulang, dan pasangan. Kenapa pasangan? Ya tentu karena di mana pun saya berada, selagi saya masih melihat baliho atau sekadar stiker di pintu rumah, yang menampilkan foto sepasang suami istri dengan senyum dan pose khas pejabat. Saya yakin kalau saya masih berada di Bandar Lampung.

Sepasang suami istri yang saya maksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah Bonnie dan Clyde Pak Walikota, Herman HN dan istrinya sendiri, Bunda Eva HN. Ya tidak jadi masalah juga si, kalau foto beliau-beliau ini bertebaran di mana-mana. Bisa jadi, tujuan awalnya adalah untuk memperkenalkan istri beliau ke publik secara tidak langsung. Positif thinking saja, bisa jadi semua ini tujuannya adalah untuk melanjutkan program kerja dan cita-cita Pak Herman HN untuk menjadikan Bandar Lampung kota seribu flyover. Berhubung tahun ini adalah tahun terakhir beliau menjabat sebagai walikota,ya siapa lagi yang akan mampu melanjutkan program kerja beliau kalau bukan istrinya sendiri. Lha, kok jadi politik dinasti? Ya nggak apa-apa juga, lagi ngetren kok di kalangan politikus, terutama yang ada merah-merahnya. Mungkin mereka-mereka ini berniat baik, yaitu ikut menyukseskan program pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Program yang saya maksud adalah KB atau Keluarga Berkuasa.

Kalau dipikir-pikir lagi, sih, saya yang hanya seorang mas-mas kabupaten ini tahu apa? Saya selalu kebingungan ketika ada yang bertanya terkait tempat nongkrong yang recommended di Bandar Lampung. Jujur saja, saya lebih tahu di mana tempat penjual sekoteng mangkal tiap malam, atau tukang bandrek mana yang penjualnya ramah, ketimbang coffee shop mana yang paling oke.

Saya sebenarnya tidak suka berjualan romantisme suatu kota, terutama kota yang menjadi tempat saya menetap beberapa tahun kebelakang ini. Tapi, tidak salah juga kalau ada yang bilang tempat perantauan adalah tempat kedua untuk pulang setelah rumah. Setidaknya, di kota ini saya bisa lebih memahami apa yang dikatakan oleh George Miller “I live in a constant state of fear and misery”. Ketakutan akan apa? Sekarang sih, segalanya terdengar menakutkan, hehehe.

BACA JUGA 3 Fitur Tersembunyi Kalung Anti-Corona yang Terlalu Diremehkan Banyak Orang dan artikel Terminal Mojok lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version