Standar Ganda Masyarakat di Desa Terhadap Pelajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris

Bahasa Inggris Menjadi Anak Tiri, Bahasa Arab Tabungan Akhirat (Unsplash)

Bahasa Inggris Menjadi Anak Tiri, Bahasa Arab Tabungan Akhirat (Unsplash)

Seiring perkembangan zaman, kebutuhan menguasai Bahasa Inggris semakin penting. Bukan hanya untuk kepentingan pekerjaan, banyak anak muda sudah jamak memakai bahasa asing dalam pergaulan. Sayangnya, di desa saya, mayoritas warga masih menganggap bahwa belajar Bahasa Inggris itu buang waktu, mending belajar Bahasa Arab.

“Jangankan Bahasa Inggris, yang lancar Bahasa Indonesia saja cuma Pak RT.” Mungkin itu yang ada di benak mereka.

Warga menunjukkan respons yang berbeda ketika memandang Bahasa Arab. Sebagai salah satu warga yang mempelajari Bahasa Inggris, jujur saya sangat iri kepada teman-teman yang belajar Bahasa Arab lalu mendapatkan respons positif dari warga. 

Padahal, saya belajar bahasa asing untuk portofolio, bukan untuk gaya-gayaan. Respons yang tidak mengenakan itu muncul lantaran masih banyak warga yang sering mengaitkan bahasa dengan identitas agama tertentu. Belajar Bahasa Arab berarti dekat dengan Islam. Kalau belajar Inggris, pasti nggak dekat dengan Islam. Begitulah perspektif warga yang mencampur adukan agama dengan bahasa yang nggak ada hubungannya sama sekali.

Jika kita merenungkan semuanya, nggak ada yang salah dari mempelajari kedua bahasa tersebut. Bagi saya, itu semua hanya soal pilihan. Lagipula, nanti ujung-ujungnya juga ke relasi, pendidikan, dan pekerjaan juga.

Menanggapi hal ini, ingin banget rasanya, saya memutarkan video dakwah Ustaz Zakir Naik dan saya hadapkan ke wajah mereka. Agar mereka tahu bahwa Bahasa Inggris juga bisa berkontribusi dalam hal keagamaan. Namun apalah daya, jika saya nekat, bisa-bisa malah semakin keras mendapatkan cibiran.

Pelajar Bahasa Arab itu alim, pelajar Bahasa Inggris sok Inggris

Bagi warga desa, memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Arab itu mempunyai privilege tersendiri. Warga yang lain akan menyanjung, mendapat respons positif, dan mendapat panggilan “ustaz”. Padahal, nggak semua orang yang bisa Arab itu ustaz.

Semua berbanding terbalik dengan pelajar Bahasa Inggris seperti saya. Jangankan mendapatkan apresiasi, nekat menyebutkan satu kata dalam Bahasa Inggris di tongkrongan, langsung mendapatkan predikat “sok Inggris”. Warga menganggap saya melestarikan budaya penjajah atau bahkan yang bikin saya sakit hati adalah dianggap nggak pantas.

Bahasa yang terlalu “duniawi”

“Hidup cuma sekali, uang nggak dibawa mati.” Entah sudah berapa ratus kali saya mendengar kalimat ini. Dan sudah pasti, kalimat ini selalu saya dengar ketika saya bersinggungan dengan hal-hal berbau Bahasa Inggris. Bagi saya, mereka hanya melihat sesuatu dari 1 sudut pandang saja. Bukannya kelihatan bijak, mereka malah kelihatan egois dan semaunya sendiri.

Padahal nggak semuanya orang begitu, kan? Buktinya, coba sekarang kamu search di YouTube dengan nama Ustaz Zakir Naik. Dengan keterampilannya menggunakan Bahasa Inggris, ustaz asal India tersebut mampu me-mualafkan ribuan bahkan mungkin hingga jutaan orang sampai saat ini. Kalau saya, belajar bahasa asing itu supaya bisa memperbanyak teman dan mempelajari banyak budaya yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Sayang, hingga saat ini, warga masih menghujani saya dengan pertanyaan nggak penting. Misalnya, “Ngapain belajar Bahasa Inggris? Malaikat itu pertanyaannya man nabiyyuka bukan what’s your prophet.” Kalau sudah begitu, mending saya diam. 

Les Inggris pemborosan, Les Arab tabungan akhirat

Les Bahasa Inggris adalah salah satu contoh investasi jangka panjang. Misalnya, bahasa ini akan bermanfaat ketika kita menjalin relasi dengan orang asing. Siapa tahu, kita akan bekerja di sebuah perusahaan internasional. Hidup nggak ada yang tahu gimana arahnya.

Namun sekali lagi, itu tidak berlaku di desa saya tercinta ini. Bagi mereka, belajar Inggris itu cuma membakar uang. Sementara itu, belajar Arab adalah tabungan menuju akhirat. Ya nggak salah juga. Bahasa Arab juga memiliki fungsi komunikasi. Tapi ya nggak perlu memandang rendah bahasa lain. Cuma karena beda pilihan hidup saja, lama-lama kok saya merasa jadi public enemy gini, sih.

Penulis: Rino Andreanto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Alasan Saya Pilih Nonton Bola dengan Komentator Bahasa Arab

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version