“Saya nggak mau lagi beli produk berbahan kimia, saya mau menerapkan pola hidup sehat tanpa bahan kimia. Pokoknya saya cuman konsumsi bahan alami!!11!!”
Saya sangat yakin, kalian pasti pernah mendengar kalimat semacam itu dari seseorang. Anggaplah namanya Parcok. Biasanya, orang-orang yang seperti Parcok ini adalah orang-orang yang sedang semangat-semangatnya menerapkan pola hidup sehat. Mereka mungkin baru saja mengetahui informasi bahan-bahan kimia yang punya dampak menyeramkan bagi tubuh. Akhirnya, Parcok dan kawan-kawannya mengalami ketakutan pada produk-produk yang mengandung bahan yang mereka sebut sebagai “bahan kimia”. Fenomena yang dialami Parcok ini biasa disebut sebagai chemophobia, atau prasangka negatif seseorang terhadap bahan kimia atau kimia.
Agar kita memahami kenapa seseorang bisa punya prasangka negatif terhadap yang kimia-kimia, mari kita bahas penyebabnya satu per satu.
#1 Miskonsepsi terhadap istilah “bahan kimia”
Apa yang terbesit di benak sampean ketika mendengar istilah “bahan kimia”? Apakah itu pengawet? Formalin? Bakso boraks? Atau Kopi sianidanya si Mirna? Saya duga, contoh-contoh demikianlah yang pertama membayangi benak sampean. Padahal, dalam ilmu kimia, istilah “bahan kimia” adalah istilah yang kurang lebih sama luasnya dengan istilah “makhluk hidup”: pohon kesemek, jamur, kuman, undur-undur, bahkan diri sampean sendiri, teman sampean, gebetan sampean, mantan gebetan yang nge-ghosting, eh ini termasuk tidak, ya?
SKIP~
Nah, usut punya usut, sebenarnya istilah “bahan kimia” di dalam ilmu kimia biasa kami sebut sebagai materi. Materi terdiri atas susunan atom yang nama unsurnya bisa sampean intip di tabel periodik. Intinya, segala sesuatu di alam semesta ini yang memiliki massa dan memenuhi ruang merupakan materi. Air yang kita minum, udara yang kita hirup, bahkan tubuh kita sendiri ini terdiri atas berbagai macam materi—DNA, protein, lemak, dan senyawa-senyawa kimia lainnya.
Meskipun begitu, memang ada hal-hal di alam semesta ini yang tidak termasuk sebagai materi atau “bahan kimia”. Bila materi memiliki massa dan memenuhi ruang, maka hal-hal yang tidak termasuk materi tentu tidak memiliki massa dan tidak memenuhi ruang. Segala bentuk energi dan konsep abstrak adalah nonmateri. Contohnya, waktu, suara, pelangi, informasi, mimpi, bayangan, dan bayang-bayang masa lalu. Iya, saya serius.
Oke, mari kembali ke Parcok. Jadi, kalau Parcok mengklaim dirinya ingin hidup tanpa bahan kimia, saya jadi gagal paham. Apakah maksudnya si Parcok ini ingin menghilangkan jasad dirinya sendiri? Ataukah si Parcok ini sudah lelah hidup? Apa pun itu maksudnya, yang jelas, kita tidak mungkin bisa hidup tanpa bahan kimia.
#2 Pemahaman yang tidak lengkap
Bila maksud Parcok adalah menghindari makanan yang mengandung bahan kimia seperti boraks, formalin, racun sianida-nya Mirna, dan semacamnya, maka itu bisa kita maklumi. Hanya saja, bahan-bahan ini seharusnya dapat lebih spesifik kita kenal sebagai “bahan kimia berbahaya”. Seperti yang tadi sudah saya bahas, tidak semua bahan kimia seberbahaya boraks. Sayangnya, penggunaan istilah “bahan kimia” untuk melabeli bahan kimia berbahaya sering dipraktikkan oleh media, serta produsen produk-produk makanan dan skincare sebagai peluang marketing yang instan. Dampaknya jelas fatal. Penggunaan istilah yang tidak tepat ini berakibat pada citra kimia yang buruk.
Saya ingat betul betapa banyaknya orang yang bergidik ngeri ketika mereka tahu bahwa saya mendalami ilmu kimia sejak di bangku SMK hingga kuliah. Mereka mungkin membayangkan orang-orang kimia itu seperti ilmuwan gila di film-film superhero yang berusaha menciptakan ramuan misterius untuk menaklukan dunia. Mereka tidak tahu saja bahwa segala kecanggihan material, kenikmatan makanan, dan kemanjuran obat yang mereka konsumsi merupakan hasil jerih payah orang-orang yang berkecimpung di dunia kimia.
Kesalahpahaman lainnya terletak pada anggapan Parcok bahwa bahan alami sudah pasti lebih aman, sedangkan bahan kimia sintetis sudah pasti berbahaya bagi kesehatan. Nyatanya, itu tidak menjamin. Contohnya gula pasir. Siapa, tho, yang tidak pernah konsumsi gula pasir? Sampean pasti tahu betul kalau gula pasir ini diperoleh dari tanaman tebu. Alami sekali, bukan? Dalam ilmu kimia, gula pasir ini dinamai sebagai sukrosa. Sukrosa jelas tidak berbahaya, kecuali bila sukrosa itu sampean konsumsi sekarung sehari dalam kurun waktu bertahun-tahun. Insya Allah bisa, Mas, Mbak. Bisa dirawat di rumah sakit karena diabetes.
Begitupun dengan senyawa asam benzoat. Zat aditif ini biasa digunakan sebagai pengawet untuk minuman kemasan, saus, kecap, es krim, permen karet, dan lain-lain. Menambahkan sesendok saus ke dalam semangkuk bakso tentu tidak akan membuat sampean menderita penyakit kanker dalam sekejap. Asam benzoat diakui aman bila digunakan dalam jumlah yang sesuai aturan. Ini karena asam benzoat cepat diserap oleh saluran pencernaan sampean, lalu diproses sedemikian rupa oleh hati dan ginjal sampean sehingga bisa dikeluarkan dalam hitungan jam oleh tubuh sampean melalui urine.
Yaaa, meskipun tubuh sampean bisa sehebat itu mendetoksifikasi asam benzoat, tidak seharusnya juga sampean mengonsumsi dalam jumlah banyak dan rutin. Kasian hati sampean, ia sudah cukup terbebani dengan perasaan kalut akibat kisah percintaan sampean, tak perlu sampean tambah-tambah beban kerjanya. Hati sampean itu juga perlu piknik~
Apalagi asam benzoat ini tidak hanya ada dalam minuman dan makanan buatan manusia, tetapi juga terdapat secara alamiah dalam beberapa buah-buahan. Mari saya kenalkan dengan buah stroberi yang secara alami mengandung asam benzoat. Tentu, ini tidak akan menyebabkan implikasi sampai sampean konsumsi satu kilo stroberi sekaligus. Kalau ini, sih, yang ada jadi diare karena terlalu banyak serat wehehe.
Pada akhirnya, Mas, Mbak, mengaku dapat hidup tanpa bahan kimia hanyalah sebuah kemustahilan bila diri kita sendiri pun terdiri atas bahan kimia (materi). Kebiasaan media dan produsen yang menyebut bahan kimia berbahaya sebagai bahan kimia saja ini juga benar-benar membuat kami orang kimia menjadi gemas. Apabila kebiasaan ini tidak diperbaiki, dampaknya adalah persepsi negatif masyarakat terhadap kimia.
Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah bahwa bahan alami tidak secara bimsalabim memberikan jaminan nihil risiko. Semua itu tergantung dari porsinya. Saya yakin, si Parcok juga pasti tidak berani kalau disuruh minum air 20 liter sehari.
Penulis: Salsabila Luthfiyah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Perbedaan Starbucks di Jepang dan Indonesia