Sebagai mantan warga Kota Tegal yang kini bermukim di kabupaten, saya sering gumun melihat perkembangan Kota Tegal. Bagaimana tidak? Selalu saja ada yang baru di Kota Tegal. Saya jadi clingak-clinguk setiap kali ke sana. Lho, ini bangunan apa? Baru lagi? Itu juga. Itu, itu, dan itu. Akeh pokoknya. Pantas saja bila kota ini mengusung jargon “Tegal Laka-Laka”, alias Tegal tiada duanya.
Terbaru, menurut berita yang saya baca, Pak Wali bakal bikin floating market. Tepatnya, di bantaran Kali Siwatu. FYI, di sepanjang bantaran Kali Siwatu ini tadinya adalah pemukiman kumuh, Gaes. Terus, ia direvitalisasi melalui Kementrian PUPR dengan dana sebesar Rp22 miliar.
Berhubung revitalisasinya sudah selesai akhir tahun ini, dan supaya terjadi pembangunan yang berkesinambungan fafifu, meluncurlah ide pengembangan kawasan Kali Siwatu berupa taman yang dilengkapi dengan pasar apung. Kalian tahu berapa anggarannya? Dikit, kok, “cuma” Rp48 miliar.
Wew.
Memang, deh, Pak Wali ini tau aja bagaimana cara memanjakan warganya. Dengan adanya rencana pembangunan floating market ini, warga jadi nggak perlu piknik jauh-jauh ke Bandung cuma buat merasakan transaksi jual beli di atas perahu. Begitupun kalau warga penasaran dengan Malioboro. Nggak usahlah ke Jogja. Buat apa? Lha wong Kota Tegal punya semua itu, og!
Saking banyaknya proyek Pak Wali, eh, proyek di Tegal maksudnya, belio sampai-sampai dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Inspirator Pembangunan oleh media cetak lokal, loh, Nder.
Cieee, warga Kota Tegal pasti bahagia banget, deh, punya belio sebagai kepala daerahnya. Bayangkan, di masa pandemi, saat kepala daerah lain nggak kepikiran soal pembangunan infrastruktur, belio justru sebaliknya. Bangun sana, bangun sini. Proyek ini, proyek itu. Terbukti, di era kepemimpinan beliau, cuan, eh, pembangunan ngalir terus. Mantap!
Balik soal proyek Kota Tegal selanjutnya, yaitu floating market. Ngomong-ngomong, nanti kalau floating marketnya sudah jadi, di pager juga nggak, Pak? Nganu, soalnya gini, kalau ada pembangunan kok seringnya dipager-pager gitu, ya, Pak?
Waktu itu alun-alun dipager, Taman Pancasila juga, terus kawasan trotoar di depan gedung lama Universitas Pancasakti (UPS) juga sempat dipager. Ah, semoga pager-memageri ini semata-mata supaya tidak terjadi kerumunan, ya, Pak. Bukan karena hobi apalagi dalam rangka mengajarkan warga tentang definisi “mung iso nyawang”. Abot, Pak. Abot.
Untungnya, saat ini satu per satu pagar penghalang sudah mulai dibuka. Kawasan trotoar UPS, misalnya. Sejak beberapa waktu lalu sudah dibongkar pagar penghalangnya sehingga bisa diakses secara bebas oleh warga. Tapi yang aneh, itu ngapa kursi-kursi cantik di trotoar UPS jadi ikutan nggak ada, yak? Dibongkar juga? Ta-tapi, kan, itu kursi baru seumur jagung? Saya aja belum sempat selfie-selfie di sana. Kok? Dibongkar? Duh. Eman-eman o, Pak. Atau, mau ganti konsep lagi? Mbangun lagi?
Tapi nggak apa. Saya yakin, meski ada kejadian kursi baru dipasang lalu dibongkar lagi, tiap proyeknya sering dipager,. Terus, lampu jalan dimatikan setiap malam dan akses jalan ke alun-alun bolak-balik di portal bae, warga Tegal pasti masih tetap bahagia punya Mr.Lockdown sebagai walikotanya.
Buktinya, warga, terutama para pedagang di kawasan alun-alun sampai berinisiatif turut “mempercantik” kota dengan cara mereka sendiri. Yaitu, dengan cara memasang bendera kuning di depan tokonya masing-masing. Bendera kuning sebagai lambang matinya usaha karena walikota mereka tetap bergeming. Sekian lama kekeuh menutup akses masuk menuju alun-alun, padahal dia tahu, di kawasan alun-alun ada ratusan perut yang harus diisi.
Sumber Gambar: Unsplash