Bagong, Anak Ragil Semar yang Paling Frontal dalam Menyampaikan Kritik

bagong punakawan mojok

bagong punakawan mojok

“Candrane Gara-gara, bumi gonjang-ganjing langit gumarang tangise bumi klawan langit. Tangise bumi sedina lindhu kaping pitu njalari kawula padha tintrim. Sireping gara-gara sinarengan jumedhule Punakawan yaiku Ki Lurah Semar miwah para putra, ingkang sami gegojegan wontening ngara-ara amba…”

Ketika menonton wayang, seringkali terdengar kidung dari sang dhalang seperti syair di atas. Penggambaran kekacauan dunia akibat musibah yang seketika hilang dengan munculnya Punakawan pada adegan selanjutnya.

Punakawan adalah sebutan bagi empat tokoh wayang yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tugas mereka adalah mengikuti bendara atau majikan mereka ketika bertugas keluar istana. Biasanya mereka mengikuti para kesatria baik-baik seperti Arjuna, Abimanyu, Rama, Lesmana dan semacamnya.

Punakawan akan memberikan hiburan kepada bendaranya dalam perjalanan. Adegan ini digunakan sebagai ice-breaking sang dhalang kepada para penonton agar tidak bosan ketika menonton wayang semalam suntuk. Namun di era kekinian tugas mereka juga diemban oleh Cangik dan Limbuk yang oleh beberapa dhalang ditambahi pelawak lagi atau bahkan ikut dimeriahkan dengan organ tunggal.

Salah satu punakawan yang kini terkenal adalah Bagong. Sebenarnya sudah dari dulu sih terkenal. Namun berkat meluasnya tayangan wayang yang disiarkan melalui live streaming di YouTube, kini pamornya meroket ke khalayak yang lebih luas.

Bagong sendiri adalah anak ragil dari Semar yang tercipta dari bayangan Semar. Sebelum Semar turun ke bumi untuk menjadi abdi para kesatria dari tanah Jawa, ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal untuk diberikan teman selama bertugas di tanah Jawa. Lalu Sang Hyang Tunggal mengabulkannya dengan mencipta sesosok manusia yang berasal dari bayangan Semar.

Di era pedhalangan jaman dahulu, tokoh ini jarang mendapatkan porsi tampil yang banyak. Hal itu semata karena ia digambarkan sebagai tokoh yang terlihat bodoh dan kekanak-kanakan. Para dhalang saat itu lebih menonjolkan tokoh Petruk karena kemampuannya dalam nembang dan njoged . Pun banyolan Petruk sendiri adalah banyolan yang general. Berbeda jauh dengan banyolan Bagong yang sesuai dengan karakternya, loss.

Namun sekarang tokoh ini seakan menjelma sebagai bintang kelir dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Tercatat beberapa dhalang kondang seperti Ki Seno Nugroho, Ki Cahyo Kuntadi, Ki Syukron Suwondo, Ki Hadi Sugito (alm.) dan beberapa nama lainnya menjadikannya sebagai bintang dan pelontar kritik wong cilik khas dengan gaya frontal, jujur, blaka,dan apa anane.

Kalimat khas macam “Ha piye senggel pa iye..”, “Aku ki cen embuh e..” dan “udhuuss..!” adalah gambaran bagaimana kelucuan Bagong dengan wataknya yang apa adanya. Omongannya pun sederhana seperti bahasa yang digunakan sehari-hari. Namun dapat membuat banyak orang terpingkal-pingkal.

Banyak lakon seperti Bagong mBangun Desa, Bagong Kembar, Bagong Pandhita, dan lain sebagainya yang terasa lebih fresh dan tidak terlalu formal dibandingkan dengan lakon wayang secara pakem .

Bahkan dalam dua tahun terakhir banyak para reuploader mengunggah kompilasi tentang Bagong. Masyarakat memandang Bagong adalah corong suara mereka dalam menyuarakan keresahan. Tokoh inilah yang membuat sambatan wong cilik menggedor telinga penguasa.

Wujud fisik Bagong pun memiliki arti yang dalam. Bagong punya mata yang besar dan mulutnya yang ndower. Itu adalah lambang bahwa masyarakat selalu mengawasi para penguasa dan tak henti-hentinya mengingatkan jika penguasa tersebut lupa akan tugasnya

Sikapnya selalu berpegang teguh dengan kebenaran. Sekelas Kresna, Arjuna, Werkudara bahkan para dewa pun ketika salah akan selalu ditrabas bahkan dengan perkelahian. Tentunya dengan perang gaya khas Bagong yaitu awur-awuran dan diajak bergulingan di tanah. Gaya bertarung itu adalah tanda bahwa ada saatnya penguasa harus berada di bawah agar ingat siapa yang mereka wakili.

Suara Bagong pun juga memiliki arti. Bagong berbicara dengan suara sengau, nembang pun tak enak didengar. Namun suara sengau itu menggambarkan kritik yang tidak enak didengar. Namun dampak dari kritik pasti akan berguna bagi yang dikritik.

Bagong selalu menjadi pelipur lara dan pengasuh para kesatria yang menjadi majikannya. Ternyata hal itu berperan sebagai sarana penyampaian kritik yang tepat sasaran namun tidak melukai perasaan yang dikritik. Itulah yang bisa dikatakan sebagai kritik yang baik. Namun seperti kata Bagong, nek sing disemoni (disinggung) ra krasa ya uwis lah wis embuh aku.

Itulah beberapa deskripsi dan hal yang bisa kita teladani dari tokoh ini. Pewayangan selalu memberikan pesan moral yang dalam. Itu menurut saya lho, embuh nek kalian~

BACA JUGA Surat dari Korawa untuk para Pengagum Pandawa.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version