Bagi Saya, Operasi Masker Itu Sangat Tidak Efektif

virus corona masker sampah kesehatan bekas pakai operasi masker mojok.co

virus corona masker sampah kesehatan bekas pakai operasi masker mojok.co

Sudah dua minggu ini di Pasar Maos, Cilacap, dekat dengan kantor saya, selalu diadakan operasi masker. Operasi ini sifatnya macam inspeksi mendadak (Sidak) karena tidak pernah diberitahukan sebelumnya. Sama seperti operasi lalu lintas gitu, tahu-tahu aja ada.

Namun, saya cukup pesimis dengan adanya operasi ini. Bukan berarti saya tidak mendukung pemerintah daerah dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 sampai akar rumput, tapi saya menilai kegiatan operasi masker betul-betul tidak efektif.

Begini, selama saya melihat operasi masker, ada banyak petugas mulai dari satpol PP, polisi, tentara, sampai anggota ormas yang membantu jalannya pelaksanaan operasi ini. Oleh karena banyak pihak yang terlibat, hampir tidak pernah ada physical distancing” alias jaga jarak, di mana istilah tersebut ada di salah satu poin dalam protokol kesehatan. Satu petugas ketika berkomunikasi terlihat dekat sekali dengan petugas lainnya.

Kalau diperhatikan secara jeli, operasi masker malah membuat kesan ke masyarakat bahwa kumpul-kumpul itu diperbolehkan. Buktinya ketika saya melihat operasi masker di Pasar Maos, Cilacap, petugasnya saja nyaris tanpa celah berdekatan satu dengan yang lain. Buat apa susah-susah kita berjarak? Atau sebenarnya peraturan jaga jarak hanya berlaku untuk masyarakat, bukan untuk petugas? Hmmm.

Harusnya, petugas lebih paham apa saja yang menyangkut protokol kesehatan. Kalau dirangkum, protokol kesehatan itu kan ada 3M (menjaga jarak, mencuci masker, dan memakai masker). Kalau salah satu dari 3M saja tidak dilakukan, buat apa operasi masker? Bagi saya, operasi masker seharusnya bisa digunakan sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengedukasi masyarakat tentang 3M itu. Tidak hanya ditindak tilang dengan pemberlakuan denda.

Poin pemberlakuan denda ini juga masih hitam putih sampai sekarang. Tidak jelas kemana rimbanya itu uang denda. Kalau uang denda itu benar-benar digunakan, harusnya setiap ada operasi pasti disediakan masker kesehatan yang warna hijau atau biru untuk dibagikan gratis ke masyarakat. Kan katanya sekarang tidak boleh pakai masker model scuba dan buff (bandana). Sampai sekarang saya tidak pernah melihat ada pembagian masker, hand sanitizer, vitamin, dan perangkat pencegahan Covid-19 lainnya ke masyarakat setiap ada gelaran operasi masker.

Tidak hanya denda, ada beberapa daerah yang memberlakukan hukuman masyarakat tanpa masker yang menurut saya berlebihan. Contohnya dengan push up, menyapu jalanan, atau menyanyikan lagu-lagu nasional. Ada juga yang melafalkan sila-sila dalam Pancasila. Semua hukuman itu tidak mencerminkan edukasi pencegahan Covid-19, tapi malah terlihat hanya sebagai pelipur lara petugas dalam melaksanakan operasi masker.

Selanjutnya alasan saya mengatakan operasi masker hanya operasi yang sia-sia belaka adalah karena tindakan ini hanya berefek pada satu hari itu saja. Operasi ini tidak berefek jangka panjang pada pencegahan Covid-19. Jika hari ini ada operasi masker, masyarakat akan terlihat lebih rajin memakai masker daripada hari-hari biasanya. Jika tidak ada, ya mereka melenggang bebas. Bahkan masih banyak ditemukan orang tanpa masker.

Apalagi secara konsep mirip sekali dengan operasi lalu lintas di jalan raya. Jika pada suatu jalan diadakan operasi tilang, mereka yang tidak memiliki surat-surat kelengkapan berkendara akan cenderung menghindari operasi tersebut. Namun, jika sudah selesai operasinya, ya masyarakat bebas-bebas saja berkendara. Sekalipun hari biasa, tapi tidak terlihat polisi yang berjaga, banyak masyarakat yang sampai tidak pakai helm pun berani berkendara di jalanan tersebut.

Belum lagi masalah petugas yang tidak bisa membedakan mana yang perlu ditindak mana yang tidak. Kalau motor atau pejalan kaki yang tidak menggunakan masker boleh lah ditindak. Akan tetapi, khusus mobil yang tertutup rapat ya tidak bisa ditindak kalau lupa menggunakan masker.

Mungkin petugas operasi masker tidak tahu apa yang disebut lockdown mini. Lockdown mini seperti yang disebutkan Bapak Presiden Jokowi berarti pembatasan pergerakan masyarakat dalam ruang lingkup kecil. Mengendarai mobil adalah salah satu bentuk dari lockdown mini masyarakat, asalkan tidak membuka jendela mobil. Kan prinsipnya sama yaitu berada di dalam ruangan. Hanya saja ketika keluar dari mobil nah wajib pakai masker.

Kalau ingin membuat masyarakat yang tidak pernah pakai masker itu jera, coba ganti konsep operasi masker. Tidak perlu dengan penarikan uang denda atau hukuman fisik, cukup dengan mengadakan tes swab saja bagi yang tidak pakai masker.

Menurut orang-orang yang pernah dites swab, tes swab itu rasanya nggak menyenangkan. Bayangkan hidungmu kemasukan benda asing yang panjang sampai bagian ujungnya menyentuh pangkal hidung. Pasti dong rasanya sakit ditambah geli. Bahkan ada beberapa di antaranya sampai teriak-teriak kesakitan ketika dites swab. Sakit karena tes swab lebih mendingan daripada dihukum pembayaran tilang atau hukuman fisik yang entah dananya mengalir ke mana.

Kalau dalam operasi itu kan biasanya didata kan, hasil tes swab nanti bisa dikirimkan langsung via pos atau jasa kurir lainnya sesuai alamat yang tertera. Khusus yang hasilnya menunjukkan gejala Covid-19, surat hasil pemeriksaan swab diantar langsung sekaligus dijemput orang yang bersangkutan.

Saat penjemputan orang yang diduga kuat terpapar virus corona berdasarkan hasil tes swab, pemerintah bisa bergerak cepat melakukan tindakan lain. Pemerintah bisa dengan melakukan lockdown mini dengan menutup akses rumah yang bersangkutan, atau lingkungan rumah sekitar.

Saya rasa itu konsep yang lebih baik dibanding dengan operasi masker yang hanya bayar denda dan menahan KTP. Saya yakin tidak akan ada lagi orang yang tidak memakai masker. Selain mendisiplinkan masyarakat, tes swab ini bisa melacak persebaran Covid-19 di tengah masyarakat.

“Lho kan tes swab mahal harganya. Gimana sih?” Mahal? Iya emang mahal sih. Tes swab itu yang bisa mencapai Rp900.000 setiap tesnya. Tapi, bukankah pemerintah sudah menggelontorkan dana sampai hampir 800 triliun? Belum lagi pengumpulan denda sebelumnya yang saya yakin sudah banyak banget uangnya. Cukuplah untuk mengadakan tes swab dadakan.

Terlebih kita butuh tindakan pemerintah yang berefek jangka panjang, tidak hanya jangka pendek yang hitungannya bisa bertahan cuma beberapa jam. Efek jangka panjangnya adalah memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di dalam masyarakat. Saya yakin 100% hal itu bisa membuat pandemi ini, perlahan tapi pasti, akan menemui jalan keluar.

Tapi, itu semua tergantung dari Pemerintah Daerah itu sendiri. Mau masih pakai mainan denda-dendaan yang sama sekali tidak efektif, atau mau pakai operasi tes swab yang tentu saja mahal. Tapi, demi keselamatan warganya, kok masih saja memikirkan uang dan uang? Kalau kaya gini terus mah wes angel tah, angeeel.

BACA JUGA 4 Ciri Orang yang Perlu Dihindari dalam Transaksi Utang-Piutang dan tulisan Hepi Nuriyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version