Awkarin VS Nadiyah: Apa Betul Bangsa Ini Dibiasakan Memaklumi Plagiarisme?

Awkarin VS Nadiyah: Apa Betul Bangsa Ini Dibiasakan Memaklumi Plagiarisme?

Awkarin berulah lagi. Begitu kata netizen menyerang dirinya sejak tweet “membawa pengacara” viral di media sosial. Baru kemarin dipuja-puji setelah aksi heroik dan bagi-bagi giveaway, dalam sekejap dirinya dicaci maki seluruh penduduk dunia maya.

Tak tanggung-tanggung, beberapa publik figur juga ikut mendukung lawan Awkarin: Nadiyah. Ia seorang artist/seniman pembuat komik yang disinyalir berseteru dengan Awkarin. Awalnya, Nadiyah sama seperti netizen lain, berkomentar mengingatkan Karin untuk menyertakan kredit di setiap karya orang lain yang di-upload. Singkat cerita, Karin berang. Ia blokir akun Instagram Nadiyah. Tak kurang akal, Nadiyah menggunakan media lain meminta klarifikasi kenapa tiba-tiba akunnya diblokir padahal dia sekadar mengingatkan “dosa” masa lalu Karin.

Walaupun pada akhirnya keduanya seolah terlihat “damai” dengan keputusan Nadiyah menghapus semua tweet-nya. Nyatanya, banyak netizen yang tidak terima. Netizen terbagi menjadi 2 kubu besar, kubu pendukung Nadiyah dan kubu moderat yang mencoba memandang masalah ini dalam sudut pandang yang berbeda.

Sebetulnya, isu pencurian karya atau plagiarisme bukan hal baru. Bahkan bisa jadi saya bahkan Anda semua pernah melakukannya. Entah ini dilakukan dalam skala kecil atau skala besar. Dikutip dari Merriam Webster, plagiarisme adalah mencuri, meneruskan ide, kata, atau bentuk lain sebagai milik sendiri, menggunakan hasil kerja orang lain tanpa menyertakan sumber, dan mengajukan ide baru dan orisinil dari sumber yang sudah ada.

Menulis, menggambar, dan aktivitas berkarya lain itu tidak mudah. Saya sendiri harus menunggu jatuh cinta untuk produktif menulis puisi cinta. Menunggu patah hati agar bisa membuat karya yang memiliki nyawa. Yang paling membuat saya sedih adalah ketika saya membuka akun khusus memasak. Ujug-ujug ada orang lain yang mengambil resep saya tanpa menyertakan sumber. Bisa kalian bayangkan gimana sedihnya saya, mau protes tapi, ya bagaimana~

Pada akhirnya, orang-orang tak punya power seperti saya, bisa apa selain merelakan resep disadur secara ilegal oleh orang lain. Mungkin begitu juga perasaan Mbak Nadiyah mewakili para artist lain. Mungkin di antara pembaca pernah menyadur atau mengedit karya orang tanpa menyertakan sumber. Ketahuilah, itu sakit melebihi diputusin padahal lagi sayang-sayangnya.

Tapi tenang, saya selaku korban tidak perlu dikasihani karena saya dan penulis lain masih bisa membuat karya lain. Yang perlu dikasihani adalah plagiatornya. Ketika kami sudah punya proteksi atas karya kami, plagiator akan ke mana? Karya siapa yang akan diambilnya? Padahal kebutuhan konten semakin mendesak.

Secara tidak langsung masyarakat Indonesia seolah dibiasakan memaklumi plagiarisme dan menjadi seorang plagiat. Lihat saja toko kaset bajakan yang selalu ramai pengunjung dibanding toko yang menjual kaset orisinil. Lihat saja tugas makalah siswa, sebagian besar masih menggunakan sistem copy paste. Lihat saja tweet, status, dan kutipan di media sosial  yang puitis nan bijaksana ternyata bisa dengan mudah kita temui di buku puisi karya orang lain. Lihat saja banyak blog berbeda memposting isi yang sama persis tanpa menyertakan kredit atau sumber.

Ibarat hantu, plagiarisme dekat dengan kita tapi tidak kita sadari. Sebentar, tidak disadari atau sengaja tidak disadari?

Bahkan industri pariwisata juga rentan terhadap plagiarisme. Sebut saja selfie corner, Rabbit Town yang dibangun menjiplak konsep selfie corner luar negeri karena tuntutan masyarakat yang ingin destinasi wisata murah, tapi tetap Instagram-able.

Kalau sudah begini, rasanya miris sekali. Apa pun sektornya, lagi-lagi plagiarisme selalu ada. Padahal bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki sopan santun. Menghormati karya orang lain juga merupakan bagian dari sopan dan santun. Gerakan “No Plagiarisme” pun saya kira tidak akan terlalu efektif jika orang yang menolak plagiarisme lebih sedikit dibanding mereka yang menikmat hasil dari plagiarisme.

Bisa saja seseorang berteriak “say no to plagiarism” karena selalu membeli barang orisinal. Namun siapa yang tahu, kalau dalam kaidah pengutipan pada karya ilmiah masih serampangan. Bukannya pesimis, jika memang ingin menghapuskan budaya plagiarisme, tentu perlu peran dari segala pihak, bukan? Kalau say no to plagiarisme tapi masih ada kaset bajakan untuk apa? Kalau say no to plagiarisme tapi masih bebas mengutip tanpa kredit untuk apa?

Yuk, berbenah.

BACA JUGA Terbakarnya KyoAni dan Isu Plagiat atau tulisan Winda Ariani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version