Awalnya PPPK Adalah Angin Segar Honorer, Kini Jadi Angin Ribut Mahasiswa FKIP

Awalnya PPPK Adalah Angin Segar Honorer, Kini Jadi Angin Ribut Mahasiswa FKIP terminal mojok.co

Awalnya PPPK Adalah Angin Segar Honorer, Kini Jadi Angin Ribut Mahasiswa FKIP terminal mojok.co

Mahasiswa FKIP yang digadang-gadang bakal mendapat pekerjaan yang mulia faktanya tidak hanya diakui mulia, tapi perlakuannya pun istimewa. Mulia dengan seadanya tak apa, kan kudu ikhlas menjalaninya. Mungkin yang dimaksud ikhlas berarti tidak berhak mendapat hak yang layak, harus terima apa pun kebijakan meski tak memihak. Apa dipikir urusan sandang, pangan, papan yang harus diemban. Apalagi utang yang semakin mengembang. Ah, mana peduli.

Seolah pekerjaan mulia ini sama dengan ibadah pada Tuhan, hanya mengharap rida dan surga-Nya. Ya, memang tak salah. Namun, sebagai makhluk yang hidup di bumi juga perlu memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini harus diupayakan dengan tindakan nyata, salah satunya dengan bekerja. Munafik jika bekerja tanpa mengharapkan upah.

Sayangnya, ada mereka-mereka yang menggeluti pekerjaan mulia ini harus rela bertahun-tahun menjadi relawan a.k.a honorer. Tiap hari menempuh jarak yang tak dekat, membagi ilmu yang telah didapat, dengan harapan anak-anak bisa mendapat hak-haknya. Apakah mereka para honorer tak berhak mendapat imbalan yang layak?

Tentunya amat sangat berhak jika dipikir-pikir. Pemerintah sudah memberikan lowongan “berjuta- juta” CPNS setiap tahunnya. Siapa pun yang memenuhi kualifikasi, mereka berhak mendaftarkan diri. Sekian banyak jumlah lowongan yang tersedia, berkali- kali lipat pendaftarnya. Tentunya itu nggak akan mudah, perlu perjuangan. Nggak lolos, ya coba lagi, coba lagi, coba terus. Kan, batas usianya sampai 35 tahun.

Kalau tak lolos, ya jangan menyerah. Pemerintah masih membuka jalur PPPK, lho. Bagi mereka yang sudah mengabdi dan berusia di atas 35 tahun dipersilakan, justru diutamakan. Namun, tentu saja itu tak mudah, lagi- lagi harus berhadapan dengan pesaing. Iya, dong, biar kualitasnya terjamin.

Bagi mereka yang lolos akan mendapat fasilitas yang sama seperti pekerja mulia berstatus PNS. Akan tetapi, nggak semuanya sama, pekerja mulia yang berstatus PPPK sistemnya kontrak minimal 1 tahun dan bisa diperpanjang hingga 30 tahun sesuai dengan situasi dan kondisi. Di samping itu, mereka nggak bisa menjamin usia lanjut karena tidak ada jaminan pensiun.

PNS dan PPPK terutama pada pekerjaan mulia merupakan dua hal yang berbeda dengan sasaran yang berbeda pula. Di mana lowongan pekerja mulia PNS diperuntukkan bagi mereka lulusan FKIP yang belum berusia 35 tahun. Sedangkan PPPK diperuntukkan bagi mereka yang sudah mengabdi dan boleh berusia di atas 35 tahun. Awalnya begitu.

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Mas Menteri menetapkan bahwa tahun ini tidak ada CPNS guru melainkan diganti dengan PPPK. Badalah tiwas wis semester tua meh lulus teka FKIP pengene dadi PeEnEs, malah ditiadakan.

Katanya hal ini diputuskan dengan pertimbangan ingin mensejahterakan mereka para guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun supaya dapat imbalan yang layak. Ya, kalau memang begitu saya setuju.

Di sisi lain katanya agar distribusi guru merata karena selama ini kebanyakan guru PNS setelah bekerja selama 4 tahun mengajukan mutasi ke daerah lain. Namun, bukan berarti programnya yang dihapuskan, Bambang: kenapa nggak peraturannya saja yang diubah? Bisa saja, kan, direvisi misalnya “tidak boleh mengajukan mutasi sebelum masa jabatan 10 tahun”. Oh, mungkin itu terlalu susah, jadi mending hapus saja, dah, ribet.

Katanya lagi, hal ini karena pemerintah yang kekurangan anggaran. Ya, nggak heran, lha wong dana bansos yang “cuma 10 ribu” digarong sama tikus berdasi. Apalagi APBN yang jumlahnya ribuan kali lipat daripada itu, mengalir ke mana saja? Tentunya saya tak tahu.

APBN yang tak cukup tapi kenapa pekerjaan mulia yang harus ditumbalkan? Apa karena ada label mulia? Jadi seolah-olah kami bisa dikorbankan seenaknya?

Ada banyak sekali PNS di bidang lain, tapi kenapa harus pekerjaan berlabel mulia yang harus mengalah? Oh, mungkin saja ini sudah dilakukan undian layaknya arisan, siapa yang keluar dialah yang dapat. Ndilalah yang keluar adalah guru. Mungkin begitu, ya?

Kalau sudah begini tentu mau tidak mau harus terima. Ngenes. Apalagi kalau tahu persyaratan PPPK yang harus dipenuhi, kata tirto.id yang mendaftar PPPK harus guru honorer di sekolah negeri dan swasta, terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik), dan lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang saat ini tidak mengajar. Yang terakhir ini nggak tahu benar atau salah karena banyak sumber yang simpang siur. Kalaupun iya, apa kabar para fresh graduate FKIP?

Ijazah FKIP-mu belum berguna, lho. Eh, harus cari pinjaman dulu biar bisa bayar PPG yang tiap semester seharga motor Suzuki nex reborn. Kalau udah lulus baru daftar PPPK, ingat ya kalau lulus dapat jaminan pekerjaan “mulia”, tapi jangan lupa tanda tangan kontrak.

Kontraknya beragam, lho, paling sedikit satu tahun. Nanti kalau kinerjamu bagus kamu berhak untuk mendapatkan perpanjangan, kalau tidak ya sudah. Kamu masih bisa jualan angkringan, kan? Pokoknya urusan kontrak nggak jauh beda, deh, sama kontrak kerja karyawan di pabrik.

Nasib, nasib. Berada di bidang pekerjaan mulia ternyata ujiannya begitu banyak, ya. Sudah kebijakan yang nggak mengenakan harus diikuti, belum lagi nyinyiran orang yang kadang mulutnya nggak bekerjasama dengan otak. Heran. Coba, deh, otaknya saja yang bicara mungkin bakal lebih elegan.

Nggak seenteng ngetik, “Ya, udah terima saja, kan, guru pekerjaan yang mulia jadi harus ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa,” begitu salah satu komentar orang yang saya temui di akun lambe-lambean.

Mungkin orang-orang berdasi itu juga berpikir demikian bahwa kata “mulia” yang melekat pada guru dianggap cukup buat mengganti waktu, tenaga, pikiran, dan uang yang sudah diperjuangkan. Mungkin kami dianggap bisa bertahan hidup hanya dengan embel-embel “mulia” pada pekerjaan yang kami geluti. Yang jangka waktunya seperti sewa kos-kosan di daerah kampus, bisanya tahunan.

BACA JUGA Ketika Kebijakan P3K Membuat Sarjana Pendidikan Patah Hati

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version