Asuransi sempat dianggapan kurang terpuji di mata sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. Terlebih, beberapa tahun belakangan, sederet kasus gagal bayar turut mencoreng kredibilitas industri ini. Oleh karena itu, wajar saja publik kini menjadi antipati ketika mendapat tawaran membuat perjanjian asuransi.
Padahal, sejatinya maksud keberadaan asuransi sebenarnya baik apabila difungsikan semestinya. Teristimewa bagi asuransi kesehatan yang banyak dicari seperti saat dunia dilanda pandemi. Peristiwa tersebut seakan menjadi titik balik dan peluang sektor asuransi guna memperbaiki citranya. Walau demikian, calon nasabah tetap perlu mempertimbangkan sejumlah sisi buruk asuransi supaya tidak merasa dikadali.
Daftar Isi
#1 Tidak ada yang namanya asuransi pendidikan, itu bahasa marketing belaka
Salah satu pengeluaran terbesar yang menjadi momok mayoritas orang tua adalah biaya pendidikan. Terutama bagi mereka yang memilih sekolah swasta sebagai tempat mengenyam ilmu buah hatinya. Menyadari adanya kekhawatiran tersebut, hampir seluruh perusahaan asuransi mencoba mengambil kesempatan untuk mengeruk keuntungan. Mereka berbondong-bondong menciptakan suatu produk yang dinamakan asuransi pendidikan.
Sialnya, terobosan yang terlihat bagai oase di gurun pasir tersebut tak ubahnya akal-akalan belaka. Sebab, hakikat dari asuransi sendiri sesungguhnya merupakan pengalihan risiko. Masuk akal apabila yang ditawarkan berupa asuransi kesehatan, asuransi jiwa, maupun asuransi kendaraan yang rentan tertimpa kejadian tidak mengenakkan. Sebaliknya, persoalan sekolah anak jauh dari kata risiko eksternal melainkan lebih berhubungan pada pengelolaan finansial.
#2 Jatidiri asuransi sebagai proteksi yang malah dibalut investasi
Sisi gelap berikutnya adalah usaha mengaburkan makna asuransi yang sebenarnya dengan menggabungkan peran proteksi dan kombinasi sekaligus. Kombinasi semacam ini dikenal dengan sebutan unitlink. Memang taktik menjual produk bundling semacam ini sudah umum dan tidak dilarang. Namun, yang menjengkelkan adalah ketiadaan transparansi dari pihak jasa asuransi yang diwakilkan oleh agen mereka.
Sebagai alat proteksi, lumrahnya premi yang dibayarkan akan hangus karena dihitung sebagai biaya memikul risiko sepanjang masa pertanggungan berjalan. Sayangnya, alih-alih memandang asuransi sebagai pengalih risiko, nasabah justru menganggapnya sebagai alternatif menabung akibat mulut manis agen. Manipulasi inilah yang menjadikan mayoritas orang kecewa manakala tidak memperoleh uang sesuai ekspektasi saat jatuh tempo.
#3 Iming-iming ilustrasi yang menjual mimpi
Tenaga penjual pastilah dikejar oleh target, tak terkecuali agen asuransi. Kebutuhan ini terkadang mendorong mereka untuk melakukan segala upaya demi memenuhinya. Teknik sugar coating seringkali menjadi senjata utama demi menjerat nasabah.
Selain membungkus asuransi dengan cerita investasi, para agen tak jarang memproyeksikan imbal balik dengan angka fantastis tanpa disertai perhitungan risiko kegagalan. Iming-iming mimpi inilah yang menjebak calon nasabah menginvestasikan uang mereka pada asuransi jenis unitlink. Faktanya, segala bentuk investasi pasti berbanding lurus dengan besaran kemungkinan rugi. Apalagi, bila nasabah tidak memahami pada instrumen investasi mana uang mereka diputar.
#4 Dongeng mimpi ditolak, fear mongering bertindak
Di samping menuturkan dongeng indah akan memetik keuntungan berlimpah, strategi konvensional lain yang acap diluncurkan adalah mempromosikan ketakutan. Tidak melulu perkara dana pendidikan yang semakin mencekik, bayangan mengenai penyakit kronis atau akut serta umur pendek juga dapat dijadikan senjata. Benar bahwa kemalangan dalam hidup tidak dapat ditolak, tetapi menjajakan produk dengan cara fear mongering tentu bukan sikap bijak.
Bukan rahasia lagi kalau siasat fear mongering sukses membuat calon konsumen melakukan pembelian impulsif. Mungkin para pemasar yang menerapkan metode ini tidak menyadari jika jurus jualan mereka dapat memberikan dampak negatif. Lebih-lebih kemampuan persuasif mumpuni akan jualan ketakutan ini riskan memicu gangguan kecemasan.
#5 Pemanfaatan calon nasabah yang minim literasi
Pemberantasan buta huruf sudah lama dilaksanakan. Namun, hal ini tidak berarti masyarakat telah terbebas dari isu minim literasi. Sebab, kemampuan literasi bukan hanya sebatas pada kesanggupan membaca dan menulis, melainkan juga kelihaian mengolah informasi. Celah inilah yang banyak dimanfaatkan oleh sederet oknum tenaga pemasar asuransi.
Paparan mengenai bagaimana cara kerja asuransi biasanya dicantumkan di dalam polis. Akan tetapi, butir kontrak perjanjian yang cukup banyak terkadang membuat orang bingung memahami atau enggan membaca seksama sehingga asal membubuhkan tanda tangan persetujuan. Imbasnya, muncul konflik antara nasabah dan agen seputar klaim yang tidak cair lantaran beberapa kondisi yang tidak memenuhi syarat sesuai polis.
Jika ada dana berlebih, memiliki asuransi mungkin dapat dipertimbangkan. Akan tetapi, memaksakan diri membelinya karena rasa khawatir berlebih atau harapan mendapatkan cuan justru akan merugikan diri sendiri. Ada baiknya, konsumen senantiasa mengulik informasi secara mandiri sebelum memutuskan menandatangani polis asuransi. Sebab, tidak ada satupun penjual di bumi yang membuka keburukan dagangannya sendiri.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Hal Merepotkan di Balik Pembayaran QRIS yang Nggak Disadari Banyak Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.