Suatu hari, seorang koordinator liputan (korlip) media online ternama di Jakarta, menegur seorang redaktur yang merupakan bawahannya karena lalai dalam pemilihan kata untuk sebuah artikel berita terkait nisan makam di Jogja yang dirusak warga.
“Kita pakai istilah ‘Umat Kristiani’, jangan ‘Non-muslim’ ataupun ‘Nasrani’! Sudah kuingatkan kemarin kenapa masih terulang?” ujar si Korlip marah-marah, sebagaimana biasa ia tunjukkan setiap hari.
Berita itu kadung tayang dan mungkin sudah dibaca oleh banyak orang. Si redaktur, yang duduk di kursi kerjanya, lantas meminta maaf dengan lirih, sambil terus menggarap naskah-naskah lain yang dikirim para reporter. Di sampingnya, si Korlip berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang, dengan raut wajah tak senang—khas seorang bos ketika berhadapan dengan bawahan.
Sehari sebelumnya, lewat grup WhatsApp kantor, si Korlip menyampaikan kepada seluruh anggota grup untuk menghindari penggunaan istilah ‘non-muslim’ dan ‘Nasrani’ untuk membungkus umat Kristen dalam kata. Artinya, tidak hanya untuk redaktur, pesan itu juga disampaikan kepada reporter, tim riset, tim medsos, dan secara tidak langsung juga kepada pemimpin redaksi (pemred).
Si redaktur, dalam kasus ini, memang berada pada posisi yang salah. Ia teledor terhadap pesan itu, dan karena itu ia pantas mendapat teguran, terlepas bahwa kesalahan yang sama juga dilakukan oleh reporter yang mengirimkan berita, dan terlepas pula bahwa ia berhak menegur si reporter.
Tetapi tentu bukan itu yang hendak saya omongkan di sini. Bukan pula soal diksi mana yang lebih baik. Salah atau tidaknya penggunaan istilah ‘non-muslim’atau ‘Nasrani’, saya kira cuma soal kebijakan media yang bersangkutan. Media lain mungkin tidak akan mempersoalkan hal itu, atau justru akan lebih memilih memakai istilah ‘non-muslim’ atau ‘Nasrani’ ketimbang ‘Kristiani’. Karena itu, di sisi lain, si Korlip juga tidak salah dalam hal ini.
Yang ingin saya sampaikan adalah cara si Korlip bicara pada bawahannya. Konon, bukan kali itu saja ia bicara dengan nada membentak kepada bawahannya, tetapi hampir setiap saat, baik itu secara langsung maupun melalui pesan teks (intonasi pesan teks saya kira bisa dibaca tinggi-rendahnya dan kasar-halusnya). Kata-kata kasar pun tak jarang ia lontarkan. Bukan karena sifat dan pembawaannya memang begitu, bukan pula karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya demikian, melainkan semata karena ia sedang bicara pada bawahan. Sebab, saat bicara kepada atasannya, misalnya kepada pemred atau CEO perusahaan, atau kepada tamu yang datang ke kantor untuk menemuinya, si Korlip bicara dengan lembut dan sopan. Bahkan, cukup sering ia berjongkok saat hendak menyampaikan sesuatu kepada pemred.
Apa yang bisa kita petik dari cerita singkat di atas? Saya ingin menawarkan satu hal.
Kita, manusia yang membentuk masyarakat dengan segala perangkatnya, sering mengeluh bahwa hukum kerap tebang pilih; tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Orang-orang yang miskin dan tak punya kekuatan di masyarakat akan langsung dihukum jika berbuat kesalahan sekecil apapun, sementara orang-orang kaya seperti pejabat yang korup bisa lolos dari hukum dengan berbagai cara. Tetapi, kita lupa bertanya mengapa.
Watak seperti yang ditunjukkan si Korlip dalam cerita di atas, juga dapat kita jumpai pada banyak orang di banyak tempat dan keadaan—termasuk, barangkali, kita sendiri. Tidak hanya di kantor-kantor perusahaan ataupun di dalam organisasi-organisasi lain yang memang terdapat hierarki di dalamnya, pada masyarakat umum tanpa hierarki yang mengikat secara langsung pun demikian.
Sudah lazim kita terima dalam kehidupan sehari-hari, bahwa orang akan senantiasa bersikap—bertutur dan berperilaku—dengan sebaik-baiknya dan semanis-manisnya kepada orang-orang hebat, orang-orang besar, orang kaya, atau orang yang punya jabatan atau pangkat.
Sebaliknya, kita juga cenderung menganggap lazim untuk tidak—bahkan sekadar—bersikap baik dan beramah-tamah kepada orang-orang “rendahan”, kepada bawahan, orang lemah, miskin, suka meminta atau mengutang, atau pengemis, gelandangan, dan sejenisnya. Sebagian kita bahkan jijik dan ingin mereka lekas enyah saat mereka muncul di hadapan kita.
Bahkan, tak jarang, orang-orang dengan pengetahuan tentang moral-etiket yang baik, dengan kesalehan-agamais yang tinggi, dengan kedudukan terpandang, dengan nalar dan wawasan yang luas, dengan kebijaksanaan yang sering disampaikan dalam mimbar atau lewat tulisan, juga tidak terbebas dari jerat sikap demikian. Orang-orang ini sama saja dengan mereka yang memang impulsif dalam bertindak. Perbedaannya hanya soal halus atau kasarnya tindakan itu mereka tunjukkan.
Orang dengan nalar yang kuat dan wawasan yang luas, misalnya, mungkin akan menunjukkan sikap manisnya kepada orang-orang yang levelnya tinggi dengan cara yang lebih halus dan laten. Mereka juga akan menunjukkan sikap merendahkan kepada orang yang levelnya di bawah mereka dengan cara yang lebih halus pula. Sementara mereka yang tidak berwawasan luas akan menunjukkannya secara spontan dan blak-blakan. Ya, perbedaannya hanya di situ.
Sikap serupa juga kerap kita berlakukan kepada orang yang tidak kita kenal. Kita cenderung berbuat lebih baik kepada orang yang kita kenal ketimbang mereka yang asing. Kita lebih suka membantu orang yang kita kenal daripada yang tidak, seolah kita tak akan pernah bisa benar-benar adil dalam bersikap.
Sebelum menuliskan ini saya sempat termenung berjam-jam: kenapa aku (secara otomatis) bersikap baik dan bertutur manis ketika Pak Lurah (misalnya) bertandang ke rumahku? Kenapa aku tidak bisa berlaku sama saat ada ibu-ibu pengemis dengan bayi di gendongannya meminta uang, atau saat seorang salesman muda datang menawariku dagangannya?
Kata ‘otomatis’ yang saya tanda kurungi perlu diperhatikan: seolah-olah alam bawah sadar kita memang menggerakkan kita untuk bersikap baik dan bertutur manis kepada “orang-orang pilihan”, dan, secara otomatis pula, kita “didorong” untuk bersikap sebaliknya terhadap “orang-orang yang bukan pilihan”.
Di luar lamunan saya itu, pastilah sudah sering kita melihat orang yang bersikap angkuh kepada yang lemah, tapi berlaku baik dan sangat sopan kepada yang kuat. Membentak-bentak anak magang dan karyawan baru seraya bertekuk lutut saat bicara pada atasan, menyuguhkan teh dan makanan yang enak untuk Pak Camat seraya mengusir pengemis dalam hitungan detik, mempersulit urusan administrasi pasien miskin sembari dengan cekatan menyediakan ruang rawat inap terbaik bagi anak Pak Bupati atau anak Pak Gubernur; dan sebagainya.
Pernahkah Kisanak merenungkan hal yang sama? Adakah kiranya alasan yang masuk akal untuk membenarkan itu semua?
Saya kira saya sedang menemukan jawaban atas pertanyaan ‘mengapa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas?’. Ya, sepanjang hukum dijalankan oleh manusia, dan sepanjang manusia tidak dapat bersikap sama (baca: adil) terhadap “orang-orang di atasnya” maupun “orang-orang di bawahnya”, serta terhadap “orang-orang yang ia kenal” ataupun “orang-orang yang tidak ia kenal”, maka sepanjang itulah hukum akan terus tebang pilih. (*)
BACA JUGA Standar Untuk Menilai Hidup Orang yang Seringkali Absurd atau tulisan Abul Muammar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.